Mohon tunggu...
Achmad Marzoeki
Achmad Marzoeki Mohon Tunggu... -

Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Penulis novel "Pil Anti Bohong".

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Jokowi, Prabowo dan Yusril (Bagian Kedua)

13 Maret 2014   07:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fakta kedua terkait posisi dan peran di partai masing-masing. Meski menduduki elektabilitas tertinggi dalam berbagai survey capres yang dilakukan beberapa lembaga, Jokowi yang berasal dari PDIP tidak memiliki posisi kepengurusan yang memungkinkannya berperan besardalam pengambilan keputusan partai. Sehingga tingginya elektabilitas tidak menjadi jaminan memperoleh tiket untuk ditetapkan sebagai capres atau cawapres dari PDIP. Bahkan dalam Pilgub DKI Tahun 2012 yang berhasil dimenangkannya, awal mula Jokowi bisa menjadi cagub dari PDIP, juga bukan dari aspirasi internal PDIP. Bahkan konon awalnya justru mantan Wapres Jusuf Kalla yang mendorong Jokowi untuk maju dalam Pilgub DKI 2012, termasuk memintakan dukungan kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Karena suara yang dimiliki PDIP di DKI Jakarta tidak mencapai 15%, maka tidak bisa mengajukan pasangan calon sendiri. Sehingga isu yang sempat berhembus kuat, PDIP hanya akan mengajukan cawagub Mayjen TNI (Purn) Adang Ruchiyatna yang diusulkan Taufik Kiemas, untuk berpasangan dengan petahana Fauzi Bowo. Bisa jadi desakan yang demikian kuat untuk mengusung Jokowi sebagai cagub DKI, membuat PDIP kemudian menaikkan targetnya dalam Pilkada DKI 2012. Apalagi ketika kemudian Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra juga melobi Megawati. Koalisi PDIP-Gerindra untuk Pilkada DKI 2012 akhirnya disepakati dengan mengusung Jokowi (PDIP)-Ahok (Gerindra).

Dorongan pihak eksternal dalam mempengaruhi keputusan DPP PDIP, mungkin hanya bisa terjadi saat Pilkada DKI yang ternyata membawa hasil kemenangan. Langkah serupa tidak berarti bisa berlangsung mulus untuk Pilpres 2014 nanti. Jangankan untuk penetapan capres, dalam penetapan cagub di daerah lain, DPP PDIP cukup percaya diri untuk mengambil keputusan sendiri. Contoh terakhir dalam Pilgub Jateng 2013. Nama Rustri yang saat itu menjabat Wagub Jateng dan dipercayai banyak kalangan memiliki dukungan luas, gagal mendapatkan rekomendasi DPP PDIP yang akhirnya diberikan kepada Ganjar. Meski sementara pihak, khususnya pendukung Rustri banyak yang menyesalkan keputusan ini dan menebar ancaman golput, nyatanya Ganjar yang semula dianggap kalah populer dibanding Rustri, bisa memenangkan Pilgub Jateng, mengalahkan petahana Bibit Waluyo.

Pengalaman Pilgub Jateng tentu akan lebih memupuk rasa percaya diri DPP PDIP untuk mengambil keputusan yang terkesan berbeda dengan aspirasi publik. Sehingga upaya penggalangan dukungan untuk Jokowi, misalnya dengan membentuk Bara JP (Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014) dan PDIP Pro-Jokowi, tak akan serta merta membuat DPP PDIP akan menyetujui pencapresan Jokowi. Dukungan pihak eksternal terhadap pencapresan Jokowi tentu akan menjadi bahan kajian serius DPP PDIP sebelum memutuskan. Apakah latar belakang dukungan karena prestasi dan popularitas Jokowi, atau karena ada kepentingan terselubung yang belum jelas ke mana arahnya. Sebab dalam dunia politik, perubahan 180 derajat bisa terjadi dalam waktu sesaat.

Posisi berbeda dimiliki Prabowo di partainya. Ketika masih bergabung dengan Partai Golkar, Prabowo nyaris tak memiliki pengaruh apa-apa di partainya, meski duduk menjadi anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar. Hal ini bisa dilihat dari kekalahan Prabowo dalam Konvensi Capres Partai Golkar menjelang Pemilu 2004. Selanjutnya keberhasilan JK, kader Partai Golkar yang memenangkan Pilpres 2004 bersama SBY yang diusung Partai Demokrat tanpa dukungan Partai Golkar sendiri dan kegagalan JK (berpasangan dengan Wiranto) justru saat diusung koalisi Partai Golkar-Partai Hanura, sepertinya membuat para mantan peserta Konvensi Capres Partai Golkar tahun 2004 itu beranggapan, mustahil menjadi Presiden jika diusung Partai Golkar yang dinilai merupakan warisan Orde Baru. Sehingga beberapa mantan peserta konvensi kemudian mendirikan partai sendiri, termasuk Prabowo yang mendirikan Partai Gerindra. Peserta yang memenangkan konvensi tapi gagal dalam Pilpres 2004, Wiranto, juga akhirnya mendirikan Partai Hanura. Demikian juga dengan mantan peserta yang lain, yakni Surya Paloh yang mendirikan Partai NasDem.

Dengan mendirikan partai sendiri, Prabowo memegang peran sentral di partainya. Namun posisi struktural yang dipilih Prabowo untuk mengendalikan partai sesungguhnya aneh, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra. Berbeda sekali dengan Wiranto (Ketua Umum DPP Partai Hanura) dan Surya Paloh (Ketua Partai NasDem),sehingga antara kemauan keduanya untuk mengendalikan partai dan posisi struktural yang dipilih jelas. Bahkan agar bisa lebih mengendalikan partai yang didirikannya, Presiden SBY juga rela turun gelanggang dari semula hanya Ketua Dewan Pembina ex off Ketua Majelis Tinggi, sekarang menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat.

Dampak dari pilihan posisi dan peran Prabowo dalam Partai Gerindra adalah kurang dikenalnya Ketua Umum DPP Partai Gerindra oleh publik. Orang awam akan beranggapan Prabowo yang menjadi Ketua Umum DPP Partai Gerindra, karena yang selalu tampil dominan dalam iklan Partai Gerindra adalah Prabowo. Tidak jauh beda dengan orang menyimpulkan siapa ketua umum partai setelah melihat iklan Partai Golkar (Aburizal Bakrie), Partai NasDem (Surya Paloh), Partai Hanura (Wiranto) atau PAN (Hatta Rajasa). Dampak lainnya adalah masih belum berjalannya mekanisme organisasi di semua tingkatan pengurus partai. Publik tidak pernah mendengar ada musyawarah pergantian kepengurusan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tahunya ada pergantian ketika ada SK dari DPP. Tak mengherankan bila terjadi konflik kepengurusan di beberapa daerah. Bahkan di tingkat nasional baru sekali diadakan Kongres Luar Biasa Partai Gerindra untuk merombak kepengurusan. Hal ini tentu menjadi tanda tanya, bagaimana mekanisme pergantian kepengurusan di Partai Gerindra? Sekaligus juga mencuatkan pertanyaan, jika dalam mengelola partainya Prabowo begitu dominan, bagaimana kalau menjadi Presiden dan mengelola negara?

Lain Jokowi dan Prabowo, lain pula posisi Yusril di partainya. Sejak menjadi salah satu pendiri PBB, Yusril tak pernah berpindah ke partai lain, meskipun dari pemilu ke pemilu, kursi parlemen yang berhasil diraih PBB terus menurun. Pada Pemilu 1999, PBB masih bisa membentuk fraksi sendiri di DPR-RI dengan meraih 13 kursi, Pemilu 2004 menurun hanya meraih 11 kursi dan membentuk fraksi gabungan dengan partai lain, terakhir pada Pemilu 2009 tidak lolos Parliamentary Threshold sehingga tidak ada wakilnya yang duduk di DPR-RI. Sepertinya PBB belum bisa beradaptasi dengan perubahan sistem pemilihan dari pemilu ke pemilu, sehingga akumulasi suara yang diperoleh belum bisa mengantarkannya untuk meningkatkan jumlah kursi DPR-RI.

Saat PBB dideklarasikan, 26 Juli 1998, Yusril dipercaya para pendiri untuk menjadi Ketua Umum DPP PBB. Konon kabarnya, sebenarnya Yusril "hanya" disiapkan untuk menjadi Sekjen, dan Amien Rais yang akan dijadikan Ketua Umum. Namun karena, Amien Rais mendirikan PAN, membuat Yusril yang akhirnya menjadi Ketua Umum. Jabatan Yusril sebagai Ketua Umum DPP PBB bisa dipertahankan dalam Muktamar ke-1 di Jakarta, setelah dalam pemilihan mengalahkan kandidat lain, politisi kawakan Hartono Marjono, SH (almarhum). Pada saat Muktamar ke-2 (2005) Yusril terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro setelah dalam pemilihan mengalahkan tokoh yang lebih senior H. Hussein Umar. Pada saat muktamar ke-3 (2010), Yusril kembali terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro.

Posisi Yusril sebagai capres dari PBB, tidak tergoyahkan, karena di lingkungan internal PBB saat ini memang belum ada tokoh yang sepadan dengannya. Namun berbeda dengan dominannya posisi Prabowo di Partai Gerindra, posisi dominannya Yusril di PBB diraih melalui sebuah kompetisi.

Berdasarkan survey yang diadakan beragam lembaga, elektabilitas PDIP dan Partai Gerindra jauh di atas PBB. Bahkan beberapa survey memberikan hasil PBB bernasib seperti Pemilu 2009, tidak lolos Parliamentary Treshold. Sehingga masa depan pencapresan ketiga tokoh tersebut juga berbeda. Jokowi masih tergantung keputusan partainya sedangkan Prabowo perlu mencari cawapres dari partai lain untuk berkoalisi, jika perolehan suara Partai Gerindra tak mencukupi untuk mengajukan calon sendiri. Karena sampai saat ini, belum ada hasil survey yang menunjukkan elektabilitas suatu partai mencapai 25%, peryaratan perolehan suara minimal untuk partai yang bisa mengajukan pasangan calon presiden sendiri (presidential threshold). Sementara meski gugatan judicial review terhadap pelaksanaan pemilu serentak yang otomatis akan meniadakan ketentuan presidential threshold dikabulkan, tapi untuk dilaksanakan mulai pemilu 2019, sedangkan dalam Pemilu 2014 ketentuan presidential threshold tidak dicabut.

Bagaimana dengan nasib pencapresan Yusril? Hal itu sepertinya harus menunggu salah satu dari tiga keajaiban, pertama, perolehan suara PBB memungkinkan untuk mengajukan capres, minimal bisa berkoalisi dengan partai yang perolehan suaranya lebih kecil;kedua,ada partai atau koalisi partai lain dengan perolehan suara memenuhi syarat, yang mengajukannya sebagai capres; dan ketiga, gugatan judicial review yang diajukan Yusril bisa diterima MK, minimal dihapuskannya ketentuan presidential threshold. Mungkinkah salah satu dari ketiga keajaiban itu terjadi, sehingga kompetisi antara Jokowi, Prabowo dan Yusril bisa berlanjut, atau malah akan terjadi keajaiban yang lain? (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun