AUMAN SEEKOR SINGA
(1)
Di kampung kakekku, ada sebuah gedung besar yang konon didirikan pada zaman Belanda. Kata kakekku, mungkin juga kata semua orang-orang tua di kampungnya, gedung besar yang terletak di pinggir kampungku itu yang tampak angker itu dulu dihuni oleh seorang laki-laki yang berkebangsaan Jerman. Sungguh, tak masuk akal bagaimana mungkin di kampung kakekku ada orang Jerman waktu itu. Bagaimana bisa orang Jerman nyasar ke kampungku yang sunyi senyap. Bahkan, saat itu Belanda masih berkuasa di negeri ini. Soal gedung itu, aku tahu dari bapakku. Bapaklah yang selalu bangga dengan kampungnya dan hafal seluruh pelosok serta berbagai cerita kampungku.
Satu hari aku bertanya-tanya tentang orang Jerman itu kepada kakekku. Saat itu aku sudah duduk di sekolah menengah atas dan sedang berlibur ke rumah kakekku. Kakek mengajakku keliling kampungnya. Sebab jalannya setapak, kami berjalan berdua beriringan. Kakekku di depan dan aku dibelakang mengikutinya.
“Mbah, apakah orang itu bukan orang Belanda?” tanyaku pada kakekku.
“Orang mana?” kakekku balik bertanya. Tapi, kakinya tetap melangkah.
“Orang yang tinggal di gedung tua itu, Mbah,” jawabku. Aku kagum pada kakekku yang masih kuat berjalan kaki pulang-pergi sejauh 10 km. Aku sendiri sudah kecapaian. Tapi, aku tetap berusaha melangkahkan kaki, khawatir ditinggal kakekku.
“Oh, itu. Orang itu bukan orang Belanda. Mbah tahu orang Belanda itu seperti apa. Lah, di sini banyak sekali tuan-tuan Belanda yang punya rumah dan perkebunan. Tapi, rumah itu benar-benar dihuni orang Jerman,” jelas mbahku tanpa menengok ke belakang.
“Apa cirinya, Mbah?” tanyaku lagi.
“Bahasanya berbeda dengan bahasa yang dipakai tuan-tuan Belanda. Di depan rumah itu dulu ada bendera yang biasa dikibarkan penghuninya. Dan, bendera itu bukan bendera Belanda. Kata tuan-tuan Belanda, bendera yang dikibarkan itu adalah bendera negara Jerman,” terang mbahku lebih meyakinkanku. Seekor kambing dihela kakek sebab menghalangi jalan. Maklumlah di kampungku kambing dibiarkan bebas berkeliaran.
“Siapa nama orang Jerman itu, Mbah?”
“Franz! Ya, Tuan Franz biasanya begitu orang di sini menyebutnya.”
“Bagaimana Tuan Franz bisa sampai sini, Mbah?”
“Tuan Franz sampai ke sini naik pesawat,” jawab Mbahku.
“Pesawat, Mbah? Benarkah?” Aku terkejut. Hampir saja kakiku tersandung akar pohon turi yang berdiri tegak di pinggir jalan.
“Betul. Hari itu hari Jumat. Ketika kami selesai Jumatan, sebuah pesawat berputar-putar terbang di atas kampung ini. Tidak lama pesawat itu kemudian turun menyusur sawah yang kebetulan sedang tidak ditanami sebab sedang kekeringan air. Kami, orang-orang kampung sini, berlarian ke pesawat tersebut. Dan, ternyata saat pesawat itu berhenti mendarat. Keluarlah dari pesawat itu seorang laki-laki bertubuh tegap berpakaian tentara sambil menenteng senapan. Lalu, senapan itu ditembakannya ke atas. Maka, kami pun berlarian ketakutan…”
“Terus, Mbah,…terus…?” Rasanya ingin aku mendahului kakek dan menatap wajah kakek.
“Tiba-tiba langit sangat gelap. Awan mendung menyelimuti kampung ini. Tak lama hujan turun sangat deras. Kami pun berlarian pulang ke rumah….Barulah keesokan harinya dari desas-desus yang kami dengar, orang yang naik pesawat dan membawa senapan itu tinggal ditangkap Pak Lurah dan tinggal di rumah Pak Lurah. Anehnya, kami tak pernah melihat pesawatnya lagi. Entah kemana pesawat itu. Dia hanya tinggal dua atau tiga hari di kampung ini. Setelah itu dia pergi tak ada yang tahu ke mana. Tiga bulan kemudian dimuncul lagi, dia ditemani oleh Tuan Bosch, orang Belanda yang punya perkebunan di sini. Kata Tuan Bosch, orang Jerman itu mau membangun gedung besar di dekat hutan. Dia mencari penduduk yang mau bekerja membangun gedung itu. Dari kampung ini ada sepuluh orang yang bersedia bekerja membangun gedung itu. Terus, katanya juga dari beberapa kampung lain ada para lelaki yang ikut. Begitulah, hampir satu tahun gedung mewah itu dibangun di sana. Konon kata pekerja gedung itu banyak kamarnya. Ada banyak lorong. Dan, ada sebuah ruangan besar yang dipasangi jeruji besi. Entah untuk apa ruangan itu. Tapi, sejak gedung itu berdiri sering terdengar suara auman singa dari gedung itu!” kata kakekku, tapi saat mengatakan auman singa suaranya dipertegaskan dan rada ditekan.
“Auman singa, Mbah?!” tanyaku terkejut.
“Betul, auman seekor singa,” kata kakekku mantap.
“Terus, reaksi orang-orang kampung bagaimana, Mbah?” Uppps, hampir saja aku terjerembab, sebab bagian jalan itu tidak rata.
“Awalnya kami ketakutan. Lalu, kami datangi rumah itu. Tapi, kami hanya sampai di pagarnya. Rumah itu berpagar besi yang tinggi yang mengeliinginya. Jarak pagar ke rumah sekitar 50 meter. Dan, ada banyak anjing herder yang siap menyerang siapapun yang masuk melompati pagar. Bahkan,jika orang Jerman itu melihat kami datang, ia menyambut kami dengan tembakan. Kami ketakutan jika mendekati gedung itu. Lama-kelamaan kami membirkan saja suara auman itu. Sebenarnya, orang Jerman itu pun tak pernah mengganggu kami,” Kakekku panjang lebar bercerita. Nada suara kakekku masih seperti tadi, seolah-olah dia tidak merasakan cape padahal kamu sudah cukup jauh berjalan.
“Aku ingin masuk ke sana, Mbah,” kataku tiba-tiba.
Mendengar ucapanku, kakekku berhenti berjalan. Lalu, membalikkan tubuhnya ke arahku yang hampir aja menabraknya. Wajah kakekku berubah pucat dan dia langsung saja berkata dengan suara keras, “Jangan sekali-kali masuk ke dalam gedung itu! Tak pernah ada yang selamat keluar dari gedung itu! Semua pekerja yang membangun gedung itu semuanya tak pernah kembali ke rumahnya!”
Seketika aku langsung terdiam. Dan, memang apa yang dikatakan kakekku itu dipercayai semua orang kampung sini. Tak pernah satu orang pun mendatangi dan masuk ke dalam gedung itu. Demikianlah yang juga diceritakan bapakku.
