Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Musim Parfume di Nusapura

29 Maret 2014   23:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mau ke mana, Tuan?” tanya ramah seorang bapak separuh baya sambil tersenyum kepadaku beberapa saat setelah aku duduk di kursi yang nomorya sama dengan nomor pada tiket yang aku pegang. Aku tak langsung menjawab sebab masih mencoba membetulkan letak ranselku yang aku taruh di bawah tempat duduk.  Aku tak berani meletakkan ranselku pada bagasi yang terletak di atas kepala penumpang sebab aku khawatir  akan kelupaan.

“Ke Nusapura, Pak,” jawabku.  Sebentar aku bersandar meluruskan punggungku yang terasa pegal. Aku membuka jendela kereta, tampak keramaian di stasiun.  Hilir-mudik penumpang  terlihat di sana. Dulu, banyak tukang asongan yang berkeliaran, tapi sekarang sudah tidak ada. Dan, sStasiun tampak rapi dan teratur. Terlihat para porter berebutan mencari penumpang yang meminta bantuan tenaganya membawa barang bawaannya.  Pakaian mereka seragam warna oranye, pada  dada kirinya tertulis namanya, sedangkan pada dada kanannya tertulis kata “porter”.

“Nusapura?” tanya bapak itu.

“Iya, Pak, Nusapura. Ada apa, ya?”  giliranku bertanya.

“Oh, tidak ada apa-apa. Saat ini di Nusapura sedang musim parfume,” kata bapak itu.

“Musim parfume, Pak?”

“Iya, musim parfume. Kalau di wilayah lain, hanya ada dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Maka, lain halnya di Nusapura, ada satu musim lagi, yaitu musim parfume, sebab di sana sekarang ini banyak sekali penjual parfume.  Apakah Tuan bermaksud mau membeli parfume di sana?”

Tiba-tiba, peluit kereta terdengar. Lalu, terasa kereta itu mulai berjalan, awalnya perlahan, tapi makin lama makin cepat.  Aku melihat ke arah stasiun dari balik jendela. Stasiun itu  kian jauh, mengecil, dan hilang dari pandangan.

“Apakah Tuan hendak membeli parfume?” Bapak itu bertanya kembali.

“Oh ya, maaf, Pak,” aku terkejut, merasa bersalah mengabaikan bapak itu. Aku tersenyum berusaha menyenangkan bapak itu. Bapak itu pun tersenyum.

“Betul, Pak. Saya bermaksud membeli  parfume. Konon, parfume di Nusapura berkualitas nomor satu. Wanginya tahan satu bulan di tubuh dan pakaian. Bukan begitu, Pak?”

“Betul, Tuan. Tapi, itu dulu. Dulu semua parfume yang  dijual di Nusapura  berkualitas nomor satu. Tapi, sekarang, apalagi saat musim parfume, tidak ada jaminan parfume kualitas satu yang Tuan dapatkan di sana. Parfume palsu banyak dijual di sana sekarang. Wanginya mungkin Cuma satu sampai tiga jam, paling lama seharian, setelah itu baju tuan akan ternoda kuning  sebab terkena cairan parfume, bahkan bisa jadi kulit Tuan akan gatal-gatal untuk beberapa hari.  Selama musim parfume, banyak penjual parfume dadakan. Tuan, harus pandai-pandai memilih, carilah penjual parfume Nusapura yang asli,” terang Bapak itu.

“Apa ciri-cirinya penjual parfume yang asli?”  tanyaku penasaran.

Bapak itu tak langsung menjawab. Ia mengambil botol yang berisi air. Diteguknya air di dalam botol itu. Tampaknya, ia sangat haus. Jakun di lehernya bergerak-gerak saat air minum melewati kerongkongannya. Setelah selesai minum, sisa air di sekitar mulutnya disekanya dengan ujung tangan kemejanya yang kepanjangan.

“Penjual parfume yang asli menganggap pembeli sebagai raja, Tuan,” kata Bapak itu, diikuti senyumnya.

“Hmm, bukankah semua penjual berkata seperti itu, Pak.Pembeli adalah raja,” sanggahku.

“Betul. Tapi, Tuan bisa merasakan mana yang benar-benar menganggap pembeli sebagai raja, mana yang sekadar slogan saja saat mereka berjualan.”

Aku terdiam memikirkan apa yang dikatakan bapak itu. Diam-diam aku membenarkan ucapannya.

Kami tak berbicara lagi. Mataku terasa berat. Dan, rupanya bapak itu pun kehabisan cerita sebab kemudian dia asyik memandangi jendela kereta api.Entah apa yang menarik baginya, bukankah itu sekadar pohon atau tiang listrik yang seperti berlari-lari. Entahlah. Tapi, beberapa saat kemudian, aku tertidur.

“Tuan…Tuan…Nusapura sudah dekat.” Terdengar sebuah suara membangunkanku.

Aku membukakan mataku. Tampak di depanku Bapak itu tersenyum. Rupanya bapak itu yang membangunkanku.

“Sekitar 10 menit Nusapura akan sampai,” kata bapak itu. “Lihat keluar, Tuan. Umbul-umbul, bendera, dan spanduk sudah terlihat di sepanjang rel.”

“Spanduk, bendera, dan umbul-umbul apa?” tanyaku. Aku perhatikan spanduk, umbul-umbul, dan bendera berbagai ragam. Bahkan, beberapa di antaranya disertai foto wajah.

“Oh itu,…milik penjual parfume. Mereka mempromosikan parfumenya kemana-mana. Tuan, jika melihat ke mana pun, Tuan selalu menemukan spanduk, bendera, dan umbul-umbul, bukan? Ya, inilah musim parfume di Nusapura.”

Kereta terasa melambat.

Aku bersiap-siap untuk turun.

“Bapak, turun di mana,” tanyaku.

“Saya masih jauh, Tuan,sekitar dua jam lagi,” jawab bapak itu.

“Baik, terima kasih atas obrolannya ya, Pak,” kataku. Aku salami bapak itu. Lalu, aku bergegas menuju pintu kereta.

Kereta api berhenti. Lantas, pintu terbuka. Bau parfume langsung tercium.

Aku lihat sebuah stasiun kecil, tapi ramai luar biasa. Banyak pula penumpang yang turun di stasiun ini. Aku turun dari kereta. Berjalan menuju pintu keluar. Tapi, di mana-mana aku selalu melihat banyak spanduk terpasang. Bendera berkibar-kibar warna-warni. Semuanya menawarkan berbagai parfume. Tak lama kemudian beberapa orang mendekati para penumpang yang baru saja turun.  Mereka berebut mengajak penumpang mendatangi toko-toko parfume yang ada di staisun itu. Tapi, ada juga yang mengajak penumpang untuk mendatangi toko parfumenya di luar sana. Bahkan, mereka akan memberikan diskon besar serta penginapan segala jika mau membeli parfume mereka.

Beberapa kali aku menolak tawaran mereka. Ketika aku perhatikan dengan saksama, rupanya mereka hanyalah calo-calo yang disuruh penjual parfume.  Mereka membawa brosur-brosur dan menuntun orang yang terbujuk mereka ke toko yang membayar mereka. Penjual parfume-nya sendiri menunggu hasil kerja calon-calo itu.Ketika pelanggan datang, penjual itu tersenyum, tapi tampak olehku senyumannya itu semu. Sebab ketika pelanggan itu tidak jadi membeli parfume mereka, mereka tampak marah, bahkan mengepalkan tinju mereka ke arah kepala pelanggan itu saat pelanggan tersebut membelakngi mereka.

Beberapa toko menyetel musik keras-keras. Bahkan, ada yang sengaja yang mengadakan live music. Artisnya cantik-cantik. Tak heran jika banyak yang datang berkunjung ke toko mereka. Tapi, sayangnya yang datang lebih sering sekadar menonton musiknya daripada membeli parfumenya.

Wangi parfume di mana-mana. Banyak juga yang mabuk oleh wangi-wangian itu.

Di sebuah gang kecil yang agak sepi, ada sebuah toko parfume. Sepi. Ketika aku mampir, seorang laki-laki muda langsung menemuiku. Ia mempersilakan aku duduk. Lalu, ditawarinya aku minum.

“Tuan, hendak minum apa? Kami punya the dan kopi,” kata laki-laki itu. Senyum lebar. Tulus sekali. Wajahnya khas penduduk desa. Tapi, sorot matanya selain ramah, tentu saja jujur.

“Ah, saya hanya mau lihat-lihat saja,” Kataku. Rasanya, tak enak jika tak jadi membeli, tapi sudah minum the atau kopinya.

“Tak apa, Tuan. Kalau Tuan tidak jadi membeli parfume kami, kami tak mengapa. Yang penting kami senang melayani Tuan yang datang ke toko kami.” Wajahnya cerah, tidak dibuat-buat.

“Baiklah,” kataku, “bolehkah saya minta kopi?”

“Kopi, ya, Tuan? Baiklah, sebentar saya buatkan dulu,” ujarnya. Lalu, ia bergegas ke belakang, ditinggal aku sendiri di toko itu. Aku lihat beberapa botol parfume saja yang dijualnya. Jumlahnya tidak sebanyak yang ada di toko-toko lain.

Tak lama dia datang membawa dua gelas kopi. “Satu untuk Tuan, dan satu lagi untuk saya. Kalau Tuan tidak buru-buru, saya akan ceritakan tentang parfume Nusapura yang terkenal itu.”

Aku tersenyum.  Aku jadi ingat perkataan bapak yang di kereta itu bahwa penjual parfume asli di Nusapura adalah mereka yang melayani pembelinya sebagai raja.

“Oh, terima kasih. Saya sedang terburu-buru. Tapi, saya senang sebab saya sudah menemukan penjual parfume Nusapura yang asli,” begitu kata saya. Pada laki-laki itu, saya membeli sebotol parfume. Hanya sebotol, tapi bukankah setetes saja wanginya bisa sebulan?

Laki-laki itu tersenyum, sangat tulus, setulus pelayanan padaku hari itu.

Dua bulan kemudian, aku kembali ke Nusapura. Para penjual parfume dadakan sudah tidak ada. Nusapura tidak wangi dan harum lagi.  Tak lupa aku sempatkan mampir kembali ke toko tempat aku membeli parfume.

Dari jauh laki-laki itu melihatku, lalu dengan tergopoh-gopoh menyambutku.

“Selamat datang kembali, Tuan. Bagaimana parfumeku masihkah tetap harum dan wangi?” katanya. Senyumnya lebar dan tulus. Tulus sekali.

Aku tak menjawabnya, hanya aku acungkan jempolku padanya sambil berkata, “Mantap!”

--------------Mampang prapatan, 29 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun