Uli Elysabet Pardede. Kemarin setahun sudah, Uli menjadi Kompasianer dan Uli merayakannya dengan sebuah artikel "Setahun di Kompasiana".  Saya senang mengakrabi tulisan-tulisan Uli, bahkan saya mencoba menyelami tulisan-tulisan tersebut, terutama tulisan fiksi. Di Kompasiana ada 31 puisi  dan 91 (prosa+cerpen) yang sudah Uli posting.  Membandingkan antara puisi dan prosa yang ditulis Uli, kalau saya diminta pendapat tentang potensi kesastraan yang dimilikinya, maka saya sangat berkeyakinan bahwa Uli sangat berpotensi untuk menjadi cerpenis atau novelis, dibandingkan menjadi penyair.
Subuh tadi saya sudah membaca cerpen terbaru yang diposting Uli, yaitu "Cinta Sang Pelacur". Tapi, baru sempat siang ini saya tulis sedikit review untuk cerpen itu. Cerpen yang dari sisi judul sudah memancing ketertarikan pembaca, buktinya sampai artikel ini saya tulis, cerpen itu sudah dibaca 1146 kali. Angka yang sangat banyak, bukan?
Cinta Sang Pelacur bertitik sentral pada Suryana (pelacur) dan Doli (security losmen). Sekadar catatan saja, out of the contect, apa tidak terbalik nama itu? Nama  Suryana berakhir dengan huruf  (a) yang umumnya menjadi nama laki-laki, apa tidak nama Suryani saja begitu. Atau, Doli itu bukankah nama tempat pelacuran di Surabaya, Gang Doli, kenapa tidak yang pelacur dinamai Doli, sedangkan satpamnya diberi nama Suryana saja?  Menurut saya, dari sisi cerita, Uli berhasil membawa "keterkejutan" kepada pembaca. Ada surprise! Surprise bahwa Suryana betul-betul mencintai Doli yang selalu mengharapkan dirinya, surprise bahwa Doli menolak Suryana dengan alasan "burungnya" kecil, surprise bahwa Suryana tidak menerima kondisi Doli, surprise bahwa ternyata Doli mampu memiliki anak, dan surprise bahwa ternyata yang besar di balik celana Doli hanyalah gulungan saputangan yang ditumpuk-tumpuk, dan surprised ternyata istri Doli bahagia. Dan menurut saya, surprise paling besar adalah kita, pembaca, dibuat bertanya "betulkan ada kaitan antara ukuran 'burung' dengan kepuasan atau dengan 'kemampuan menghasilkan keturunan"?  Jadi, "ketekerkejutan" itu berhasil memancing pembaca untuk menuntaskan pembacaan cerpen ini. Dan, itu menandakan keberhasilan Uli dalam menuturkan ceritanya. Sebuah ide/gagasan cerita yang menarik yang dibuat menghentakan pembacanya.
Tapi, Uli tergoda. Cerita yang berkesan kemuraman ini dituturkan dengan gaya remaja, dimunculkannya istilah kamseupay membuat kesan muram pada cerita hilang.  Itu sebuah godaan. Kesan muram cerita tentu menambah pencitraan suasana yang akan diceritakan, yang akan menuntutn emosi pembaca kepada suasana kita ciptakan. Godaan lain adalah mengomentari kejadian, semestinya biarkan saja komentar terhadap kejadian itu timbul dari pembaca sendiri, pengarang tak mesti terlibat langsung. Misalnya pada kalimat-kalimat:  Ah, Suryana… Mirisnya nasibmu menikmati kemewahan di tengah-tengah dosa/Ah, Doli… Malangnya nasibmu/Ah, Suryana malangnya dirimu menjadi perempuan bekas yang terlanjur sombong…./.
Keseluruhan cerpen ini, menurut saya, sangat menarik. Uli melangkah jauh melewati batas-batas pengalaman hidupnya sendiri. Sebuah kekuatan atau potensi diri yang sangat luar biasa. Pengarang harus mampu mengimajinasikan sesuatu yang tidak pernah dialaminya. Itu yang dilakukan Uli. Satu-dua kekurangan tentu saja bisa terjadi, tinggal berlatih memperhalus kalimat sehingga kalimat-kalimat deskripsi terasa sebagai sesuatu yang benar dilihat dan bisa dihayati pembaca.
Wallahu alam,
Kang_Insan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H