Pertama-tama jangan bayangkan kata sastra yang saya pakai bermakna sastra dalam pengertian-pengertian tentang nilai sebuah tulisan. Sederhana saja, kata sastra yang saya pakai adalah sastra dalam pengertian bentuk teks-teks fiksi, seperti puisi, cerpen, novel, dan drama. Itu pun saya tidak ingin berdebat tentang versifikasi apakah yang disebut sebagai puisi oleh penulisnya itu layak disebut puisi atau tidak, apakah yang disebut cerpen oleh penulisnya itu layak disebut cerpen atau tidak, dan seterus-seterusnya. Jadi, sekali lagi sangat sederhana, saya hanya bersandar pada (1) pengakuan penulisnya, dan (2) ciri-ciri fisik atau tipografiknya saja (bisa juga (3) berdasarkan subkanal teks tersebut diposting hehehe).
Sebagai pembaca, saya punya reaksi terhadap apa yang saya baca. Ini konon sudah menjadi sebuah kajian menarik tentang resepsi (penerimaan) eksperimental. Bagian dari cabang ilmu sastra. Dasar pemikirannya bisa dilacak pada ahli pikir zaman baheula, yang tergugah untuk melihat fungsi yang seharusnya dipenuhi oleh sebuah karya sastra terhadap pembacanya. Tentu, ada niat atau maksud penulis dengan teks yang dibuatnya yang berkaitan dengan pembacanya, itu salah salah satu alasannya.
Kata penyair Latin, Horatius (65 SM-8M), penyair ingin membuat sesuatu yang berfaedah bagi pembaca atau menyenangkannya. Puisi terbaik, lanjut Horatius, adalah puisi yang memperpadukan yang berguna dan yang menyenangkan (qui miscuit utile dulci). Aristoles berpendapat lain. Aristoles mengembangkan teori katharsis. Menurutnya, sebuah pentas drama tragedi yang menimbulkan rasa belas kasihan  dan ketakutan dapat membersihkan (katharsis) alam emosi kita. Penonton atau pembaca sebuah karya sastra yang menghayati penderitaan sang pahlawan lalu merasakan bahwa penderitaannya sendiri belum apa-apa, sehingga penderitaan itu akan dirasakan lebih ringan.  Demikian juga, analisis dari sudut psikoanalisa, seperti kata Simon Lesser, sastra itu berkaitan dengan masalah-masalah emosional kita sendiri sehingga saat kita membaca karya sastra itu sebenarnya kita berhadapan dengan massalah pribadi kita sendiri yang paling mendesak dan dengan problema yang biasanya kita pura-pura tidak memakluminya (Luxemburg, Bal, Weststeijn, 1982).
Sebagai pembaca, sekali lagi kita punya resepsi, yakni reaksi kita terhadap sebuah teks. Teks yang kita baca itu dikonkretkan menjadi teks baru  seperti dihayati dan dimengertinya. Upaya kita melakukan peng-konkret-an itu menghasilkan (1) komentar-komentar langsung baik yang memuji atau mencemooh; (2) resensi terhadap karya tersebut; (3) evaluasi terhadap karya tersebut; (4) mengubah ke dalam bentuk lain yang lebih produktif; (5) penelitian; (6) dan seterus seterus-seterusnya.
Penelitian tentang resepsi pembaca akan menjadi sebuah catatan terhadap perkembangan sebuah karya sastra. Misalkan, mungkin kita akan menemukan sebuah novel yang diawal penerbitannya dianggap tidak patut, tidak senonoh, tetapi ternyata setelah sekian tahun kemudian, justru novel itu mendapat reaksi positif seiring dengan perubahan sosiologis pada masyarakat tersebut. STA dulu menolak mentah-mentah puisi-puisi Chairil Anwar yang mula-mula dimunculkan, tetapi siapa sangka Chairil justru dielu-elukan sebagai seorang pembaharu. Begitu pula, novel Belenggu, Armijn Pane, yang awalnya ditolak Balai Pustaka, tetapi kemudian bisa menjad sebuah novel yang sangat menarik masyarakat.
Bagaimana dengan karya kita, bagaimana resepsi pembaca terhadap tulisan kita itu? Baik ataukah buruk? Â Hmm, tugas penulis adalah menulis..... Jangan berpikir untuk berhenti menulis ketika mendapat cemoohan. Betul 'kan?
Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H