Pengurus OSIS SMAN 1 Bogor tahun 2013-2014, konon diberi tugas mencari dana untuk sebuah event tahunan sekolah dengan target Rp. 1,5 juta setiap orang. Mereka boleh berdagang, bekerja sambilan atau mencari donator berbekal cap sekolah yang penting mereka melakukan sebuah usaha yang dapat dipertanggung jawabkan, baik operasinal maupun hasil yang didapatknya. Demikian informasi setengah-setengah tersebut yang diperoleh dari anak saya yang juga merupakan bagian dari mereka.
Beberapa fasilitas katanya boleh dimanfaatkan selama tidak mengganggu kegiatan belajar mereka. Misalnya, anak yang memilih berjualan boleh menjajakan dagagangannya ke ruang guru, atau menyimpan dagangannya di ruang OSIS. Atau jika ada yang ingin berjualan pakaian, boleh memanfaatkan sedikit area dalam sekolah untuk ruang pamer.
Seorang sabat anak saya Fawas Syarif, ia adalah anak dari keluarga berada. Tinggal di Kompleks Taman Yasmin dan mobil yang terparkir di garasinya saja ada 3. Bapak dan ibunya kalau tidak salah bekerja di Telkom dan Indosat dengan jabatan yang lumayan tinggi. Untuk memenuhi tugasnya sebagai salah satu pengurus OSIS, ia berjualan kue kering seperti macaroni goreng, kue pilus dan sebagainya.
Menurut anak saya, ia membeli makanan tersebut secara bal-balan kemudian dikemas kecil-kecil sebelum berangkat kemudian dijajakan di sekolah. Setelah hampir sebulan katanya ia sudah mengumpulkan laba sekitar 500 ribu rupiah, yang artinya sudah sepertiga tugas dia laksanakan. Sungguh mengagumkan melihat anak seusia itu mau menyingsingkan lengan baju dan melepas status “anak orang kayanya” demi menjalankan tugasnya mencari 1,5 juta yang sebenarnya mudah saja bagi dia untuk minta pada orang tuanya.
Anak saya sendiri baru memulainya beberapa hari lalu ketika tetangga menawarkan untuk menjualkan nasi goreng dan pisang coklat. Katanya sih keuntungannya antara 25 ribu – 40 ribu perhari. Sebelum berangkat sekolah, ia membawa kantong plastic besar dan mampir ke rumah tetangga itu untuk mengambil dagangan tersebut dan dibawa ke sekolah. Artinya ia akan mengerjakan “pelajaran bekerja” itu sekitar 2 bulan.
Anak-anak lain, konon katanya ada yang mengambil kerja sebagai pelayan foodcourt pada hari libur, mengajar les, jualan pulsa dan sebagainya. Karena kegiatan itu, konon menurut istri saya yang pernah suatu ketika ke sekolah, melihat seliweran anak yang menjajakan dagangannya di sekolah.
Memang tidak ada kejelasan seberapa wajibnya pemenuhan target tersebut. Katanya sih hanya sekedar ada perasaan ngak enak jika ia berdiam diri ketika teman-teman lainnya sedang berusaha mengumpulkan dana tersebut.
Sebagai orang tua, saya sendiri membiarkan hal itu terjadi dan tidak menganggap ada kesewenang-wenangan dari pihak sekolah. Saya malah mendorong anak untuk lebih kreatif lagi. Sebenarnya saya punya ide yang lebih baik agar anak bisa mendapat uang lebih banyak, namun saya menahan diri dan membiarkan semuanya berjalan seperti air mengalir.
Biarlah mereka kreatif, termasuk kreatif dalam berfikir tentang kehidupan nyata. Karena itu saya tidak mengikuti detil kegiatan mereka dan tidak berusaha bertanya-tanya. Saya menganggap bahwa kegiatan tersebut esensinya bukan mengumpulkan bukan mencari satu setengah juta, tetapi ke arah penyiapan anak untuk memasuki kehidupannya kelak.
Salut dan mengagumkan, inginnya sih saya mengacungkan empat jempol yang saya miliki untuk mereka anak-anak pengurus OSIS SMAN 1 Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H