Mohon tunggu...
Kang Kalih
Kang Kalih Mohon Tunggu... Konsultan - Petualang pendidikan nusantara

hobby jalan2, kuliner. mencintai tanah air, masyarakat & budayanya...\r\ntinggal di bogor, menggeluti bidang pendidikan, lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Papua, Bumi yang Tersembunyi (1)

9 November 2011   02:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:54 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta - Merauke

Papua? Wah, dari dulu sejak zaman Irian Jaya ingin sekali saya menginjakkan kaki di bumi tertimur negeri ini.  Kurang afdol rasanya kalau sebagai bangsa Indonesia kita belum sampai di tempat matahari terbit pertama kali menyinari bumi Indonesia di setiap pagi. Di saat saya excited, teman dan kerabat mengkhawatirkan kondisi di sana.  Bayangan bawah sadar keadaan saat pembebasan Irian Barat rupanya masih melekat di benak sebagian besar kita.  Apalagi berita terakhir tentang keamanan.  Serangan di Timika, serangan di Merauke, keributan antar suku di beberapa distrik makin melengkapi referensi kekhawatiran. Tujuan utama ekspedisi kali ini ialah di Kabupaten Boven Digoel.  Kabupaten enclave yang tidak memiliki laut.  Namun kapal laut dapat singgah.  Ini dimungkinkan karena Sungai Digoel yang lebar dan dalam, yang menjadikan Tanah Merah sebagai hub bagi distribusi barang ke daerah yang lebih dalam lagi.   Berada ditengah-tengah antara Jayapura dan Merauke, berbatasan langsung dengan Papua Nugini.  Namun untuk dapat mencapai itu, saya harus menempuh perjalanan lebih dari 4.000 km.  Jarak yang sama untuk sampai ke negara Jepang, India, melintasi benua Eropa dan jarak pantai barat dan timur AS.  Sungguh negara kita sangat luas! Seminggu sebelum berangkat, kami sudah rutin menenggak kina.  Hanya itu yang memberi sugesti tentang kekebalan terhadap malaria.  Apalagi beberapa teman yang pernah di Papua mengatakan bahwa Boven Digoel salah satu daerah endemik.  Informasi lain tentang keadaan disana sangat minim.  Searching di internet pun tidak memberikan data yang banyak.  Jadilah hanya mengandalkan pengalaman teman yang pernah lebih dulu ke sana.  Namun yang menjadi perhatian utama ialah bagasi.  Usahakan barang seringkas-ringkasnya.  Bagasi maksimal 3 kg, mengantisipasi pesawat kecil yang akan membawa kami.  Barang lainnya diusahakan masuk ke dalam ransel yang bisa masuk kabin. Di tiket yang saya terima tertulis CGK-DDJ.  Kami tidak tahu singgah dimana dulu.  Namun setelah di terminal 2F, saya lihat di monitor ternyata pesawat ke Jayapura singgah di Makassar dan Biak.  Perjalanan ke bandara cukup lancar, sehingga kami masih banyak waktu untuk makan malam, walaupun yakin nanti di penerbangan mendapat makan malam.  Jam 21.00 kami sudah boarding.  Dan beberapa saat kemudian lepas landas menuju angkasa yang hitam. Pesawat yang saya naiki ialah Boeing B737-800NG, full hiburan dengan layar sentuh.  Cukup nyaman untuk perjalanan agak lama.  Hidangan pun cukup bervariasi.  Walaupun tadi sudah makan, saya coba juga menghabiskannya, dan ternyata bisa.  Jam 24.00 WIB atau 01.00 WIT pesawat sudah memasuki bandara Hasanudin Makassar.  Singgah 30 menit cukup untuk sekedar ke toilet dan jalan-jalan meluruskan kaki. Penerbangan menuju Biak membutuhkan waktu sekitar 2 jam.  Otomatis dini hari penumpang dihidangkan lagi makan.  Entah termasuk makan malam, makan sahur atau sarapan.  Saya sih dengan mantap menolak, karena khawatir akan mengganggu aktivitas rutin lainnya.  Sekitar jam 4 dinihari WITA, saya menginjakkan kaki di Biak sekaligus sholat subuh di bandara Frans Kaisiepo.  Di Biak ini pula crew Garuda diganti.  Jadi selanjutnya ke Sentani kami diantar dengan crew yang masih segar bugar. Pagi hari di bandara Sentani sangat cerah dan panas.  Bandara yang indah dengan arsitektur mirip honai-honai, tapi lebih mirip gedung tumpeng TMII.  Pesawat beraneka jenis terparkir di bandara yang luas, didominasi pesawat kargo.  Beberapa pesawat yang rusak teronggok juga di sudut parkiran.  Di belakang gunung-gunung menjulang, berbatasan dengan danau Sentani yang indah.  Namun saya tidak bisa lama-lama menikmati alam, pesawat berikutnya menuju Merauke sudah menunggu.  Penerbangan ke Merauke disambung dengan Merpati.  Garuda hanya mengantar sampai di Jayapura saja.  Katanya nanti akan ada juga penerbangan ke Merauke.  Sedangkan pilihan pesawat berbadan lebar ke Merauke selain Merpati adalah Batavia.   Pesawat Merpati yang kami naiki sesungguhnya mengekor sejak dari Soekarno-Hatta.  Baik singgah di Makassar, Biak, selalu beriringan. izakod bekai izakod kai, satu hati satu tujuan. merpati milik pemda merauke Pesawat Merpati seri B737-300 segera membumbung tinggi.  Walaupun pesawat secara umur mungkin rada uzur, tapi dengan pilot yang terasa sangat menikmati penerbangannya menjadikan saya rada tenang.  Pilot cukup aktif memberikan informasi penerbangan dengan nada gembira. Apabila sesorang bekerja dengan hati dan hobinya, tentu hasilnya akan lebih baik.  Itu yang menenangkan saya dengan penerbangan ini. Selepas pegunungan Jayawijaya, terlihat hamparan daratan berwarna merah, dan memang itulah Tanah Merah yang saya tuju. Sang Pilot menginformasikan hal itu.  Selain itu, cuaca di Merauke dikabarkan sedang terjadi hujan, namun dengan pembawaan pilot  saya yakin pendaratan akan baik-baik saja. Akhirnya, di tengah guyuran hujan, sang burung besi mendarat dengan selamat di kota terujung Nusantara. (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun