Aih, silakan duduk, Saudara. Tampaknya, Saudara orang baru di sini? O ya, Saudara ngontrak? Ya, ya, emang di sini kebanyakan para “kontraktor”. Saya juga kontraktor, ha-ha-ha. Tapi, jangan khawatir jika orang yang mengontrak di sini pindah biasanya mereka pindah ke rumah baru. Begitulah, Saudara. Kampung sini membawa keberkaharan yang luar biasa.
Silakan, silakan, Saudara, saya sudah berhenti ngopi. Jadi, selain ngobrol-ngobrol dengan bapak-bapak lain, saya juga ingin menikmati pisang bakar rasa keju. Minumnya ya air putih hangat saja. Malaman sedikit bapak-bapak biasanya akan datang buat kongkow-kongkow di sini.
O ya, Saudara suka sastra? Ha-ha-ha, akhirnya saya punya teman ngobrol tentang sastra. Bapak-bapak sini nggak ada yang kuliah di sastra, mereka semua kuliah di jurusan teknik atau komputer atau sains begitu.Ayolah kita ngobrol-ngobrol sastra!
Saudara, tahu cerita “Saijah dan Adinda”? Betul, tepat, Saudara! Nah, saya yakin Saudara benar-benar anak sastra. Ya, Saijah dan Adinda sebuah cerita sisipan dalam novel Max Havelaar karya Multatuli. Parangkujang! Ya, settingnya di Parangkujang. Ya, berawal dari kerbau ayahnya Saijah yang disita kepala distrik.
Tapi, Saudara, ini cerita Saijah dan Adinda versi lain meskipun tragedinya sama pahit seperti pada versi Multatuli. Saya ingin berbagi cerita. Mungkin, Saudara, bisa memberikan penilaian secara sastra pada cerita ini.
Saudara, Saijah adalah pedagang kaki lima, alias PKL. Sudah beberapa kali pindah lapak. Selalu, selalu tergusur Satpol PP yang selalu lantang berteriak demi ketentraman dan ketertiban, padahal ketentraman dan ketertiban buat siapa? Bagaimana mau tentram dan tertib kalau rakyatnya kelaparan? Rakyatnya tidak punya usaha? Rakyat tidak punya penghasilan? Bukan begitu, Saudara? Ha-ha-ha kita seperti mengkritik penguasa ya. Okelah kita lanjutkan.
Istri Saijah adalah Adinda. Perempuan berwajah cantik dan manis. Sayang, takdirnya kurang beruntung semestinya dia jadi model atau bintang film, tapi ternyata dia menjadi istri seorang pedagang kaki lima. Ternyata, Adinda perempuan luar biasa setia dan sayang akan suaminya. Setiap hari dia turut membantu suaminya, selain menyiapkan barang dagangan, dia pun turut berjualan bersama suaminya.
Sebentar, Saudara, pisang bakar saya sudah matang. Sayang, kalau tidak buru-buru dinikmati.
Kita lanjutkan Saudara. Ya, ya silakan. Enak, bukan? Ya emang pisang bakar di sini mantap!
Beberapa tahun lalu, Satpol PP melakukan penertiban PKL di jalan sana. Lapak Saijah dan Adinda diporak-porandakan Satpol PP. Saijah mati-matian mempertahankan gerobaknya yang akan dinaikkan ke atas truk. Seorang Satpol PP memukulnya, membuatnya marah, lalu dengan beringas Saijah menyerang petugas itu.
“Satpol PP, anjing!” maki Saijah sambil menonjok seorang satpol PP.
Tonjokannya ditangkis satpol PP itu. Satpol PP itu balas menyerang Saijah. Sebuah tinju mengenai perut Saijah, Saijah pun mengerang. Sebuah pukulan lagi mengenai tubuh Saijah. Saijah merunduk. Tak lama beberapa Satpol PP mengeroyok Saijah. Pentungan berkelebatan memukuli Saijah. Adinda menjerit-jerit melihat kejadian itu. Tangannya dipegangi Satpol PP. Adinda meronta-ronta ingin menolong suaminya.
“Jangan pukuli suami saya…jangan pukuli!” begitu teriakan Adinda.
Tapi, pegangan tangan satpol PP itu sangat kuat. Saijah tersungkur di pinggir jalan sambil merintih-rintih. Lalu, satpol-satpol PP itu pergi. Adinda memburu Saijah. Dengan sempoyongan, Adinda membawa Saijah pulang ke rumahnya.
Untunglah tidak ada tulang Saijah yang patah meskipun tetap saja beberapa bagian di tubuh dan wajahnya memar. Mereka sebulan tidak berjualan. Selain sebab Saijah masih merasa sakit, juga mereka kehabisan modal, lagi pula gerobak dan lapak mereka sudah tidak ada.
Wah, tumben nih Bapak-bapak kok belum datang ya? Iya, jam segini mereka biasanya ke sini. Pak Mamat hampir tiap hari nongkrong di sini. Maklumlah, beliau RT, jadi kumpul-kumpul penting buat nyari informasi. Bagaimana, saya teruskan ceritanya? Baik-baiklah, Saudara.
Akhirnya, Saudara, mereka dapat modal. Pinjaman uang dari rentenir. Mereka membuat gerobak baru. Mereka berdua yang buat. Luar biasa, memang. Setelah gerobak jadi, lalu mereka pun mulai lagi berjualan. Kembali ke jalan itu, tapi sekarang mereka lebih hati-hati. Mereka trauma dengan kejadian tempo hari. Masalah mereka sekarang adalah dengan rentenir. Setiap sore rentenir sudah menunggu mereka pulang dagang. Rentenya yang tinggi menyebabkan pendapatan mereka menjadi pas-pasan bahkan kadang minus. Akhirnya, mereka kadang tidak membayar cicilan. Makin menumpuklah utang mereka.
Betul, Saudara, dengar-dengar 25% bunganya. Tinggi, ya, tinggi. Tapi, apa boleh buat…? Hanya rentenir saja yang mau membantu mereka, yang lain mana mau, sibuk dengan kebutuhan masing-masing.
Mereka kadang tidak pulang, entah kemana mereka pulang. Debt-collector-nya rentenir sering terlihat marah-marah di depan rumah mereka. Mereka kucing-kucingan dengan rentenir dan para debt collectornya. Tapi, pada suatu malam, rentenir dan debt-collectornya benar-benar menunggu mereka pulang. Yah, pada akhirnya mereka pun pulang. Lalu, keributan pun tak terhindarkan.
“Elo mau kabur kemana? Hah!!!” begitu suara rentenir teriak.
“Bangsat elo ya, elo permainkan gua ya!” kembali suara rentenir terdengar.
Tiba-tiba ada suara, “Buk! Buk! Buk!” Saijah digebuki para debt-collector itu.
“Jangan pukul…jangan pukul,” suara Adinda.
Malam itu, Saudara, semua barang-barang mereka diangkut rentenir. Adinda hanya bisa menangis sesegukan sambil membangunkan Saijah yang terkapar dan merintih.
Penderitaan mereka tidak berakhir sampai situ. Besoknya yang punya kontrakan menagih mereka. Rupanya mereka sudah dua bulan belum bayar kontrakan. Mereka diberi waktu seminggu untuk bayar kontrakan kalau tidak maka mereka harus meninggalkan rumah kontrakan itu.
“Elo harus bayar kontrakan gua, seminggu lagi gua balik,” begitu kata Haji Komet.
Ya, ya, betul, Saudara…bagaimana mereka mau bayar kontrakan. Barang-barang mereka saja sudah disita rentenir. Suatu malam, Saijah dan Adinda pun pergi meninggalkan kontrakannya. Mereka pulang kampung. Tidak lama di kampung, Adinda pergi ke Arab menjadi TKW, meninggalkan Saijah sendirian di kampung halamannya. Mulanya, Adinda bisa mengirimi Saijah. Lumayanlah, sebab itu rutin tiap bulan. Hingga Saijah punya modal buat dagang lagi. Saijah pun kembali ke kota. Kembali, berjualan sebagai PKL. Seiring Saijah lancar berjualan, kiriman Adinda semakin jarang datang. Bahkan, kabar Adinda pun sangat sulit. Surat Saijah tidak pernah dibalas. Entah kemana Adinda? Rasa khawatir setiap hari selalu dirasakan Saijah. Maklum, Adinda istri yang sangat dicintainya.
Suatu malam Saijah bermimpi. “Kang, tolong saya! Saya tidak tahan…majikan saya memperkosa saya, Kang!” begitu suara Adinda dalam mimpinya. Lalu, dia melihat Adinda membunuh laki-laki Arab. Majikannya? Saijah terbangun, lalu beristigfar. Terbayang wajah cantik istrinya. Ya, ya, Adinda memang sangat cantik. Dulu di kampung Adinda adalah kembang desa. Rebutan laki-laki satu kecamatan. Saijah adalah laki-laki beruntung sebab Adinda jatuh hati padanya.
Nah, itu Pak Mamat. Ha-ha-ha, akhirnya Pak Mamat datang juga. Kopi jahe sudah tidak sabar tuh, Pak. O ya, ini tetangga baru kita, Pak. Lho, Pak Mamat mau kemana lagi? Ya,ya, begitulah kalau pemimpin yang baik harus perhatian sama warganya. Salam, Pak, buat Pak Edi ya!
Kita lanjutkan lagi, Saudara? Oke. Adinda setahun lebih tak ada kabarnya. Saijah sudah berusaha mencari kabar Adinda kemana-mana tapi tak ada hasil yang memuaskan hatinya. Lebaran kemarin, ketika Saijah pulang kampung, sebuah surat Adinda datang. Adinda minta dijemput di bandara. Surat itu tentu kegembiraan yang luar biasa bagi Saijah. Istri yang ditunggu-tunggunya akhirnya pulang. Pada hari kedatangan Adinda, Saijah pun menjemput Adinda, rombongan dengan keluarganya, naik mobil angkot yang dicharter.
Di Bandara Soekarno-Hatta mereka pun bertemu. Hanya saja, Adinda tidak sendiri dia datang sambil menggendong seorang bayi mungil.
“Kang, ini anakku..Maafkan…,”cuma itu yang dikatakan Adinda.
Saijah dan rombongan terpaku. Sulit berkata apa-apa.
Okelah, Saudara, malam kian larut. Saya harus kembali ke rumah. Besok saya harus dagang. O, ya, kita belum berkenalan. Perkenalkan nama saya, “Saijah.” Ya, betul, Saijah adalah nama saya. Yuk, selamat malam, Saudara.
[ragunan,1882011]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H