Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

1 Januari 2012 KRL Bebas "Penumpang Atap", Bisakah?

24 Desember 2011   14:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:48 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja Agus, ia bekerja sebagai pelayan di sebuah pusat perbelanjaan alat-alat teknik. Ia yang lulusan STM setiap hari harus bolak-balik Jakarata-Bogor untuk mengais rizki menafkahi istri dan dua anaknya yang masih balita. Untuk dapat angkutan yang murah, ia menggunakan KRL Ekonomi Jabodetabek sehingga rumah kontrakannyapun didekatkan dengan stasiun kereta.

Agus ternyata tidak sendiri, setiap hari ribuan orang senasib Agus bolak-balik ke Jakarta sehingga Agus tidak merasa sendirian. Suasana pertemananpun terbangun di antara mereka sehingga penuh sesaknya kereta mereka nikmati dengan canda tawa.

Jika kebetulan mendapati kereta agak kosong, Agus dan temannya memilih main domino di dalam gerbong, sedangkan jika keretanya penuh mereka naik ke atap kereta untuk mendapat kebebasan bercanda gurau disela-sela rutinitas yang menjemukan. “Biar nggak tambah stres, Mas” begitulah pengakuannya ketika saya tanya apa enaknya naik di atas. Bagi Agus waktu kongkow-kongkow di atas kereta itulah ia sejenak dapat melupakan himpitan ekonomi keluarga dan tekanan di tempat pekerjaan.

Lain Agus, lain pula dengan Jajang. Meski sudah dewasa, jajang belum berkeluarga dan  kenakalan remajanya masih melekat. Ia sering merasa bangga jika dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain termasuk bergelayutan naik ke atap kereta, ia selanjutnya akan menertawakan temannya yang tidak berani untuk naik. Celakanya, sikap inilah yang banyak diikuti anak-anak sekolah. Padahal kelompok itu pula yang sering menjadi korban sengatan listrik ribuan volt yang menjadi tenaga penggerak kereta tersebut.

Permasalahan penumpang di atas atap kereta Jabotabek sudah sejak lama menjadi PR  bagi PT KAI. Namun meski berbagai cara pengamanan telah dilakukan, tetapi penumpang itu tetap saja membandel. Puluhan orang yang mati setiap tahun karena tersengat listrik tidak membuat mereka jera dan takut. Mereka malah siap berkelahi dengan petugas keamanan kereta untuk mempertahankan tempat duduk nyamannya di atap kereta, seperti yang pernah terjadi di St. Pasar Minggu beberapa bulan lalu.

Agus dan Jajang adalah dua diantara banyak perilaku penantang maut di atas atap kereta. Mereka adalah kelompok yang tak faham arti statistik kecelakaan. Mereka orang-orang emosional yang mementingkan kehendak sesaat.Lantas apa yang akan PT. KAI lakukan untuk menghilangkan "penumpang atap" yang dicanangkan mulai 1 januari 2012 itu...? kita tunggu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun