Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dunia Jungkir Balik Puisi dan Penyair Muda Berbakat Kompasiana

21 Juni 2012   07:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:42 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas mirip dengan judul sebuah esei yang ditulis Budi Darma pada tahun 1970-an. Katakan saja, bahwa saya terinspirasi oleh judul itu. Pada esei yang ditulisnya itu, Budi Darma mengatakan bahwa sastra itu merupakan dunia jungkir balik. Banyak kejadian yang tidak dimengerti dalam sastra. Budi Darma menceritakan pengalaman-pengalaman para penulis dikaitkan dengan hasil karyanya. Misalnya, kesalahan pencetakan naskah  yang tidak sengaja, dan sebenarnya akan diperbaiki oleh penulisnya, tetapi sebab satu hal, perbaikan itu tidak dilakukan, namun ternyata tetap menjadi karya terbaik yang dihasilkannya dan dikagumi banyak orang.

Berbeda dengan Budi Darma, saya hanya menyoroti puisi. Pun, bisa sama atau berbeda pemaknaan terhadap dunia jungkir balik-nya. Puisi, menurut saya, adalah sebuah dunia tersendiri. Dunia yang berbeda yang kadang sulit dipahami. Segala sesuatu bisa jungkir balik di dalam dunia puisi. Pemahaman kita terhadap teks puisi menempatkan pelaziman atas jungkir balik itu. Segala sesuatu bukan masalah selama dalam puisi.

Saya sering berkata bahwa bahan dasar sebuah puisi adalah kata. Pilihan kata (diksi) menjadi penting. Kata-kata dalam puisi adalah kata-kata biasa yang kita pakai, tetapi kata-kata itu kita transformasikan menjadi kata-kata yang luar biasa,  misalnya, bisa lewat majas. Pilihan kata itu selain mempertimbangkan makna, juga efek bunyi (rima). Kita pun membuat kata-kata memiliki kemampuan sehingga pada puisi itu mendorong pencitraan pada pikiran atau benak pembacanya. Hal lain yang kita perlu perhatikan adalah suasana yang tergambar. Kata-kata dengan bunyi /a/ atau /u/ menghasilkan suasana keharuan, sebaliknya bunyi /i/ menghasilkan suasana keceriaan. Tapi, soal efek bunyi terhadap suasana memang perlu penelitian lebih lanjut.

Selain kata, puisi terdiri atas larik. Syukurlah dalam bahasa Indonesia ada kata larik. Kalau dalam wacana ilmiah atau prosa, maka kata-kata itu disusun menjadi kalimat. Namun, dalam puisi, kata-kata yang sudah disusun itu membentuk larik. Bedakan antara kalimat dengan larik. Kalimat, doktrin pertama guru bahasa Indonesia kita, adalah selalu diawali huruf kapital, memiliki subjek-predikat, dan diakhiri tanda baca titik, seru, atau tanya. Sebaliknya, larik tidak mesti diawali huruf kapital, tidak mesti bersubjek-predikat, dan tidak mesti diakhiri tanda baca.

Siapa pun bisa menghasilkan puisi. Baik perempuan maupun laki-laki, baik muda maupun tua bisa membuat puisi. Saya tidak ingin bicara soal kualitas sebuah puisi. Itu relatif dan bergantung pula pada maksud pembuatan puisi itu. Tahun ’70-an, misalnya, lahir puisi mbeling. Puisi yang tampaknya seperti iseng-iseng saja, tetapi dibuat oleh para sastrawan ternama kita. Orang pun maklum.  Sebab itu, tidak mudah menentukan apakah sebuah puisi berkualitas atau tidak. Mungkin, pinjam teorinya MAK Halliday tentang konteks yang menentukan makna. Kurang lebih, penilaian puisi pun jadi terikat konteks.

Pernah baca puisi,  “Jembatan Amperapun Amblas”? Puisi itu ditulis Febby Deka, penyair muda Kompasiana, umurnya masih 14 tahun.  Saya sengaja membahas puisinya sebab terpicu satu artikel Febby, yaitu “Demi Kompasiana Kutinggalkan Facebook”, kalimat pertama artikel itu yang saya garis bawahi “Nulis lagi ah”. Itu sangat penting, keinginan untuk terus menulis.

Pada “Jembatan Amperapun Amblas” –secara ejaan, kata pun harus dipisah, tak apa biarkan saja, ini puisi, dunia jungkir balik—Febby menyampaikan kekhawatiran jembatan Ampera kebanggannya—Febby anak Palembang—yang menjadi icon kotanya akan diambil alih oleh Malaysia. Bagi saya, “jembatan ampera” yang ada pada puisi Febby, bukanlah Jembatan Ampera  sebenarnya, tetapi mungkin “budaya” Indonesia. Mengingat, soal claim Malaysia terhadap budaya-budaya suku bangsa kita.

Saya takjub atas ungkapan-ungkapan yang dipakai pada puisi ini. Febby sudah mampu menghasilkan ungkapan yang memiliki kadar sastra. Coba perhatikan larik /luapan amarah sang penghuni sukma berpacu menukil raga//ku raih seutas tali menambang raga//cakar langitnya hanya tinggal berita//. Itu sebagian larik berisi ungkapan, menurut saya, sangat luar biasa.

Pencitraannya terasa kuat pula. Tergambar seseorang yang sekuat tenaga mengayuh untuk menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga. Terasa kesan capai dan “perjuangan”-nya.  Hanya saja, --ini penilaian saya—penggambaran perjuangan  yang luar biasa untuk menyelamatkan jembatan ampera itu menjadi agak hambar, Febby kembali ke asalnya sebagai remaja yang ceria, dengan menyatakan bahwa itu semua hanya cerita dalam mimpinya. Seandainya empat baris terakhir dibuang, dan puisi diakhiri dengan /Ke mana perginya si Anak-anak Bangsa/….. keseluruhan makna yang sudah terbangun akan semakin kuat.

Tapi, jika saya menempatkan semua ini ke dalam konteks, Febby Deka selayaknya menjadi  penyair muda berbakat di Kompasiana!

Ragunan, 21 Juni 2012

Kang_insan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun