Hampir semua calon presiden (capres) menggulirkan masalah perekonomian sebagai isu sentral dalam memaparkan visi kepemimpinannya. Demikian juga capres dari Partai Gerindra Letjen TNI (Purn) H. Prabowo Subianto, saat memaparkan pemikirannya tentang masa depan Indonesia di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PKB-PII) di Hotel Sultan, Sabtu (1/3) malam. Prabowo mengkritisi sistem ekonomi neo liberal, yang diakui atau tidak banyak diadopsi pemerintah sekarang. Gagasan Prabowo yang disebutnya dengan "Strategi Dorongan Besar" adalah menjadikan pertanian sebagai basis perekonomian bangsa.
Strategi ini penting, karena menurut Prabowo potensi sumber daya energi Indonesia, khususnya minyak bumi dan gas alam sudah kian menipis. Potensi minyak bumi Indonesia diperkirakan habis 12 tahun lagi, gas alam tinggal 34 tahun lagi dan batubara diperkirakan 79 tahun lagi habis. Menghadapi tantangan ini, yang memprihatinkan bagi Prabowo adalah minimnya alokasi anggaran untuk sektor Pertanian. Pada tahun anggaran 2013 misalnya, APBN hanya mengalokasikan 2,1 % anggaran untuk pertanian.
Strategi Dorongan Besar hendak diwujudkan melalui upaya utama berupa mengubah 16 juta hektar hutan rusak menjadi lahan pertanian produktif. Rinciannya 10 juta hektar digunakan untuk sumber bahan baku biofuel. Sementara 6 juta hektar lainnya dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Proses yang diharapkan bisa selesai dalam waktu 20 tahun ini, sudah tentu memerlukan dukungan infrastruktur seperti: waduk, irigasi, jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, lapangan terbang dan lain-lain. Sehingga upaya utama tersebut menjadi arah yang jelas bagi pembangunan secara fisik yang perlu dilakukan secara merata, tak hanya di kota-kota tapi juga sampai desa-desa.
Langkah ini, menurut Prabowo sekaligus menjadi jalan keluar dari beberapa masalah seperti ketimpangan sirkulasi uang antara kota dengan desa, kecepatan kerusakan hutan yang kian tak terkendali, dan yang tak juga kalah pentingnya adalah penyediaan lapangan kerja. Prabowo menyebut 60% uang beredar di Jakarta, 30% di 32 kota-kota besar lainnya, hanya 10% uang yang beredar di desa. Padahal menurutnya, lebih dari 50% penduduk masih tinggal di desa. Kondisi ini bisa menjadi indikasi masih belum meratanya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia.
Strategi Dorongan Besar dari sisi penganggaran, menurut Prabowo sangat realistis, apabila pemerintah bisa lebih meningkatkan efisiensi anggaran. Selama tahun anggaran 2013, diperkirakan ada kebocoran uang negara sejumlah Rp1.160 triliun. Kebocoran ini meliputi kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp360 triliun, kebocoran anggaran negara Rp500 triliun dan anggaran negara untuk subsidi energi Rp300 triliun.
Efisiensi anggaran ini tentu saja hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang kuat, efisien dan tidak korup. Untuk mewujudkannya memerlukan kepemimpinan yang memiliki keberanian untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih, manajemen yang efisien dan kontrol ketat dari publik terhadap anggaran belanja negara. Sampai di sini gagasan Prabowo memang terasa brilian.
Persoalannya, untuk mewujudkan gagasan tersebut memerlukan dukungan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai produk sistem pendidikan yang handal. Dalam konteks ini, maka seorang capres perlu memiliki visi yang jelas tentang pendidikan nasional, agar mampu menghasilkan out put yang mampu mengemban amanah untuk mewujudkan visinya. Apalagi sesuai ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, APBN harus mengalokasikan minimal 20% anggarannya untuk pendidikan di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Ketiadaan visi pendidikan yang jelas akan membuat alokasi anggaran pendidikan tidak tepat sasaran, kategorinya anggaran pendidikan realisasinya lebih banyak pembangunan gedung dan pengadaan peralatan mebeulair. Meskipun itu bagian dari sarana pendidikan, tentunya perlu kebijakan anggaran yang proporsional.
Mungkin hal inilah yang menggelitik seorang pakar pendidikan Dr. Muhammad Abduh Zein untuk menggali pemahaman Probowo terhadap problema pendidikan di Indonesia. Pertanyaan dari Ketua Litbang PB PGRI yang juga Ketua Bidang Pemberdayaan Alumni PP PKB-PII ini sederhana saja, bagaimana Prabowo memandang problema pendidikan di Indonesia, belum sampai solusinya. Meski pertanyaan sederhana tapi terasa mendalam. Sehingga respon Prabowo dalam menanggapi juga tidak setangkas ketika menjawab pertanyaan atau menjelaskan persoalan ekonomi bangsa Indonesia. Tampaknya Prabowo belum menemukan rumusan substansi yang tepat terkait masalah pendidikan Indonesia, terlebih untuk menggagas solusinya.
Memang, seorang presiden bukan seorang yang serba bisa, tapi setidaknya mampu memahami masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Sebagai seorang capres yang dalam berbagai survey diunggulkan, tentu Prabowo sangat diharapkan untuk tidak hanya memiliki visi ekonomi tapi juga visi pendidikan yang jelas. Sehingga timnya juga perlu dukungan tak hanya dari pakar ekonomi semata, melainkan juga masukan dari pakar pendidikan.
Di sisi lain, PKB-PII yang sekarang dipimpin Soetrisno Bachir (SB), merupakan organisasi tempat berhimpunnya alumni PII, yang memiliki sejumlah pakar dan praktisi pendidikan dengan wawasan luas. Bukan persoalan sulit bagi SB, untuk membentuk tim yang bisa mempertajam visi pendidikan seorang capres. Jika Prabowo, sebagaimana pengakuannya sendiri, mengenang SB, sewaktu masih menjadi Ketua Umum DPP PAN, sebagai seorang mitra koalisi yang memegang teguh komitmen, kekurangan Prabowo dari sisi visi pendidikan, memberi peluang bagi terjadinya "koalisi" lanjutan dengan SB. Setidaknya, SB bisa merekomendasikan sejumlah pakar pendidikan alumni PII untuk memperkuat tim pendidikan Prabowo. Mungkinkah antar keduanya sekarang sedang saling menjajagi langkah-langkah ke arah itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H