Pernah dengar nama Zee Ohm? Belum, bukan? Baiklah, kita—tentu saja saya dan Anda—tidak akan kecewa mengenalnya sekarang meskipun nama itu belum terkenal, tapi saya berkeyakinan jika ia terus-menulis secara konsisten menulis puisi ditambah sedikit keberanian mempublikasikan karyanya di media cetak juga, bukan cuma hanya di dunia maya, mungkin tak lama lagi kita akan mengenalnya sebagai salah satu penyair perempuan dengan puisi-puisi yang luar biasa. Saya sudah cukup lama menikmati puisinya, bahkan saya cukup senang mengamati puisi-puisi yang ditulisnya. Tidak mudah memang menikmati puisi-puisinya, sebab ia lebih senang menggunakan atau mungkin bermain-main dengan kosakata bahasa Arab—yang sangat dikuasainya—yang asing di mata dan di telinga kita meskipun serba sedikit sebagai muslim kita pernah mendengar kata-kata dari bahasa Arab. Tapi, bahasa Arab-nya Zee Ohm lain, dan dia—dengan penguasaan bahasa Arabnya—menggunakan sedemikian bahasa Arab dengan mempreteli atau menjadikannya sebagai objek yang tidak sekadar membawa pesan, tetapi sekaligus memberi nuansa yang membuat pembaca geleng-geleng dan berdecak kagum—jika mengerti kata-kata Arabnya—memang betul,tidak sedikit juga yang garuk-garuk kepala sebal, sebab tidak mengerti sama sekali, tapi tergoda untuk membaca puisinya.
Sebab itu pula, ketika saya menemukan puisi Zee Ohm berjudul “Cerutu Masih Berujung Merah”, saya terkejut sebab rasanya kosa kata Arabnya seolah-olah hilang meskipun masih ada satu kata saja, yaitu adzan. Tapi, kata adzan bukan yang asing dan tidak dimengeti. Dan, Zee Ohm tidak melakukan sesuatu terhadap kata adzan itu sehingga maknanya terang-benderang. Artinya, kata adzan di sana masih yang dipakai makna leksikalnya, bukan ditambahi ini-itu. Lalu, saya bertanya, “Kemanakah kekhasannya Zee Ohm?”. Tapi, saya tidak kecewa dengan hilangnya kosa kata Arab di puisi ini, sebab Zee Ohm menawarkan puisi yang sangat indah dan mendalam sekali maknanya.
Apa kekuatan puisi ini? Pertama, bagi saya, Zee Ohm menawarkan sebuah cerita. Antara aku lirik dan kau. Entah siapa kau itu. Tapi, yang jelas aku begitu “perhatian” kepada kau. Atau, jangan-jangan aku begitu “terpesona” pada kau. Sekali lagi, siapa sih kau itu? Larik-larik puisi menjelaskan bahwa kau itu seorang perokok, yang selalu ke manapun membawa cerutu yang ujungnya selalu merah alias cerutu yang tidak pernah padam. Jadi, kau itu laki-laki? Rasanya, iya.
Kedua, Zee Ohm bermain-main tentang ideologi. Maaf, “ideologi” mesti diberi tanda petik. Larik yang berbunyi “rokok adalah budaya wong cilik, marginal, kesederhanaan desa”. Entah tepat atau tidak jika saya bilang bahwa larik tersebut adalah sebuah apresiasi Zee Ohm terhadap “merokok” yang beridentik dengan budaya wong cilik. Bisa jadi, larik itu sebenarnya mewakili Zee Ohm sebagai bagian dari budaya wong cilik itu.Tak apalah, hidup wong cilik!
Ketiga, larik kedua puisi itu membicarakan soal api. Tapi, api pada larik kedua ini bukan api pada cerutu, saya hanya merasa bahwa api di sini sebuah tanda untuk rasa yang muncul antara aku dan kau. Bahasa kerennya Zee Ohm pakai semiotika-lah saat menuliskan larik ini. Kesamaran antara api sebenarnya dan api sebagai tanda—bagi saya—membuat puisi ini makin menarik dan menjelajah lebih jauh pada cara kita membaca puisi dan memahaminya dengan cara yang berbeda.
Sudahlah, nikmati saja puisinya di sini.
Wallahu alam.
Mampang prapatan, 22 Februari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H