(1)
Aku berlari-lari gembira pulang ke rumah. Tanganku mengepal sebuah permen lolipop yang masih terbungkus. Pita merah kecil pengikat bungkus plastiknya lucu sekali. Sebab itu pula, aku tak mau membuka bungkus plastik itu. Sebenarnya, aku sangat ingin menjilati lolipop kesukaanku itu. Tapi, rasanya sayang saja jika harus melepas pita merahnya dan membuka pembungkusnya. Pikirku, aku ingin memberikan lolipop itu kepada ciciku[1]. Dia pasti suka kemasannya yang cantik itu.
“Apa yang kau bawa, Liem?” tanya mamaku saat aku masuk rumah dan melihatku membawa sesuatu.
“Lolipop, Ma,” jawabku, aku berhenti dulu, tak berlari lagi. “Ma, lolipopnya cantik deh.”
“Dari siapa itu, Liem?” Mamaku malah bertanya lagi.
“Dari Nyonya Ling, Ma.”
“Bukan Nyonya, Liem…, tapi, nona. Nona Ling,” kata Mamaku membetulkan ucapanku. Mungkin, ini pembetulan yang kesekian ratus kalinya.
“Kenapa harus nona, Ma, Nyonya Ling ‘kan sudah tua? Kata Nyonya Ling sendiri, umurnya sekarang 75 tahun.”
“Tapi, dia belum punya suami, Liem.”
“Kenapa dia belum bersuami, Ma?”
“Dia masih menunggu seseorang datang, Liem.”
“Kapan orang itu datang, Ma?”
“Ah, kamu, sekarang banyak tanya. Sana tidur siang dulu!” suruh mamaku sekaligus menghentikan pertanyaanku. Aku segera berlari ke kamarku.Di atas mejaku buku pe-erku berserakan. Sepulang sekolah tadi, aku hanya sempat menjawab beberapa buah pe-er. Aku keburu ingin bermain di rumah Nyonya Ling, nenek baik hati di sebelah rumahku. Aku membaringkan tubuhku segera saja aku lupa percakapan tadi dengan mamaku. Sebab terlalu lelah bermain, segera saja aku tertidur.
(2)
Banyak anak kecil yang senang bermain di rumah Nona Ling. Nona Ling ramah dan sangat baik hati. Ia sengaja menyisihkan uang hasil upah menjahitnya untuk membeli mainan atau makanan kesukaan anak-anak. Setua itu Nona Ling masih mempunyai mata yang bagus dan tenaga yang cukup lumayan dibandingkan dengan perempuan seumurannya. Ia tidak pernah meminta bantuan pada siapapun saat mengalami kesulitan. Banyak tetangga yang meminta tolong kepada untuk menjahitkan celemek, sapu tangan, celana pendek, lap, atau barang jahitan kecil lainnya. Meskipun jahitannya bagus dan rapih, Nona Ling tidak pernah menentukan tarif. Berapa pun yang dibayarkan kepadanya, diterimanya dengan senang hati. Ia sangat bersyukur masih ada orang yang percaya pada pekerjaannya.
Dibandingkan dengan anak kecil yang lain, Nona Ling tampak lebih dekat dan sayang padaku. Awalnya aku tak mengerti. Tapi, pada satu sore ketika aku masuk ke kamarnya, aku melihat sebuah lukisan tergantung di dinding kamarnya. Lukisan seorang laki-laki muda. Jujur saja, aku tidak memperhatikan lukisan itu. Aku masuk kamar Nona Ling begitu saja sebab aku mencari-coba sebuah mainan yang sering aku mainkan di rumah itu.
Tiba-tiba, Nona Ling masuk. Sambil tersenyum, dia mendekatiku yang sedang berjongkok melihat ke bawah lemari.
“Liem, apa yang kau cari?” tanyanya.
“Aku mencari robot yang kemarin, Nona Ling,”jawabku. Sekarang aku melihat ke arahnya.
“Oh, robot itu ada di luar sana. Aku menyimpannya di dalam lemari pajangan agar kau bisa memainkannya lagi saat bermain ke sini,” jelas Nona Ling.
Aku tersenyum mendengar penjelasan Nona Ling.
“Nah, Liem coba lihat ke dinding sana,” kata Nona Ling. Aku mengikuti arah jarinya menunjuk sesuatu. Rupanya, Nona Ling menunjuk pada lukisan tadi.
“Itu siapa,Nona Ling?” tanyaku.
“Siem Beng, namanya. Aku menunggunya datang, Liem. Eh, coba perhatikan alis matanya mirip dengan alis matamu: tebal dan seperti menyambung. Telinganya juga lebar seperti telingamu. Dan Liem, dia punya lesung pipi sama sepertimu,” terang Nona Liem.
Aku hanya terdiam. Aku kurang memperhatikan ucapan Nona Liem, padahal saat itu, kalau saja aku perhatikan, beberapa air mata bergulir di pipinya.
“Nona Ling, aku ingin robotnya,” pintaku.
“Oh iya. Mari kita ambil,” katanya, sesaat ia menyeka mata. Ia seperti terkejut. Ia menuntunku keluar kamarnya. Lalu, mengambilkan sebuah robot-robotan yang diletakkannya dengan rapi di dalam lemari pajangannya.
“Robot istimewa buatmu, Liem,” kata Nona Ling. Diserahkannya robot-robotan itu kepadaku. Aku menerimanya dengan gembira. Terasatangan Nona Ling mengelus bagian belakang kepalaku.
Ia tersenyum, lalu aku pun tersenyum.
(3)
Satu sore, saat kakek datang ke rumahku, kakek mengajakku menemui teman-temannya yang masih tersisa. Biasanya kakek pergi sendiri, tapi kali ini dia mengajakku. Katanya, biar aku kenal sama teman-temannya yang pernah berperang melawan Belanda. Kami datang ke sebuah rumah, di sana sudah ada empat orang kakek-kakek yang rupanya sedang menunggu kakekku. Dengan gembira, mereka menyambut kakekku. Mereka berjabat tangan dengan erat, dengan guncang-guncangankannya tangan yang sedang berjabatan itu, lalu mereka saling berpelukan.
“Hei, siapa yang kau ajak ini?” tanya seorang teman kakek sambil merendahkan tubuhnya dan mencubit kecil pipiku.
“Ha-ha-ha, dia cucu terkecilku. Liem, ayo bersalaman dengan kakek-kakek itu. Mereka pejuang gagah berani,” jawab kakekku. Lalu, kakek duduk di lantai yang beralaskan tikar pandan. Jarang-jarang aku temukan tikar seperti itu. Teman-teman kakek pun lalu duduk, mengelilingi sebuah kendi dan beberapa gelas. “Sebentar lagi singkong rebus datang,” terdengar suara salah seorang kakek, rupanya dialah tuan rumahnya.
“Siapa namamu, Nak?” tanya seorang kakek yang tangannya baru saja aku cium.
“Liem, Kek,” jawabku.Tapi, aku tak melihat wajahnya, aku menjawabnya sambil menunduk sebab aku masih malu. Setelah semuanya aku salami, aku pun duduk di pangkuan kakekku.Aku memainkan lubang di tikar itu. Tampaknya, lubang bekas rokok sebab pinggirnya berwarna hitam seperti bekas terbakar.
“Hei, wajah cucumu ini mirip dengan Siem Beng!” teriak kakek yang duduknya persis berhadapan denganku.
Keasyikanku bermain-main dengan lubang tikar itu terhenti sejenak saat aku dengar teriakan kakek itu, tapi itu lama, setelah melihat ke arah kakek itu, aku jadi menunduk sebab dia menatapku.Lalu, aku kembali mengorek-ngorek lubang tikar itu.
“Iya, Liem mirip dengan Siem Beng,” jawab kakekku, “sayang adikku itu tidak diketahui di mana rimbanya sejak dia ikut truk yang mengangkut para romusha.”
“Saat itu, aku satu truk dengan Siem Beng,” kata kakek yang tadi menyebutku mirip dengan Siem Beng, “kami turun di markas tentara Jepang dan dibariskan.Seorang komandan Jepang memeriksa kami satu per satu. Lalu, seorang tentara Jepang mengiring kami masuk ke barak, tapi aku lihat Siem Beng justru dibawa oleh komandan Jepang itu masuk ke kantornya. Dan, besoknya di tempat kami romusha, aku tak bertemu dengan Siem Beng.”
Singkong rebus datang diantar seorang perempuan separuh tua. Diletakkannya di tengah-tengah kami. Tak ada kata-kata yang keluar dari perempuan itu. Dia hanya tersenyum dan mengangguk sebagai tanda mempersilakan untuk menikmati hidangannya. Aku menepuk-nepuk tangan kakekku sebagai isyarat aku mau singkong itu.
Kakek mengambilkan sepotong singkong. “Hati-hati, Liem, singkongnya masih agak panas.”
Aku menerima singkong itu, tapi segera aku lepas sebab terasa panas di telapak tanganku. Singkong terjatuh di tikar, kakek segera mengambil singkong itu, lalu mengambil sebuah piring kecil dan meletakkan singkong itu pada piring tersebut.
“Tunggu sebentar lagi, Liem,” kata kakek.
“Benar kau tak melihat Siem Beng lagi di markas tentara Jepang itu?”
“Betul, selama aku jadi romusha hingga aku berhasil kabur dari tempat tersebut, aku tak pernah bertemu lagi dengan Siem Beng. Bahkan, aku sempat bertanya-tanya pada beberapa tentara yang dekat denganku. Ya, tentara-tentara yang suka aku pijat di malam hari, meskipun aku sendiri kelelahan. Kata mereka, Siem Beng dibawa ke rumah komandan mereka.”
“Tapi, kata Juminten, perempuan kampung sebelah yang dulu sering dijemput paksa dan dibawa ke rumah komandan Jepang untuk pesta-pesta, bahwa di rumah komandan Jepang itu, selain si komandan, hanya ada seorang perempuan Jepang. Tak ada laki-laki di dalam rumah itu. Di luar rumahnya, ada tentara-tentara Jepang yang menjaga rumah itu yang siap menembak,” jelas kakek yang janggutnya panjang dan memutih semua. Tangannya mengambil sepotong singkong, lalu dimakannya dengan pelan-pelan seolah-olah makanan yang sangat berharga. “Nak, zaman Jepang dulu, kami makan singkong setiap hari, tak ada nasi,” lanjutnya.
“Untunglah masih ada singkong,” kata kakekku, “yang tadi itu, apa benar perempuan Jepang?”
“Iya. Sebab katanya, perempuan itu pakai kimono, baju Jepang itu. Dan, yang berkata begitu bukan cuma Juminten, tapi juga Sukarti, terus yang lain juga.”
Ketika kakek-kakek itu asyik membicarakan soal Siem Beng, aku sendiri asyik menikmati potong singkong kedua, apalagi ketika perempuan yang tadi membawakan singkong datang lagi membawa gula merah yang sudah di potong-potong di atas sebuah piring kecil. Rasanya, enak sekali makan singkong yang dicocolkan pada gula merah.
“Kalau ingat Siem Beng, aku merasa kasihan pada Ling,” kata Kakek, suaranya agak bergetar seperti menahan sebuah perasaan yang berat. “Ling sangat mencintai Siem Beng. Sampai sekarang, Ling tidak menikah. Dia menunggu Siem Beng kembali. Kata Ling, dia sudah berjanji bahwa dirinya hanya untuk Siem Beng sekalipun harus di akhirat nanti.”
“Ya, cinta mereka terlalu kuat. Dalam perjalanan romusha itu, di atas truk tentara yang membawa kami, Siem Beng berkata kepadaku bahwa dia akan kabur dari markas tentara Jepang untuk menikahi Ling. Ling, bagi Siem Beng, segala-galanya. Siem Beng khawatir atas keselamatan Ling. Tentara-tentara Jepang itu suka berpesta-pesta dan mencari perempuan-perempuan untuk dijadikan pemuas nafsunya. Siem Beng khawatir Ling akan dipaksa jadi pemuas nafsu tentara-tentara Jepang itu,” kata kakek janggut. Ia berbicara sambil melihat ke langit-langit seolah-olah membayangkan apa yang terjadi dulu.
“Bukankah Ling pernah masuk ke rumah komandan Jepang itu?” kata kakek janggut.
“Kata siapa?” tanya kakekku, setengah kaget.
“Karti. Karti-lah yang memasukkan Ling ke sana. Tapi, itu pun atas kemauan Ling sendiri sebab Ling ingin mencari Siem Beng yang katanya ada di rumah komandan Jepang. Karti sudah mengingatkan Ling bahwa di sana perempuan dijadikan pemuas seksbagi tentara-tentara Jepang. Ling tetap memaksa. Akhirnya, dengan terpaksa, Karti mengajak Ling.”
“Terus, apa yang terjadi?”
“Apakah Ling tidak pernah bercerita padamu?”
“Tidak pernah.”
“Kata Karti, mereka terpisah di dalam rumah sana. Saat melihat Ling, komandan Jepang itu langsung memasukkan Ling ke dalam kamar yang paling bagus. Katanya, atasannya komandan akan menginap di malam itu. Rasanya, Ling dijadikan akan ‘hadiah’ buat atasannya sebab Ling paling cantik di antara perempuan-perempuan yang malam itu dipaksa datang ke sana. Itu cerita Karti kepadaku.”
“Jadi…?” kalimat kakek tidak selesai.
“Tanyakan pada Ling kelanjutannya. Tapi, menurutku, itu tidak perlu ditanyakan lagi sebab sudah tidak ada gunanya lagi sekarang.”
Sekarang aku harus apa lagi? Singkong rebus sudah habis. Kakek tampaknya masih saja ingin ngobrol dengan teman-temannya. Aku kurang paham apa yang mereka bicarakan, aku pun tak mengerti kenapa Nona Ling disebut-sebut. Tapi, rasanya aku sedikit mengerti kenapa di kamar Nona Ling ada foto Siem Beng.
(4)
Tiga bulan lalu, Nona Ling meninggal. Kematian yang tiba-tiba menurutku. Kata mamaku, Nona Ling sebenarnya sudah lama sakit, tapi tidak pernah ditunjukkannya kepada siapa pun. Dia tidak ingin orang lain dibuatnya susah. Kematian Nona Ling membuatku sangat sedih. Rumah Nona Ling sekarang tak berpenghuni. Orang-orang di tempatku kebingungan mau diapakan rumah Nona Ling. Untuk sementara, rumah itu dibiarkan begitu saja. Nona Ling tidak punya sanak-saudara. Dia betul-betul sebatang kara. Kami, tetangga dekatnyalah, yang dianggap saudaranya. Seminggu sebelum meninggal, Nona Ling memberiku sebuah kotak. Katanya, di dalam kotak itu, ada buku catatan pemberian kakek pamanku, Siem Beng, dulu sekali. Semua perasaan Nona Ling dicurahkan pada buku itu. Katannya, aku boleh membacanya.
Tapi, saat mamaku tahu aku menyimpan kotak dari Nona Ling, mama langsung memintanya. Lantas, aku memberikan kotak itu padanya. Ketika kotak itu dibuka, di dalamnya ditemukan sebuah buku catatan. Buku itu terlihat bersih dan rapi. Tampaknya, Nona Ling merawat buku itu baik-baik.
Mama memeriksa isi buku itu. Roman muka mama berubah saat membaca beberapa halaman buku itu.
“Liem, tampaknya ini buku catatan harian Nona Ling, dan di dalamnya disinggung-ssinggung soal kakek pamanmu Siem Beng.” Mama masuk ke dalam kamarnya.Lalu, aku lihat mama mulai membuka buku itu dan membacanya sambil tiduran. Aku sendiri langsung berlari ke luar rumah hendak main bersama teman-temanku.
Sorenya kakekku datang ke rumahku. Rupanya, mama sudah meneleponnya dan meminta kakek untuk datang.
Setelahmama menunjukkan buku catatan harian Nona Ling, kakek mengajak kami duduk di mengelilingi meja dan menyuruh mamaku menceritakan isi buku catatan itu. Aku ikut duduk,hanya ingin mendengarkan apa yang akan dibicarakan mama dan kakekku.
“Coba ceritakan yang zaman Jepang,” suruh kakek kepada mamaku.
“Memang semua cerita Nona Ling pada zaman Jepang kok, Pa,” kata mamaku, tanganya memegang buku catatan harian itu.
“Ada-tidak diceritakannya tentang apa yang dilakukan Nona Ling di rumah komandan Jepang?” tanya kakek.
“Ada, Pa. Katanya, dia masuk ke kamar paling besar dan bagus di rumah komandan Jepang itu.”
“Bagian itu sudah aku dengar. Selanjutnya apa?”
“Aku baca saja ya, Pa.”
“Iya, bacasaja.”
(5)
Karti memperkenalkanku pada sang Komandan yang sedang tersenyum-senyum melihat tingkah polah anak buahnya di ruang tengah rumahnya. Malam itu mereka sedang berpesta entah pesta apa, tapi mereka menyebut-nyebut bakalan kedatangan komandan tertinggi. Aku tak paham maksudnya apa. Sejak masuk ke dalam rumah ini, mataku terus-menerus mencari-cari sosok yang aku rindukan. Siapa tahu dia berada di sana untuk melayani para Jepang itu. Tapi, aku tak menemukannya. Anehnya, aku melihat ada perempuan Jepang berkimono sedang duduk menyepi di pojokan ruangan. Perempuan itu berkali-kali melihatku seolah ada kecemburuan pada matanya. Kata Karti, perempuan itu adalah perempuan kesayangan sang komandan. Komandan tidak pernah menyentuh perempuan-perempuan yang datang ke situ. Komandan hanya perempuan berkimono itu saja. Jangan-jangan perempuan itu cemburu padaku. Bukankah dibandingkan perempuan yang lain aku paling cantik? Lagi pula, aku bukan pribumi seperti yang lainnya, aku perempuan Cina yang sedikitnya ada persamaan dengan perempuan Jepang.
Melihatku, komandan menatap lebih saksama.
“Siapa namamu?” tanyanya.
“Ling,” jawabku singkat.
“Kau cantik. Kau masuk kamar besar sana,”katanya singkat. Dipanggilnya seorang prajurit dan disuruhnya dia mengantarku ke kamar itu.
Aku masuk kamar itu. Kamarnya besar, rapi, dan wangi. Ini seperti kamar istimewa yang dipersiapkan untuk seseorang. Tubuhku mulai berkeringat. Keberanianku untuk bisa mempertahankan diriku mulai goyah. Siapa yang akan menolongku? Semua orang di sini sudah maklum apa yang akan terjadi. Apakah aku berani melakukan perlawanan? Yah, kalau komandan atau siapapun hendak macam-macam dengan diriku, lebih baik aku mati. Aku akan mempertahankan kesucian diriku buat Siem Beng! Sekalipun harus mati! Tapi,kemana ya Siem Beng. Katanya, dia ada di rumah ini. Bagaimana aku harus mengecek isi rumah ini?Aku harus mencari akal. Ketika aku mencoba membuka pintu kamar itu, rupanya dikunci dari luar. Jendela-jendala kamar itu pun berteralis. Tak ada celah bagiku untuk keluar dari kamar itu. Siem Beng, bagaimana caranya aku menemukanmu?
Hampir satu jam lebih aku berada di kamar itu dengan gelisah. Aku hanya duduk-duduk di pinggiran tempat tidur yang berseprei putih. Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka. Seorang Jepang masuk ke kamarku dengan pakaian tentara yang masih lengkap. Di depan pintu kamarku, sang komandan memberi hormat padanya. Tampaknya, orang yang masuk ke kamarku itu pangkatnya lebih tinggi dari sang komandan pemilik rumah itu.
Orang Jepang itu tidak segera melihatku. Dia membelakangiku sambil membuka baju dan aksesori tentaranya. Saat dia hanya mengenakan celana pendek dan memakai kaos oblong, barulah dia membalikkan badannya dan melihatku.
Tapi, aku kaget sebab dia begitu terperanjat melihatku sampai-sampai dia mundur beberapa langkah. Tak lama, setelah dirinya tenang, dia bertanya padaku sambil mengenakan pakaiannya lagi.
“Siapa kau? Mengapa kau mirip sekali dengan anakku?”
“Aku Ling,” jawabku pendek. Badanku masih gemetaran. Seumur hidupku baru kali ini aku berduaan di kamar dengan lelaki dewasa.
“Namamu Ling? Kau mirip dengan anak perempuanku yang aku tinggal di Jepang. Aku tak bisa…aku tak bisa…aku tak bisa….”
Berulang kali dia mengucapkan kata “aku tak bisa” itu dan aku tak mengerti apa maksudnya. Dia keluar kamar itu. Tak lama, sang komandan datang dan memintaku untuk keluar. Aku keluar dari kamar itu, beberapa pasang mata menatapku.Tapi, aku tak melihat Karti mungkin dia sudah di kamar dengan seorang tentara Jepang. Lalu, aku dengar orang Jepang yang tadi masuk ke kamarku menghampiri aku dan sang komandan. Dia seperti memerintahkan sesuatu kepada sang komandan dengan bahasa Jepang. Aku tak mengerti.
Tak lama sang komandan memanggil seorang tentara Jepang dan menyuruhnya mengantarkan aku pulang.Malam itu aku dipaksa pulang oleh Jepang. Saat diantar pulang aku bertanya pada tentara Jepang yang mengantarku tentang Siem Beng. Sayangnya, Jepang itu tak tahu siapa Siem Beng. Katanya, di rumah itu tak ada laki-laki lain, selain sang komandan. Dan, katanya lagi, komandan tertinggi yang tadi masuk ke kamarku itu melarang sang komandan dan tentara Jepang untuk mendekati dan menyentuh diriku, jika itu dilakukan oleh sang komandan dan tentara Jepang yang ada di sini, dia tak segan-segan untuk menghukum berat mereka.
(6)
Orang Jepang itu namanya Tanamoto. Dia datang ke rumahku. Dia sudah berkeliling kampungku beberapa jam lalu, bertanya ke sana kemari. Dia sangat gembira ketika mamaku membenarkan nama yang ditanyakannya. Kata kakek, rumahku dulu adalah rumah kakek buyutku tinggal. Kakek dan saudara-saudaranya tinggal di sini. Kakek pindah dari rumah ini untuk ikut pamanku yang rumahnya lebih besar.
Saat Tanamoto datang, aku sedang menggambar di buku gambarku. Aku asyik saja mencoret-coret buku gambar itu entah apa yang aku gambar belum jelas. Mamaku menerima kedua tamu itu. Dipersilakannya mereka duduk, terus disajikannya minuman dan beberapa kue kecil. Setelah itu, Mama mendengarkanTanamoto berbicara. Tanamoto disuruh pamannya untuk mencari rumah ini. Rumah yang punya kaitankeluarga dengan seseorang yang dikenalpamannya di masa lalu. Sebenarnya, Tanamoto sudah lama tinggal di Indonesia, dia bekerja di sebuah pabrik otomotif, sehingga dia bisa lancar berbahasa Indonesia. Katanya, dia sudah lama berencana datang ke sini.
“Jadi, apa yang bisa saya bantu?” tanya mamaku. Nah, sekarang aku mau gambar pesawat terbang saja, ehm, tapi pesawat paling besar saja, begitu pikirku sambil melihat mamaku berbicara.
“Ini soal Siem Beng,” kata Tanamoto.
Mamaku terperanjat mendengar ucapan Tanamoto itu.
“Iya, Siem Beng. Anda tahu Siem Beng?” tanya Tanamoto.
“Siem Beng adalah pamanku,” kata mamaku, “tapi, dia tidak pernah kembali ke rumah ini sejak dia ikut truk romusha. Bagaimana kabarnya Siem Beng? Dan, bagaimana Tuan tahu tentang pamanku itu?”
“Pamanku dulu ditugaskan di sekitar sini. Rumahnya di kampung sebelah. Rumahnya tempat tentara Jepang kumpul-kumpul. Pamanku, namanya Nakamura. Orang sini menyebutnya Komandan. Ya, betul dia itu komandan. Dan, Siem Beng, ehm paman itu, tinggal di rumah pamanku.”
“Soal rumah itu kami orang sini tahu. Soal komandan itu pun banyak yang tahu. Tapi, kata siapa pamanku tinggal di sana?” mamaku terkejut, “di rumah komandan, tidak ada laki-laki lain.”
Sekarang, pesawat itu sudah jadi. Aku menggambar apa lagi ya? Mama terlalu serius untuk ditanya. Baiklah, aku menggambar kapal selam saja.
“Tidak juga. Siem Beng ada di sana, begitu kata pamanku. Pamanku jatuh cinta pada pamanmu. Ya, pamanku punya kelainan seksual. Agar perilakunya tidak ketahuan orang lain,dia memaksa Siem Beng berdandan seperti perempuan. Sebab itu, Siem Beng tidak dikenali siapapun.”
“Jadi, perempuan berkimono yang diceritakan oleh Ling dan Karti itu Siem Beng,” potong mamaku, sekaligus menyimpulkan.
“Siapa Karti? Kalau Ling, aku tahu,” kata Tanomoto.
“Karti itu perempuan sini yang dipaksa untuk menghibur tentara Jepang,” kata mamaku, “bagaimana Tuan tahu tentang Ling?”
“Nama Ling disebut-sebut dalam surat yang ditulis Siem Beng.”
“Surat yang ditulis Siem Beng? Jadi, Siem Beng masih hidup?”
“Tidak juga. Siem Beng sudah meninggal waktu pamanku masih di sini. Dia menulis surat sebelum dia bunuh diri. Aku mau memberikan surat Siem Beng itu. Demi cintanya pada Siem Beng, pamanku berusaha mengumpulkan data tentang keluarga Siem Beng secara diam-diam. Tapi, dia tidak jadi mengabari keluarga Siem Beng sebab dia keburu dipindah ke tempat lain. Setahun lalu, pamanku meninggal dunia. Sebelum meninggal, kata keluargaku di sana, pamanku selalu menanyakan apakah aku sudah menemukan keluarga Siem Beng atau belum. Tampaknya dia merasa berdosa atas kematian Siem Beng.” Jelas Tanomoto panjang lebar.
Mamaku terlihat serius mendengarkannya.
“Siem Beng bunuh diri, kenapa?” tanya mamaku kemudian.
Akhirnya, kapal selamku selesai. Bagaimana pendapat mama tentang gambarku ya? Tapi, Mamaku masih bicara dengan tamunya itu. Baiklah, aku pergi keluar dulu, nanti setelah tamunya pulang akan aku tunjukkan gambar pesawat terbang dan kapal selam.
(7)
Ling, kekasihku…
Ketika surat ini kau baca, mungkin jasadku sudah terkubur. Aku ambil keputusan ini sebab aku tak tahan melihatmu ternoda di kamar besar itu… Selama ini aku bertahan untuk hidup meskipun aku jadi pemuas seks sang komandan, tapi aku tak rela jika engkau yang dijadikan pemuas seks para tentara Jepang…
Ling, kekasihku…. Maafkan aku yang tak bisa melindungimu. Tadi semestinya aku menghalangi komandan memasukkanmu ke kamar itu, tapi aku tak mampu. Aku hanya mampu menangis. Maafkan aku, Ling…..
Dariku kekasihmu, SIEM BENG
------Ragunan, 23 April 2013
[1] Cici=kakak perempuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H