Mohon tunggu...
Kang Inun
Kang Inun Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kang Inun lahir di pesisir teluk lada saat matahari baru tersenyum tahun seribu empat ratus tujuh.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harga Rendah untuk Si Gengsi Tinggi

18 April 2012   05:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengung keresahan itu telah memudar. Padahal baru dua pekan yang lalu hati dan pikiran dibuat tegang. Tegang di jalanan dan tegang di Senayan. Mengeluarkan berbagai argumen untuk menstabilkan atau menaikkan sesuatu yang menyalakan kehidupan : Bahan Bakar Minyak. Tanpa undangan, tanpa kenal lelah, massa datang dengan segera, menyambar layaknya bensin terkena panas, menghadang rancangan undang-undang untuk menaikkan harga api kehidupan ini.

Emas hitam terhampar begitu banyak di negeri ini. Jumlah banyak tak serta merta dapat memuaskan kenikmatan emas hitam untuk penduduk negeri ini. Berbagai argumenpun dilontarkan. Salah satunya produksi yang selalu menurun dari tahun ke tahun. Untuk menutupi kekurangan tentu saja mencari ke negeri orang. Beli dari negeri orang mau tak mau harus mematuhi dan menggunakan cara international, harga yang telah ditetapkan.

Produksi menurun namun pengkonsumsi emas hitam lahir tak terkendali. Ribuan kuda besi dari negeri Matahari lahir tiap hari yang siap memacu di arteri. Kereta bermesin dengan mudah keluar Istal memenuhi pacuan jalanan. Siap mentereng bergaya dengan tunggangan namun tak siap menerima kejutan untuk memberi pakan. Meninggikan Gengsi melupakan jati diri. Sejatinya penunggang-penunggang kuda besi dan kereta bermesin ini adalah kaum berpunya. Mereka tiap bulan mendapat jaminan hidup dari keringat mereka. Gaya hidup borjuis tak mau dianggap jelata, namun masih tamak dan loba memakan hak bagi mereka yang telah ditetapkan gurat garis papa.

Saat dengung harga emas hitam kualitas premium hendak dinaikkan ramai berbondong-bondong pemilik kuda besi dan kereta bermesin mengisi sampai penuh perut tunggangan mereka. Bahkan dari mereka memiliki rencana menampung pakan tunggangan mereka untuk menjaga-jaga jika dan jika harga pakan sungguh-sungguh naik; walau kenyataan matematika sederhana, keuntungan menyimpan pakan tunggangan untuk selama penyesuaian dan penerimaan psikologis bahwa harga telah naik adalah tak lebih dari harga dua cangkir coffe late di waralaba putri duyung.

Emas hitam premium didatangkan dari lain negeri. Dibeli dengan harga tinggi, dijual dengan harga setengah dari harga beli. Negara menombok dengan subsidi. Murah meriah. Diskon setengah. Ramai-ramai memakan emas hitam kualitas premium ini tanpa malu-malu. Subsidi membengkak. Sidang dilaksanakan untuk membius radang subsidi. Sidang berhasil membuat keputusan, dari waktu sidang yang mendapat  tambahan. Premium belum jadi dinaikkan. Karena koalisi pecah di akhir pertandingan. Entah sebuah prestasi atau untuk kepentingan pribadi.Trilyunan rupiah siap disantap kembali oleh mereka yang meninggikan gengsi.

Di kemudian hari, Pemimpin negeri berpikir keras namun ragu-ragu untuk tegas bagaimana caranya pemilik kereta bermesin memberi pakan tunggangannya dengan kualitas Pertamax. Karena 53 persen kualitas premium dilahap mereka. Mudah kawan, tegas memang pedas. Jangan ragu, perintahkanlah semua roda empat berplat hitam dan merah meminum pertamax jika tak mau harga dinaikkan, karena kita tidak pernah ragu bahwa sang pemilik baik berdapur pacu dibawah satu setengah liter atau diatasnya adalah seorang yang berpunya. Jika tak setuju, suruh jual kereta mesin mereka, ganti dengan Yamaha atau bila perlu sepeda. Uang hasil jual kereta akan cukup memberi pakan kuda besi mereka hingga menjadi besi tua.

Tetapi aku sadar, bangsaku pelupa. Tegang itu sirna, sekarang aman tentram seperti tak terjadi apa-apa, dan aku menutup mata mengingat waktu kecil riang mengayuh sepeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun