Lampu memijarkan cahayanya ke segala penjuru ruangan yang luasnya sama dengan luas rumah sederhana pada umumnya. 1967. Suasana hening. Cahaya emas lampu gantung menambah kesan itu. Di ruangan luas itu tengah duduk pemuda berbadan tegap mengenakan safari berwarna khaki. Seorang ajudan. Tatanan rambut yang dibelah samping, disisir ke kanan. Ajudan ini memasang telinga, siap menangkap suara yang muncul. Jemarinya dengan cekatan mengetukkan bilah mesin ketik apa yang ia dengar. Lama tak bergeser mesin ketik itu. Ajudan tak memberanikan diri berbicara. Dia hanya menunggu.
Di samping ajudan berdiri lelaki paruh baya mondar-mandir. Soekarno. Tangannya menujuk-nunjuk ke atas namun mukanya tertunduk. Mencari-cari kata. Esok dia akan diadili oleh bangsanya, sidang paripurna. Tak pernah dia segelisah ini menghadapi bangsanya. Saat dia di puncak, tak ada seorangpun yang menemaninya, semua menggelundung ke bawah. Angin prahara pun hanya menerpa dirinya. Kata-kata tak ditemukan. Pikirannya melayang saat dia di Sukamiskin.
Sukamiskin Bandung, namanya tak nyaman di telinga, terkenal dengan tempat untuk mengumpulkan para begundal dan pembangkang bangsa. Soekarno diantaranya. Dia dipenjara lantaran berteriak-teriak merdeka. Di ruang sempit ini, dia mendapat dukungan dari kawan, saudara dan keluarga. Tembok tebal tak bisa memenjarakan pikiran dan kata-katanya. Di kegelapan sel besi Soekarno menemukan cahaya perjuangan, cinta dan kemerdekaan. Inggit, Istrinya, selalu membawa hangatnya cinta untuk Engkus dibalik dinginnya penjara. Tak pernah ia teteskan air mata. Walau binar bahagaia tak pernah bisa disembunyikan. Bahagia membuat jiwa bergelora, Soekarno menggertak hakim di Landraad kota. Dan menggugatlah Indonesia.
Setelah sarapan, Soekarno mencoba serapih mungkin. Safari dan songkok hitam dikenakkannya. Dia mondar-mandir di depan cermin sambil memegang kertas hasil pikirannya semalam. Tertulis tebal di atas kertas itu : NAWAKSARA. Matanya meraba-raba kata, mana yang mesti ditekan dan diulang-ulang. Bibirnya bergetar, tak sengaja giginyapun bertubrukan. Gemetar.
Soekarno duduk menghadap peserta Paripurna. Mata mereka menawarkan keengganan. Raungan pengeras suara menitahkan Soekarno berdiri di atas podium. Wajah tegang Soekarno yang coba ditutupi dengan kewajaran tampak tawar untuk dipandang. Langkahnya berat untuk menuju podium. Bangsa yang dilahirkannya meminta pertanggungjawabannya. Mikrofon coba ia benarkan posisinya. Lipatan kertas dari saku kanan safari hitamnya dikeluarkan. Dirapikan dan ditaruh di atas podium. Kacamata dirogoh dari saku kiri safari, ia kenakan. Tangannya mencoba membetulkan letak posisi songkoknya. Matanya melihat ke seluruh penjuru ruangan, menggerakkan perlahan ke kanan dan kiri. Jantungnya berdetak kencang sama seperti saat dia pertama kali berpidato di depan kawan-kawan indekost dan dihadapan HOS Tjokroaminoto di Surabaya.
Jalan paneleh, Surabaya 1917. Di bilik kecil pengap dan remang dari cahaya lampu tembok berdiri Soekarno kecil di depan cermin. Meneriakkan dan mengulang-ulang kata. Tangannya menunjuk-nunjuk. Air mukanya berubah-ubah seiring kata-kata yang ia keluarkan. Dari cermin ia perhatikan dengan seksama apa yang dilakukakannya. Mencoba memperbaiki jika ada yang tidak pas di hati, sesekali dia meniru gaya pidato dari (kelak) ayah sang istri, Oetari : HOS Tjokroaminoto.
