Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tiga Cerpen Langit: Sekadar Sebuah Perbincangan

14 November 2011   04:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama-tama, saya mau bilang permisi pada Langit. Mudah-mudahan berkenan jika beberapa cerpennya menjadi “perbincangan” saya. Dan, mudah-mudahan saja ada yang turut dalam perbincangan ini meskipun sekadar membaca. Perbincangan saya ini berdasarkan pada cerpen-cerpen yang berjudul “Sang Penari Telanjang untuk Tentara Jepang”, “Bertukar Suami ala Anak Pejabat Negeri”, dan “Bantai Dia dan Kuberi Satu Juta!”. Sebenarnya ada banyak cerpen Langit yang saya baca dan nikmati sebab Langit termasuk salah satu penulis favorit saya. Pilihan saya terhadap tiga cerpen itu dilakukan secara acak saja. Tidak ada pertimbangan lain, misalnya, pertimbangan jumlah yang membaca. Itu tidak penting bagi saya, sebab semua cerpen Langit pembacanya mencapai ratusan bahkan sampai ribuan orang. Yang sangat sulit ditandingi penulis fiksi lainnya di Kompasiana.

Mungkin sebab cukup banyak cerpen Langit yang sudah saya baca, judul-judul itu tidak “menarik” hati saya, maksudnya bukan sebab judul itu jika kemudian saya membaca cerpen-cerpen Langit tersebut. Bagi sebagian orang, mungkin ketertarikan membaca tulisan disebabkan oleh judul. Tapi, saya tidak. Kenapa? Sebab, yang menarik dari tulisan Langit, menurut saya yang telah akrab dengan gaya kepenulisan Langit,  adalah kritikan seperti apa lagi yang disampaikan Langit dalam tulisannya atau siapa lagi yang dikritik oleh Langit.

Cerpen “Sang Penari Telanjang untuk Tentara Jepang”, misalnya, mengkritik para oportunis dalam perjuangan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa sekarang. Para oportunis selalu memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadinya dengan mengorbankan segala hal. Dalam cerpen ini, saya rasa, ada kejanggalan. Sebab ini berlatar belakang sejarah, apakah Langit meriset dulu bahan-bahan yang akan dijadikan cerita ataukah sekadar benar-benar murni bermain dalam imajinai. Maksud saya, adakah dalam dunia nyata kita, atau adakah dalam zaman Jepang, kisah sebagaimana dikisahkan oleh Langit? Murni bermain dalam imajinasi pun tidak ada salahnya. Justru, mungkin akan menjadi nilai lebih. Hanya saja, pada batas apa si pembaca menyadari cerpen berlatar belakang sejarah ini memiliki rujukan pada dunia nyata kita dan pada batas apa, cerpen ini benar-benar dipikira pembaca hanya imajinasi murni?

Cerpen “Bertukar Suami ala Anak Pejabat Negeri” adalah kritikan terhadap sikap dan perilaku anak-anak pejabat. Kisah ini—jika benar-benar ada—membuat kita miris, bayangkan sedemikian parahnya perilaku para anak pejabat itu sampai-sampai bertukar pasangan yang sah dilakukan hanya untuk memuaskan hasrat bertualangan mereka. Yang haram dilakukan untuk sebuah kepuasan. Cerpen “Bantai Dia, dan Ku Beri Satu Juta!”  pun sebuah kritik. Kritik terhadap perilaku pengusaha yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan lingkungan sekitarnya.

Hampir semua plot yang dibuat Langit bersifat filmis, istilah HB Jassin. Artinya, rangkaian kejadian dalam cerpen ini disajikan ibarat adegan-adegan film. Tampak, cerita terlihat per adegan. Bahkan, terasa sekali saat kejutan cerita dimunculkan. Bagaimana ketika Seruni menembak bapaknya dan kejutan bahwa bapaknya sendiri yang “menjual”nya (“Sang Penari Telanjang”), terus bagaimana terkejutnya kedua teman itu saat tahu merka bersuamikan orang yang sama (“Bertukar suami”), dan saat sang pengusaha diterkam harimau (“Bantai Dia”), semua terpapar ibarat adegan film. Menurut saya, itu sebuah kelebihan Langit, dasyatnya adalah Langit bisa memberikan kejutan-kejutan di luar yang dipikirkan pembaca.

Wallahu’alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun