Kebebasan Beragama dalam Perspektif HAM
Kebebasan berbagama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling krusial dan utama. Saking pentingnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka publik sepakat memasukkannya ke dalam kategori non-derogable right, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable right diatur dalam Pasal 28 huruf I ayat 1 yang meliputi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Kemudian pada Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menjelaskan lebih lanjut mengenai yang dimaksud dengan ``dalam keadaan apapun`` termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Sedangkan derogable right adalah hak-hak yang masih bisa dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu, dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, Negara wajib menjamin dan melindungi setiap warga negaranya sebagaimana dikuatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 merupakan ratifikasi dari kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Konsekuensi logisnya (politik dan hukum) bagi pemerintah Indonesia untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar warga Negara menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam konteks ini, mestinya Polri---kapasitasnya sebagai alat keamanan Negara dan merupakan lembaga yang menjadi bagian sistem pemerintahan---wajib menjalankan perintah Undang-Undang tersebut. Berdasarkan UU tersebut Polri dalam menjalankan tugasnya wajib berpegang teguh pada prinsip-prinsip penegakkan hukum, independen (netral, tidak berpihak), tidak mengintimidasi, tidak memata-matai, tidak memprovokasi dan tidak mengkriminaslisasi suatu kelompok aliran agama tertentu. Polri justru harus memberi perlindungan kepada setiap warga masyarakat dan mencegah terjadinya tindak kekerasan yang akan menimpa mereka serta menindak perilaku kriminal yang berbuat anarkis dengan mengatasnamakan agama tertentu (Bambang Widodo Umar, 2013)
Setara Institute mencatat setidaknya dari tahun 2007-2010 terdapat 775 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ini belum termasuk data pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam 5 (lima) tahun terakhir. Banyaknya potensi pelanggaran dalam kebebasan beragama/berkeyakinan tersebut harus disikapi oleh Polri secara serius sebagai bentuk perlindungan bagi setiap warga Negara.
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dalam Instrumen HAM Internasional
Kebebasan beragama selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sebagaimana ditulis Siti Musdah Mulia, juga ditemukan dalam berbagai dokumen historis internasional tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan (Dr. Musdah Mulia, 2007)
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom of action). Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan peraturan undang-undang.
Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu: public safety; public order; public health; public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik mereka.
Prinsip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung sedikitnya 8 (delapan) komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.
Masalahnya kemudian, apakah yang dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen hak asasi manusia tidak memberikan definisi yang konkret tentang apa itu agama. Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat beragam dan amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak asasi manusia internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dengan ungkapan lain, yang dilindugi dan dihormati adalah hak dan kebebasan manusia untuk memilih atau tidak memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap diperlukan manusia? Sebab, dalam menghadapi realitas hidup yang serba kompleks ini, manusia secara fisik maupun psikis selalu terhadang oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis eksistensial tersebut. Agama dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk mencapai niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Karena itu, agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial. Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim (1912). Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat dunia bermakna, seperti diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia merumuskan pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir 2006 termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian tersebut, antara lain dalam wujud tiadanya perlindungan negara terhadap hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak diakui sebagai agama yang sah dan oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, terutama dari institusi negara.
Apa saja yang harus dicakup dalam prinsip kebebasan beragama? Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan beragama harus dimaknai sebagai berikut.
Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Ketiga, kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama kita), kita cenderung marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika bisa menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula menerima orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.
Yang penting dilindungi adalah hak warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban mencatatkan peristiwa sipil warga, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara berhak menerima pelayanan registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon mempelai berhak melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warganegara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.
RUU KUHP: Ancaman Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Melihat secara detail RUU KUHP, khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang memuat soal tindak pidana terhadap agama terkesan tiga hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa RUU ini sangat ambisius mengatur soal agama. Pada UU KUHP sebelumnya masalah agama hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a tentang tindak pidana terhadap tindakan penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia. RUU sekarang merumuskan soal agama dalam suatu bab khusus yang dinamakan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Seluruhnya tercakup dalam 8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348.
Kedua, RUU ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan semula dari para penyusun RUU tersebut adalah agar ketentuan dalam pasal-pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal karet. Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi hakim atau pengambil keputusan untuk menetapkan keputusan yang adil dan diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci bunyi pasal-pasal tersebut tetap saja multi tafsir. Sebab, agama adalah hal yang sangat abstrak karena berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.
Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi atau kelompok minoritas sehingga dapat menjadi pembenaran bagi munculnya kekerasan atas nama agama. Sebab, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang berlaku saat ini di tanah air. Dengan demikian, perlindungan dan proteksi yang dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan, yaitu 6 agama saja: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tambahan lagi, yang diproteksi dan dilindungi itu pun terbatas pada kelompok mainstream dari masing-masing agama tadi. Jadi, Ahmadiyah, meskipun termasuk rumpun Islam, yakni agama yang diakui, tetaqp tidak berhak dilindungi karena menyempal dari mainstream. Demikian, pula sekte dan aliran agama lainnya yang bukan mainstream. Fatalnya nanti, RUU ini dapat menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang bukan dari 6 (enam) agama dimaksud atau terhadap kelompok minoritas atau kelompok sempalan dari keenam agama tersebut.
Secara umum pasal-pasal yang bicara soal penghinaan terhadap agama (pasal 341, 342, 343, dan 344) dan yang mengungkap soal penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (pasal 345), serta yang menyatakan tentang gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan (pasal 346-347-348) sangat jauh dari spirit perlindungan hak kebebasan beragama/berkeyakinan seperti ditegaskan dalam DUHAM, konstitusi, dan sejumlah UU nasional tentang HAM. Perlindungan hak kebebasan beragama dalam berbagai dokumen tersebut menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau keyakinan tertentu, hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan dan agama, dan hak untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan orang lain. Jadi, yang dilindungi adalah manusia, bukan agama, bukan Rasul, bukan Tuhan sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam bukunya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) bahwa ``Tuhan Tidak Perlu Dibela``.
Kebebasan individu adalah prisip dasar perlindungan manusia. Dalam konteks ini, harus dipastikan bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya adalah penghinaan terhadap kebebasan individu dan karena itu harus diberangus atas dasar hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus dicatat bahwa pengutamaan individu dalam hak asasi manusia bukalah pengutamaan yang egoistik, melainkan selalu diikuti dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan hak asasi manusia selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, tidak boleh diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain.
Dalam konteks perlindungan terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara berada dalam posisi netral dan tidak memihak kepada siapa pun dan kepada golongan agama manapun. Negara harus menjamin penyelenggaraan agama atas alasan sosial, yaitu sebagai hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin isi sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak manusia untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas dan damai.
Dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.
Oleh karena itu, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk menjadi sangat relevan. Sebab, hal tersebut akan membawa kepada tumbuhnya rasa saling respek dan cinta kasih di antara warga negara yang berbeda agama dan keyakinan sekalipun. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terwujudnya keadilan sosial seperti diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Spirit kebangsaan inilah yang semestinya menjadi acuan dalam membangun peradaban bangsa ke depan sehingga tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tercinta ini.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya yang harus diperhatikan Negara adalah soal akar konflik dan benturan sosial mengatasnamakan `agama` itu bisa terjadi. Bisa jadi akar konflik itu dipicu oleh permasalahan-permasalahan sosial yang buntu di tengah masyarakat seperti masalah pengangguran, kesenjangan pembangunan, lemahnya penegakan hukum dan keadilan, rendahnya kualitas pelayanan publik, ancaman sparatisme dan terorisme, tingginya angka kejahatan kriminalitas dan korupsi, mungkin lemahnya kemampuan hankam (intelijen) dan sebagainya. Apapun bisa terjadi disebabkan atau dipicu oleh persoalan distribusi ekonomi yang tak merata yang mengakibatkan kesenjangan. Di sinilah peran intelijen Negara dituntut untuk sejak awal bisa membacanya sehingga lahir sebuah kebijakan yang populis sebagai resolusinya.
Resolusi Konflik Beragama/Berkeyakinan
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Karena perbedaan bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran kerukunan hidup umat beragama harus bersifat dinamis, humanis dan demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah (akar rumput). Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis.
Beberapa pemikir menawarkan resolusi konflik, Jack Rothman mengatakan bahwa untuk mengatasi berbagai konflik yang ada di masyarakat, maka perlu dilakukan dalam tindakan, yaitu: (1) tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengatur administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi. (2) memberikan insentif seperti memberikan penghhargaan kepada suatu komunitas atas keberhasilannya menjaga ketertiban dan keharmonisan. (3) tindakan persuasif, terutama terhadap ketidak puasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi. (4) tindakan normative, yakni melakukan proses membangun persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai (Syarifuddin Jurdi, 2010)
Nah, beberapa resolusi konflik beragama dan berkeyakinan yang bisa didorong diantaranya adalah dengan mengintensifkan ruang-ruang Dialog baik interen maupun antar umat beragama/berkeyakinan. Meski berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Selanjutnya perlu digagas soal musyawarah antar tokoh agama sebagaimana sekarang ini adanya forum-forum kerukunan antar umat beragama (FKUB). Selain itu, juga mendorong masyarakat beragama dan berkeyakinan untuk memiliki sikap tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat).
Kedua sikap diatas akan lebih lengkap lagi jika didukung dengan sistem pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah sejak dini mungkin. Wallahu a`lam bish-shawwab##
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H