Tiap malam pula di bilik sebelah, Sigit menaruh telinga. Membayangkan apa yang dilakukan Soekarno. Sigit Mencintai Oetari dan Sigit merasa Soekarno bisa menjadi orang yang dipercaya untuk menghubungkan rasanya itu kepada restu Pak Tjokro. Nasib belum memihak Sigit, Dewi Fortuna Menitipkan Oetari ke tangan Soekarno. Paman Oetari meminta Soekarno untuk menikahi keponakannya sesaat setelah Pak Tjokro dijebloskan ke bui.
***
Soekarno telah matang oleh Inggit, 15 tahun jarak usia mereka. Disunting saat Inggit masih berstatus Nyonya Sanusi; dan Pak Sanusi pun rela menanggalkan namanya pada nyonya Inggit. Dari Inggit, Soekarno mendapat bimbingan dan kasih sayang yang begitu besar untuk melaju di depan mimbar bangsanya. Mendampingi Soekarno menemukan jati diri dirinya dan bangsanya. Pernikahan mereka bertahan sampai pendudukan Jepang. Inggit dengan rela melepas Soekarno di depan gerbang kemerdekaan. Soekarno memilih Fatimah untuk melanjutkan namanya.
Diminta dengan baik-baik, dan dipulangkan pula dengan baik-baik. Inggit diserahkan ke saudaranya di Bandung oleh Soekarno. Penghujung Soekarno tidak sama dengan nasib istrinya. Nawaksara ditolak Paripurna, segera turun perintah untuk meninggalkan istana. tiada saudara dan kerabat yang menghantarnya. Hanya sekompi tentara datang menjemput paksa. Tak ada barang yang dibawa. Helikopter telah siap di lapangan Ikada. Tak tahu harus dipulangkan kemana. Karena mungkin Soekarno telah menjadi milik bersama.
Dari Lapangan Ikada, helikopter membawa Soekarno ke Bogor; ke kediaman Hartini. Hartini : janda Jawa yang ditakdirkan mendampingi Soekarno Sang Raja Jawa. Keduanya dipertemukan oleh semangkok lodeh. Raja Jawa tak sahih jika tak beristri ganda. Pernikahnnya menghembuskan gosip perebutan sang Raja di media massa. Dengan mudah Hartini menangkisnya : Oetari disingkirkan oleh Inggit, dan Inggit dilengserkan oleh Fatmawati. Karena pernikahan Soekarno dengan Hartini, Fatmawati mengungsi ke Sriwijaya membawa serta Guruh Soekarno Putra.
Sriwijaya, Istana terakhir Fatmawati. Tak lagi beristana negara. Bersama-sama Soekarno, dia melahirkan Indonesia. Menjahitkan bendera pusaka. Bertemu di pengasingan zaman Belanda, Anggut Atas tempatnya. Disunting lewat telegram dari Jakarta. Menggantikan posisi Inggit yang tak mau didua dan kelak merasakan hal yang sama.
Lewat telegram Soekarno mengucapkan akad mengikat Fatmawati, lewat sepucuk surat pula dia mencerai salah satu istrinya : Haryatie. Hariyatie disatukan lewat kunjungan ke negeri Matahari mendampingi suami yang akan berobat ke Luar Negeri dan penjemputan sang Sakura Hati : Dewi. Hariyatie dan Dewi tak banyak mempengaruhi hari-hari suami selain menghadiahkan kecantikan diri bagi suami yang sudah lupa diri.
Semakin senja Soekarno, semakin suram pula pemerintahan dia, namun tidak dengan asmaranya. Kartini manoppo ditemukan Soekarno di bingkai lukisan Basuki Abdullah. Dia sering terbang karena seorang pramugari. Pulang ke dalam Negeri, tak tahu harus kemana membawa diri karena sang suami tak lagi duduk di Singgasana negeri.
Saat bangsa bergelora menurunkan dirinya, Â asmaranya naik menyala bagai anak muda.Yurike dan Heldy sebagai saksinya. Tak lagi melihat norma. Hanya ingin ikut manja larut dengan kekasihnya yang masih remaja.
Dengan cepat semuanya sirna; Soekarno diusir dari Istana tanpa ada yang mendampinginya. Sepi menemani suasana. Meninggal dengan kesendirian, kesepian dan ketidakpastian tentang akhir dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H