(2)
Sewaktu aku studi sejarah di salah satu universitas di Jerman, ada profesor yang terkejut ketika dia tahu bahwa aku dari Indonesia. Bahkan, dia sangat terkejut ketika aku sebutkan nama kampung kakekku. Aku sengaja menyebutkan nama kampung kakekku, aku ingin memancing pengetahuan profesor itu tentang kaitan kampungku dengan orang Jerman bernama Franz yang membangun sebuah gedung mewah pada zaman Belanda di kampung kakekku itu. Dan, pancinganku kena. Profesor yang dipanggil oleh mahasiswanya Prof. Otto itu mengatakan bahwa pernah ada pesawat Jerman berpenumpang tunggal yang diduga tersasar ke Indonesia dan jatuh di sebuah daerah yang namanya persis seperti nama kampung kakekku. Tapi, pemerintah Jerman tidak bisa melacak pesawat itu di Indonesia. Selain letak Indonesia sangat jauh, sebenarnya pesawat itu dirahasiakan keberadaannya.
“Apakah Saudara mendengar cerita tentang pilot Jerman itu?” tanya Prof. Otto saat aku datang ke ruangannya untuk berkonsultasi tentang risetku.
“Iya, Prof. Kalau tidak salah, nama pilot itu Franz,” jawabku.
“Betul, betul sekali,” kata Prof. Otto, “apakah di sana ada bangkai pesawatnya?”
“Sayang sekali, Prof., tak ada bangkai pesawat. Kata kakekku, pesawat itu memang ada, tapi kemudian hilang entah kemana,” jelasku.
“Hilang bagaimana?” tanya Prof. Otto penasaran.
“Penduduk di sana tak tahu ke mana pesawat itu setelah mendarat, pesawat itu menghilang dalam waktu semalaman dari tempatnya mendarat. Dan, soal pesawat itu tak lagi menarik penduduk di sana. Penduduk di sana justru lebih tertarik dengan auman singa yang datang dari sebuah gedung yang dibangun oleh Franz.”
“Jadi, Franz membangun gedung?”
“betul, Prof. Bahkan, gedung yang sangat besar. Gedung yang didalamnya ada singa yang dipelihara Franz. Auman singa itu penuh misteri, Prof. Semua penduduk takut mendekati gedung itu. Dan, sampai sekarang tak seorang pun mencoba masuk dan memeriksa kondisi di dalam gedung itu.”
“Gedung itu ada singanya? Apa mungkin di kampung sana ada habitat singa?”
Aku terhentak. Pertanyaan itu menyadarkanku bahwa kampung kakekku bukan habitat singa, kalau harimau mungkin saja. Tapi, kenapa semua orang kampung sana mengatakan adanya auman singa, bukan auman harimau. Apakah ada perbedaan antara auman singa dan auman harimau? Tapi, aku punya keyakinan orang-orang kampung sana, termasuk kakekku, pasti pernah mendengar auman harimau, dan pasti mereka sudah tahu bedanya auman yang datag dari gedung Franz.
Aku cukup lama berada di ruangan Prof. Otto. Selain membicarakan soal gedung itu, aku pun menyampaikan rencana risetku. Prof. Otto setuju dengan rencana risetku itu. Aku merencanakan riset di Indonesia. Dan, Prof. Otto menyatakan ingin ikut ke Indonesia sebab dia ingin mengumpulkan sebanyak-banyak informasi bersangkut paut dengan pilot Jerman itu, gedung megahnya, dan penasaran dengan pesawatnya yang konon tiba-tiba lenyap.
(3)
Akhirnya aku kembali ke Indonesia. Sekarang bulan Juli bertepatan dengan satu tahun kakekku meninggal. Memang seperti itulah rencanaku, datang ke Indonesia bertepatan dengan haul satu tahun kakekku. Di tempatku kata haul bisa dimaknai sebagai peringatan tahunan meninggalnya orang yang kita cintai. Ya, kurang lebih begitulah maknanya. Dan, Prof. Otto benar-benar jadi ikut denganku. Sejak pertemuan kami di ruangan kerjanya, Prof. Otto tampak begitu antusias untuk ikut aku ke Indonesia. Bagiku, keantusiasan Prof. Otto sebagai hal yang wajar sebab sebagai seorang sejarawan, beliau tentu tertarik pada hal-hal yang belum terungkap secara ilmiah. Beberapa kali Prof. Otto menelponku tampak sekali dia seperti tidak sabar.
