Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Potret "Kita" pada Puisi FPK (Catatan ke-2)

1 November 2011   14:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:11 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua posisi ketika ketika membicarakan hubungan puisi dengan masyarakat. Pertama, kita membicarakan faktor-faktor di luar teks puisi sendiri itu, seperti bagaimana persepsi sidang pembaca terhadap isi puisi, bagaimana posisi dunia penerbitan dalam menerbitkan puisi, atau kedudukan penulis puisi tersebut di dalam masyarakat. Kedua, kita bisa membicarakan aspek-aspek teks puisi dengan susunan masyarakat; atau dengan bahasa lain, kita membicarakan sejauh mana sebuah (kondisi sosial) masyarakat tercermin di dalam sebuah puisi? Beberapa puisi di bawah ini, puisi-puisi yang dibuat untuk acara Festival Puisi Kolaborasi, saya bicarakan dalam kaitan dengan kemasyarakatan.

Puisi berjudul “Nyanyian Para Koruptor” ditulis oleh Langit dan Bung Opik bercerita tentang “sikap koruptor” terhadap tindakan korup dan mempermainkan hukum yang dilakukannya. Hanya satu kata yang tepat bagi saya untuk menilai penulis puisi itu: cerdik! Penggunaan kata kami (pronomina persona pertama), seolah-olah isi puisi tersebut adalah kata-kata para koruptor sendiri, bukan kata-kata si penulis. Dengan cara seperti ini, akan timbul efek impresif mendalam pada pembaca, “oh, begitu tokh pengakuan para koruptor”.

Puisi “Pesona Nusantara” yang ditulis Ratih Anggraeni dan Roni Sundanicus mengajak kita berkeliling Nusantara, meskipun pada puisi ini yang disebut hanya beberapa tempat saja. Puisi ini menggambarkan keindahan Nusantara. Tapi, diakhiri dengan sebuah “sentilan”—itu yang terasa oleh saya—tentang kekayaan Papua yang ternyata / Bergelimang harta karun Sang durjana/. Durjana mereferensikan kejahatan. Lantas, siapakah sang durjana tersebut? Pun nada yang berbeda ketika melukiskan Papua dibandingkan dengan lukisan bagian Nusantara yang lain.

Puisi “Berikan Susumu untuknya” ditulis oleh Eni Ramdiyani dan Jerrynf. Puisi ini berkisah tentang kisah ibu yang bertemu dengan seorang anak kecil yang mengemis. Pertemuan itu mengingatkannya kepada putrinya tercinta. Puisi ini mengkritik kita, yang hanya mau memberikan uang recehan kepada anak-anak  yang mengemis itu. Seharusnya, mereka—kata penulis— kita anggap sebagai adik kita dan anak kita. Jadi, seharusnya / Jangan berikan mereka gemerincing receh itu/ Berikan saja kotak susumu/. Tidakkah terbayang bahwa mereka pada usia segitu seharusnya bermain, tetapi sebab kemiskinan memaksa mereka untuk mencari recehan dengan mengemis. Mereka dieksploitasi oleh orang tua mereka. Sungguh sebuah kemalangan.

Puisi “Surat untuk Para Pemimpin Negeriku” ditulis Ajinatha dan Venus. Puisi yang mempertanyakan apakah para pemimpin negeri masih mempunyai hati nurani ataukah tidak? Punya kebesaran jiwa atau tidak? Lantas, disuruhnya para pemimpin itu untuk melihat kenyataan / lebih dari separuh rakyatmu hidup melarat// juga diingatkan bahwa  //Negara ini dimerdekakan/dengan cucuran darah dan keringat//. Yang paling penting adalah tindakan para pemimpin tidaklah terlepas dari Tuhan Pemilik Kemahaan. Inilah adalah surat berbentuk puisi atau puisi berbentuk surat. Kalau surat ditujukan kepada para pemimpin negeri, secara implisit saja, apalagi ketika negeri ini tidak makmur sentosa, malahan penuh  dengan sikap ketidakbijakan para pemimpin, isi surat pastilah keluhan terhadap mereka.

Puisi “Orang-orang Terbuang di Depan Gedung Wakil Rakyat” ditulis oleh Erwanti Abdullah dan Heri Purnomo” menceritakan “wong cilik” yang berada di depan gedung DPR. Kehidupan mereka sungguh konras dengan kehidupan wakil rakyat, yang mewakilinya. Pastinya, mereka adalah korban janji yang diobrol saat pemilihan umum dulu. Pada hakikatnya puisi ini sangat menarik dari sisi isi sebab mengontraskan dua strata sosial berbeda, yang pada dasarnya strata atas sendiri memerlukan strata bawah. Harus diakui bahwa strata sosial bawah adalah kelompok penduduk yang jumlah sangat banyak. Ketika setiap orang dihargai dengan angka 1 artinya memenangkan pemilu butuh dukungan optimal dari strata bawah. Sayangnya kelompok itu adalah kelompok yang hanya menikmati janji saja sebab setelah itu mereka dilupakan.

Puisi “Pemuda dan Komodo” ditulis Roni Sundanicus dan Auda Zaschkya. Sebuah puisi yang menghimbau kepada pemuda agar mendukung memenangkan Komodo dalam kontes 7 Keajaiban Dunia baru, setelah dulu Borubudur kalah. Ada pertanyaan yang menarik, mengapa penulis puisi ini ingin melibatkan pemuda dalam mendukung komodo? Apakah sebab pemuda adalah lapisan masyarakat yang dianggap melek teknologi? Ataukah, sebab pemuda dianggap memiliki kesadaran nasionalisme lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya? Alasan-alasan ini yang mestinya bisa kita tangkap di luar teks puisi tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun