Salah satu dampak dari AFTA adalah peningkatan intensitas perdagangan pada negara-negara ASEAN. Birokrasi ekspor-impor yang saat ini menyita banyak energi perusahaan kecil, mungkin setelah tahun 2015 nanti tidak lagi demikian sehingga kegiatan perdagangan antar negara anggota ASEAN dapat terpacu dengan cepat.
Salah satu infrastuktur yang diperlukan untuk itu adalah pelabuhan. Adanya AFTA mengharuskan Indonesia menyiapkan pelabuhan-pelabuhan untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan tersebut. Karena lokasi Indonesia secara geografis ada di selatan negara-negara  ASEAN maka setidaknya yang di sebelah utara harus mendapat prioritas.
Luasnya wilayah negara dengan ribuan pulau dari Sabang sampai Marauke, menyebabkan banyaknya pintu ekspor-impor yang dapat dibuka. Kalau saat ini hanya pelabuhan-pelabuhan besarseperti Belawan, Tanjung Priok atau Tanjung perak  saja yang dapat melayani ekspor-impor, di masa yang akan datang mungkin beberapa pelabuhan kecil seperti Pelabuhan Natuna juga harus dapat melayani kegiatan ini.
Secara fisik, pelabuhan-pelabuhan juga harus disiapkan agar dapat disinggahi kapal besar dengan muatan yang banyak. Kapal besar berarti kolam dan alur pelayarannya juga harus cukup dalam. Selain itu juga muatannya banyak sehingga membutuhkan  fasilitas darat  seperti terminal petikemas, gudang atau  lapangan penumpukan yang memadai.
Saat ini, beberapa pelabuhan besar saja nampak belum siap. Misalnya, Pelabuhan Pontianak yang berada di dalam alur Sungai Kapuas, saat ini masih  bermasalah jika dimasuki kapal besar karena alurnya pada saat air surut menjadi dangkal. Akibatnya banyak kapal menunggu untuk bisa masuk ke pelabuhan, sementara argometer berjalan terus sehingga pada akhirnya biaya transportasi menjadi mahal. Pelabuhan Sorong  permasalahannya lain lagi, fasilitas daratnya saat ini sudah maksimal sehingga jika ada peningkatan jumlah kontainer tidaka dapat dilayani lagi. Sementara itu, lahan darat sudah sangat sempit dan tidak mungkin dikembangkan. Belum lagi Pelabuhan Lembar di Mataram yang kemampuan tenaga bongkar-muatnya saat ini saja masih kurang memadai. Dan banyak lagi permasalahan pelabuhan lainnya kalau didata satu-persatu.
Satu hal lagi yang teramat penting adalah hilangkan kebijakan cabotage, yaitu kewajiban menggunakan bendera Indonesia bagi kapal niaga yang beroperasi di lingkungan perairan Indonesia. Kebijakan ini telah menjadikan kapal-kapal niaga asing sebagai sapi perah karena harus membayar ekstra kapal lokal untuk mengangkut ke pelabuhan.
Bagaimana mungkin perdagangan bebas akan terjadi jika setiap akan masuk wilayah perairan Indonesia mereka harus ganti kapal yang berpotensi meningkatkan biaya operasional. Masih mending kalau Indonesia punya kapal yang cukup untuk melayani kapal-kapal niaga asing yang masuk ke perairan kita, kalau tidak, tentu ini akan menjadi penghambat kegiatan perdagangan.
Secara sepihak kebijakan ini jelas menguntungkan, tetapi jika negara lain juga menerapkan hal yang sama, tentunya ini akan berakibat pada peningkatan biaya transportasi yang berujung pada hambatan diterapkannya AFTA tersebut.
Yah, peningkatan infrasturkur pelabuhan adalah hanya salah satu bagian kecil dari persiapan untuk dapat suskes di AFTA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H