Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengungkap Puisi Cinta Jerrynf

9 November 2011   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama saya menyambangi “rumah” Jerry NF, lantas tergoda menikmati beberapa puisinya dan mencoba memberikan apresiasi terhadap puisi-puisi tersebut, yaitu puisi “Sepertinya Aku Lagi Jatuh Cinta Deh”, puisi “Cintaku di Ujung Gelombang”, dan puisi “Gelapku dalam Peradabanmu”.

Kata ahli sastra, yang terpenting dalam puisi adalah pendapat, suasana batin, kesan-kesan, dan perasaan, bukan peristiwa-peristiwa. Itulah yang diungkapkan oleh puisi lewat juru bicaranya. Juru bicara puisi adalah instansi yang menyampaikan hal-hal tersebut kepada pembacanya atau bisa kepada orang lain. Instansi tersebut sering menjelma menjadi “aku” atau “-ku” dalam puisi. “Aku” atau “-ku” sering dianggap penulisnya sendiri, tetapi bisa juga orang lain. Misalnya, dalam prosa liriknya Linus Suryadi AG “Pengakuan Pariyem”, si aku dalam teks tersebut, bukan penulisnya (Linus Suryadi AG), melainkan “Pariyem”. Gejalanya seperti ini disebut stilisasi diri. Gejala stilisasi diri tidak ada dalam puisi-puisi Jerrynf ini. Aku atau –ku bukan orang lain, tetapi ya si penulis sendiri.

Judul “Sepertinya Aku Lagi Jatuh Cinta Deh”, menurut saya, agak kurang puitis. Sebab, di sana dipakai kata  deh. Kata deh itu dari sisi pengungkapan pun terkesan lemah, tidak kuat, kurang serius. Entah atas pertimbangan apa, kata deh dipakai, padahal cukuplah dengan judul “Seperti Aku Lagi Jatuh Cinta”. Ataukah, “aku” sendiri kurang yakin atas perasaannya, “apa benar ‘aku’ lagi jatuh cinta?”. Ada pun puisi kedua “Cintaku di Ujung Gelombang”, judul itu mirip judul puisinya Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”. Yang mungkin butuh perenungan adalah judul “Gelapku dalam Perabadanmu”.

Puisi “Sepertinya…” memiliki larik-larik yang panjang, menyerupai kalimat-kalimat biasa. Padahal eksistensi sebuah puisi terletak pada kata itu sendiri, sehingga kata tidak perlu disusun menjadi sebuah kalimat sempurna. Biarkanlah kata menunjukkan kekuatannya sendiri. Dalam larik-larik puisi, kata punya efek pemaknaan. Berbeda dengan paragraf, koherensi dan kohesi kalimat-kalimat mesti ditunjukkan secara jelas, sedangkan dalam puisi, itu tidak perlu sebab pada dasarnya ketidaksempurnaan larik justru kian memadukan isi puisi tersebut. Larik-lariknya, menurut saya, mendayu-dayu ala romantisme, ini tidak salah apalagi memang sedang berbicara tentang perasaan yang sedang jatuh cinta. Ada ungkapan yang bagus, misalnya, // melampaui nalar yang sedang lengah//.

Puisi “Cintaku…” teridiri atas lima bait dan semua bait diawali dua larik yang sama isinya, yaitu //Mengganggu…………….//Itu yang kusadari//. Tampaknya, dua baris itu adalah pikiran pokok pengarang. Yang hendak mengatakan bahwa ada yang mengganggu. Pertanyaannya lantas, “ Apa yang mengganggu?” Jawabannya adalah waktu , yang diwujudkan dengan keterangan waktu pada larik ketiga (pada semua bait) dengan kata awal /saat…/. Lantas, larik 5-6 merupakan perubahan suasana. Sama seperti puisi “Sepertinya…”, kata-kata yang dipakai terasa mendayu-dayu.

Puisi “Gelapku dalam Peradabanmu” tidak berbcara tentang cinta birahi—istilah lama yang dipakai jika membicarakan cinta sepasang kekasih. Tetapi, cinta terhadap sesama.  Ada lima bait yang  menggunakan paralelisme, yang secara isinya bertentangan, ada kontradiksi. Ini sebenarnya cara pandang yang dipakai  aku lirik  yang dikontraskan dengan cara pandang kelompok lain, yaitu –mu. Bagi –mu, malam itu positif, tetapi bagi –ku malam itu negatif. Namun, -ku menyadari  bahwa selama ini –ku memandang sesuatu secara keliru, hingga ia perlu berdoa agar menjadi benar.

Dari tiga puisi yang saya baca, saya merasa Jerrynf, masih memakai kata-kata yang “seadanya”, kata-kata itu belum dipermak, belum diberi nilai lebih, agar terasa lebih bertenaga dalam mengungkapkan maksud. Mencoba untuk menciptakan idiom-idiom baru yang selaras dengan isi puisi akan memperkaya makna sekaligus memberikan alternatif pengungkapan lain.  Maksud saya begini. Ambillah contoh larik terkenalnya Chairil Anwar //Aku ini binatang jalang//. Coba bayangkan, kata jalang yang dilekatkan pada kata binatang. Biasanya orang mengenalnya /binatang liar/, /binatang buas/, tetapi Chairil lebih suka mencipta idiom baru, yakni /binatang jalang/. Permainan dan penciptaan idiom baru memang perlu berlatih, tetapi itu bukanlah hal susah jika kita memang menyukai puisi. Bukankah begitu?

Wallahu’alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun