[caption id="attachment_121663" align="aligncenter" width="680" caption="Setelah dibagi, kemudian direntangkan dengan cara yang terlihat sederhana tapi sangat tidak mudah. Sekedar mengingatkan ya, ini bukan tali plastik (rafia) melainkan bambu yang dibelah dengan sangat tipis. Berani coba?"][/caption] Ketika masih SMP dulu saya sempat bertanya-tanya, apa sih simbol yang tertera persis ditengah-tengah logo Kabupaten Tangerang ?, wajar ya tentunya sebagai pelajar di Kabupaten Tangerang saya punya pertanyaan demikian. Saya sempat bingung apa iya ini gambar gunung ?, dilirik-lirik dan ditelisik sama sekali tidak mencerimankan ikon sebuah gunung, kalau gunung kenapa warnaya kuning dan kaki gunungnya nampak, biasanya kan kalau logo pake ikon gunung tidak tampak bagian kaki gunungnya untuk lebih kelihatan estetis. Tidak mau terus penuh tanda tanya, sayapun langsung menanyakan ke guru SMP saya, nah dari situlah saya baru tahu kalau itu adalah ikon Topi Bambu yang merupakan ciri khas kerajinan tangan dari Kabupaten Tangerang. Hari Minggu kemarin, tepatnya tanggal 3 Juli 2011 alhamdulillah saya ada kesempatan hunting (ce elaaaaah.... sok gaul ya bahasanya) untuk lebih explorite (exploration & write) tentang Topi Bambu sama teman saya (salah satu founder topibambu.com), yaitu Kang Agush Ckp (Ckp ≠Cakep, Ckp = Cikupa, heheheeee....).
Starter, Gigi 1, Tancaaaaaap !!!
Tempat yang pertama saya sambangi adalah Kelompok Pengrajin Dua Angsa (KPDA) di Desa Sukaharja, Kecamatan Sindangjaya yang dikomandoi Bapak Endin. Perlu disampaikan juga memang, kalau salah satu tujuan saya dan Kang Agush datang kesana adalah untuk memastikan kesiapan peliputan oleh Trans7 dalam program Laptop Si Unyil hari Selasa besok. Hahhhh... diliput tivi ?, upppsss... santai ya gak pake kuah... heheheeee.... Iya, berkat perjuangan publikasi kawan-kawan di topibambu.com akhirnya mendapatkan perhatian dari Trans7 untuk meliput para pengrajin Topi Bambu. Sebelumnya memang sempat ada penawaran liputan juga dari SCTV, namun sangat disayangkan tim topibambu.com dan SCTV tidak bisa menemukan kesepakatan waktu yang tepat dikarenakan berbagai halangan dan kesibukan antara kedua belah pihak. Jadi mohon do'anya aja ya, 99 % siap diliput, 1 % nya "takdir". Saat berangkat ke KPDA, Kang Agush membawakan 2 buah bentuk topi hasil kerajinan dari daerah lain yang terbuat dari anyaman Pandan, sebagai bahan perbandingan untuk lebih meningkatkan kualitas produk para pengrajin Topi Bambu dan mengembangkan inspirasi supaya tercipta bentuk lain yang lebih inovatif dan beragam. Sepintas menurut penilaian pribadi saya, tanpa bermaksud melebih-lebihkan ternyata secara memang Topi Bambu jauh lebih baik, entah itu dilihat dari segi estetika seni dan kerumitan pengerjaan maupun dari kualitas hasil produksi. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar dengan Bapak Endin selaku koordinator KPDA, saya diberi petunjuk kalau sebagian besar produk yang dikerjakan di KPDA pengerjaan tahap awalnya dilakukan oleh para pengrajin di daerah Desa Ancol Pasir, Kecamatan Jambe. Untuk lebih mudah menemukannya kamipun diberi beberapa petunjuk arah alamat dan disarankan disana untuk menemui Bapak Rahman. Tanpa banyak membuang waktu saya dan Kang Agush-pun langsung meluncur ke TKP. Selang sekitar 1 jam, kamipun tiba di Rumah Pak Rahman. Ternyata tidak terlalu sulit memang untuk menemukan kediaman beliau, saat kami bertanya untuk menanyakan alamat rumahnya persis disitu tempatnya.
Catatan Lisan Sejarah
Saya belum banyak membaca literatur atau tulisan sejarah tentang Topi Bambu, padahal sudah sangat banyak sekali ulasannya. Ahhh... mungkin saya memang masih terlalu malas untuk membaca. Setelah sedikit ramah tamah dan ngobrol-ngobrol ringan dengan sikap yang penuh keramahan dari tuan rumah (padahal ini baru pertama kali saya datang, tapi sudah seperti tetangga dekat saja), saya coba untuk mengarahkan ke arah obrolan yang lebih serius, salah satunya adalah awal mula tradisi penganyaman Topi Bambu. Kalau ditanya tentang awal mula, ternyata hampir bisa diyakinkan tidak ada yang tahu. Gambaran yang didapat, ternyata ketika Pak Rahman dan Istrinya masih anak-anak dulu, masing-masing kakek-neneknya sudah menganyam Topi Bambu. Pak Rahman juga pernah menanyakan awal mula anyaman Topi Bambu kepada kakeknya, kakeknya bilang "Dari jaman kanak-kanak dulu, kakek abah sudah nganyam Topi Bambu". Nah, kebayang gak tuh...., berapa generasi coba ?. Dari situ saja sudah terbayangkan, betapa luar biasanya hasil karya leluhur masyarakat Tangerang. Mungkin Sobat akan bilang : "Ya elaaaaah, nenek moyang bisa nganyam Topi Bambu aja dibangga-banggain, orang sebrang tuh nenek moyangnya bisa bikin kapal, mobil, mesin, biasa-biasa ajaaaa...". Tapi asal sobat tahu, bahwa dengan itu nenek moyang kita mampu mewariskan secara turun temurun lintas generasi sebuah ilmu murni yang mereka kembangkan sendiri. Dan kita, belum tentu mampu melakukan itu dan bertahan selama itu. Terlebih lagi kita cenderung sebagai generasi yang konsumtif unproduktif.
Hasta Karya Bernilai Seni Tinggi
Kalau orang biasa diminta membelah bambu setebal 0,5 cm menjadi 14 bagian dengan jumlah ketebalan yang sama, saya tidak begitu yakin bisa melakukannya. Saya sempat mencoba dengan cara saya sendiri (sebelum melihat langsung caranya) ternyata susah sekali, dan ternyata Sobat... segala sesuatu memang ada ilmunya, termasuk membelah 0,5 cm tebal bambu menjadi 14 bagian ruas. Siapa tuh yang ngembangin ilmunya ?, saya juga gak tahu, yang jelas lagi-lagi ini bukti kalau nenek moyang kita juga jenius dan mampu membuat sesuatu dengan akurasi presisi yang tidak bisa disepelekan. [caption id="attachment_1279" align="aligncenter" width="318" caption="Salah satu teknik dalam pembuatan bahan Topi Bambu "]
Masih gak yakin kalau bambu setengah senti bisa jadi 14 lapis ?, silahkan amati gambar dibawah ini. Ada bebera helai yang mendempet karena saking tipisnya (seperti uang yang baru keluar dari PERURI).
[caption id="attachment_1282" align="aligncenter" width="388" caption="Bambu dengan ketebalan 0,5 cm dibagi menjadi sekitar 14 helai."]
Kisah Indah Topi Bambu di Masa Kejayaan Pramuka
Emang ada hubungan antara Pramuka sama Topi Bambu ?. Emhhh... gak tahu dia,yuk ah tarik maaaaaang..... ^,^ Kalau Sobat perhatikan topi yang digunakan oleh anggota Gerakan Pramuka Putri, 99 % itu Topi Bambu, 1 %-nya aksesoris. Tidak bisa dipungkiri memang, kalau Gerakan Pramuka saat ini sedang mengalami kemunduran baik dari segi kegiatannya maupun pembinaan dan pengembangannya. Yang masih bertahan saat ini mungkin hanya tinggal agenda-agenda besarnya saja yang terasa kurang maksimal karena memang tidak didukung dengan realisasi agenda-agenda kecil. Tidak perlu bertanya siapa yang salah, karena bukan tidak mungkin kita sendiri ternyata tidak begitu peduli dengan Gerakan Pramuka. Para pengrajin Topi Bambu pernah merasakan masa-masa keindahannya (dengan tegas mereka mengatakan) di zaman Orde Baru. Dimana pada saat itu Pramuka juga sedang jaya-jayanya, didukung penuh oleh pemerintah baik secara finansial maupun sistem pemerintahan. Dengan terus menggeliatnya kegiatan Pramuka sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa yang mandiri, tangguh (tidak cengeng dan lebay), berwawasan, kreatif dan lain sebagainya seperti yang diamantkan di Dasa Dharma dan Tri Satya Pramuka, maka berbuah manis juga bagi ribuan pengrajin Topi Bambu di Kabupaten Tangerang. Hah ribuan ?, Ya, Ribuan. Asal tahu saja 70 % dari jumlah penduduk di Desa Ancol Pasir, Kecamatan Jambe itu mampu menganyam Topi Bambu. Belum di desa lain dan di kecamatan lain yang hampir tersebar di seluruh Kabupaten Tangerang. Ketika Pak Rahman menceritakan masa-masa yang telah berlalu tersebut, matanya begitu berkaca-kaca dan terbawa suasana saya dan Kang Agush-pun turu terharu. Mungkinkah hanya sampai disitu Kisah nan indah para pengrajin Topi Bambu dengan hasil karyanya ?, apakah harus kalau satu simbol di logo Kabupaten Tangerang yang begitu dibanggakan sebagai kekayaan intelektual masyarakat Tangerang kelak hilang ditelan zaman ?. Memang, inilah hidup yang dinamikanya selalu berubah dan berganti arah. Tapi bagaimanapun sebuah identitas akan tetap melekat, melekat sebagai sebuah ciri khas yang harus diberdayakan supaya tetap bertahan baik itu dengan penyesuaian maupun pemassalan.
Harapan yang Terus Dibentang
Meskipun profesi sebagai penganyam Topi Bambu kini dirasa cukup jauh dari tingkat kesejahteraan, para pengrajin tetap optimis dan membangun harapan-harapan kedepannya yang berkaitan dengan Topi Bambu. Tidak bisa dipungkiri dan tidak boleh dihilangkan memang bahwa sebetulnya Pemerintah Kabupaten Tangerang sendiri melalui dinas terkait sudah banyak memberikan perhatian, mulai dari pelatihan, seminar, dan juga pemberian bantuan berbagai alat kelengkapan (seperti mesin jahit untuk finishing agar hasilnya lebih berkualitas) bagi para pengrajin. Dan masyarakat sangat berterimakasih betul atas hal itu. Namun meskipun demikian ternyata fakta dilapangan memang para pengrajin masih membutuhkan bantuan dari berbagai pihak baik itu pemerintah maupun pihak swasta yang mempunyai kepedulian. [caption id="attachment_1285" align="aligncenter" width="336" caption="Pak Rahman dengan mesin jahitnya yang merupakan bantuan dari Pemkab Tangerang"]
[caption id="attachment_1284" align="alignright" width="300" caption="Topi Bambu dalam bentuk setengah jadi dan Meja penganyaman"]
Semoga Topi Bambu Tangerang bisa kembali berjaya.... !!! :-)
Tulisan ini sebelumnya sudah saya posting di blog saya : ROSID|NET Rosid (021-90343833)
- Email : proctorquillon@gmail.com
- Facebook : http://facebook.com/ronstreet
- Blog : http://rosid.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H