Kali ini aku berjalan beriringan dengan Prof. Otto, yang terus-menerus bertanya berbagai hal tentang kampung kakekku. Berkali-kali dia terkagum-kagum atas keramahtamahan penduduk di sini. Hampir semua penduduk yang kami temui menyapa kami penuh dengan senyuman, bahkan banyak yang mengajak bersalaman.
Sudah banyak perubahan terjadi di kampung kakekku. Dulu waktu aku di sekolah menengah, listrik belum masuk ke kampung kakekku. Satu-satunya alat hiburan paling populer adalah radio transistor. Kakek punya radio transitor ukuran dua band. Sekarang hampir semua rumah di sana punya televisi tampak dari tiang-tiang bambu yang dipasang di samping rumah untuk meninggikan antena televisi. Antena televisi harus tinggi agar banyak saluran yang dapat dinikmati. Ada beberapa rumah yang memiliki parabola. Itu luar biasa, bukan? Parabola berdiameter lebar itu bukan untuk menonton televisi luar negeri, tapi buat nonton televisi lokal.
Jalan setapak menuju ke rumah Franz bukan lagi jalan tanah setapak. Sekarang, jalan itu sudah cukup lebar dan pasangai cone block. Pohon-pohon besar yang berdiri di pinggir jalan itu sudah banyak yang ditebangi. Letak rumah besar itu sekarang bukan lagi di pinggir kampung. Kampung kakekku kian lebar. Tapi, ada yang tidak berubah. Ya, rumah Tuan Frans itu! Misterinya pun masih tidak terungkap sebab sampai sekarang tak seorang pun yang berani masuk ke rumah itu.
Prof. Otto dan aku sepakat untuk diam-diam saja masuk ke rumah itu. Kami khawatir reaksi yang berlebihan dari penduduk terhadap rencana kami. Mungkin, akan banyak penduduk yang tidak setuju. Jadi, kami rencanakan masuk ke rumah itu sedemikian rupa agar tak seorang pun penduduk tahu dan segala perlengkapan yang kemungkinan harus dipakai sudah kami siapkan. Perlengkapan itu kami masukan ke dalam backpack kami masing-masing. Jika ada penduduk yang bertanya hendak ke mana, aku menjawabnya bahwa kami akan berkemah di dekat air terjun sana.
Kami sangat hati-hati memasuki pekarangan rumah itu. Berkali-kali Prof. Otto mengingatkanku agar waspada. Ketika aku menginjakkan kakiku di pekarangan rumah itu, ada perasaan aneh yang aku rasakan. Sejak dulu aku ingin masuk ke sini, tapi kakekku melarangku. Keinginan yang terus terpendam itu sekarang dapat terlaksana, tentu saja aku merasakan suatu sensasi yang tak bisa aku jelaskan. Kami berdua bergegas melangkah agar tidak terlihat penduduk.
Prof. Otto mencoba membuka pintu rumah itu. Pintu rumah yang kokoh. Tapi, ternyata hanya sebuah dorongan dengan sedikit tenaga pintu rumah itu pun terbuka.
“Ayo, cepat masuk!” kata Prof. Otto.
Aku berdebar-debar ketika masuk ke dalam rumah itu. Rumah itu gelap. Segera Prof. Otto menyiapkan lampu senter yang dipasangnya di kepalanya. Aku segera menyiapkan lampu darurat yang sudah aku charge sehari sebelumnya. Dalam rumah terlihat terang. Tapi, kesan seram di rumah itu mulai aku rasakan.
Kami terus melangkah perlahan-lahan. Kami memeriksa satu per satu ruangan di sana. Furniture atau barang-barang rumah tangga di sana masih ada, tapi banyak yang dijadikan sarang laba-laba. Lorong-lorong itu pun dipenuhi debu. Mungkin, langkah-langkah kami membuat jejak pada debu-debu di sana. Pada beberapa ruangan, ada kelelawar yang berterbangan menyambut kami begitu pintunya dibuka. Setelah beberapa saat kami menemukan sebuah ruangan yang sangat besar yang memiliki cerobong asap besar di atasnya. Persis di tengah-tengah ruangan itu dan di bawah cerobong asap itu, sebuah pesawat terbang berdiri tegak.
Aku hampir melonjak. Begitu juga Prof. Otto.
“Akhirnya, kita menemukan pesawat terbang yang dibawa oleh Tuan Franz!” begitu kata Prof. Otto dengan nada yang sangat gembira.
Aku tak tahu bagaimana pesawat terbang itu bisa masuk ke dalam ruangan itu. Tapi, bisa jadi dulu pesawat itu disembunyikan Tuan Franz dan saat gedung itu akan mulai dibangun, Tuan Franz menyuruh para pekerja untuk mendorong pesawat itu dan meletakkan di tempat itu. Barulah setelah pesawat itu ada di sana, gedung itu pun dibangun. Itu hannya asumsi saja.
Prof. Otto memeriksa pesawat itu. Beberapa kali dia mencoba beberapa peralatan yang ada di pesawat tersebut. Tiba-tiba, pesawat itu menderu!
“Aaaaaaauuuuuuummmmm!” derunya seperti suara singa! Menderu untuk beberapa saat saja, mungkin 5-10 detik! Setelah itu, tak lagi menyala.
Ya, ya, seperti suara singa! Ya, aku tahu sekarang! Dulu, sebenarnya tak pernah ada singa yang mengaum, yang ada adalah deru pesawat ini ketika mulai dinyalakan oleh Tuan Franz! Entah apa maksudnya Tuan Franz menyalakan pesawat ini.
“Sayang, hanya segitu sisa-sisa kemampuan pesawat ini,” kata Prof. Otto. Tangannya berdebu. Prof. Otto berjalan lagi, sekarang baru aku perhatikan bahwa tampaknya Prof. Otto tahu betul seluk-beluk isi rumah ini. Dari tadi dia tidak tampak kebingungan tentang ruangan-ruangan di dalam gedung itu. Tapi, aku tak ingin banyak bicara. Aku ikuti saja langkah Prof. Otto hingga akhirnya kami menemukan sebuah dinding dengan lukisan gambar diri seorang laki-laki menempel di dinding itu.
Prof. Otto sejenak menundukkan kepala di depan lukisan itu. Ia seperti berdoa. Lalu, dia meminta bantuanku untuk menurunkan dinding itu. Ketika lukisan sudah kami turunkah, pada dinding yang tertutup lukisan itu tampak seperti ada semacam kotak besi yang dilekatkan di sana. Prof. Otto tampak gembira sekali.
“Akhirnya aku temukan juga,” begitu katanya seperti berbicara sendiri.
“Itu apa, Prof? Seperti tempat menyimpan sesuatu yang rahasia,” tanyaku.
“Benar. Ini tutup kotak besi,” kata Prof. Otto tenang, “kita harus membuka lemari ini.”
“Bagaimana membukanya, Prof?” tanyaku.
“Aku punya kuncinya,” kata Prof. Otto yakin.
Aku terkejut mendengar jawaban Prof. Otto. Tapi, itu sekaligus meyakinkanku bahwa Prof. Otto tampak tahu tentang isi gedung Tuan Frans tersebut.
“Ayo, bantu aku membuka kotak besi ini!” pinta Prof. Otto.
Aku segera mencari kursi atau balok yang bisa membantu Prof. Otto dapat menjangkau tutup kotak besi itu. Aku seret sebuah kursi besar yang tampak sangat kotor. Ada suara berderit yang membuat bulu kudukku merinding.
Dengan bantuan kursi itu, Prof. Otto berdiri mencoba membuka tutup kotak besi tersebut. Ia mengeluarkan sebuah kunci yang rupanya sudah tergantung di lehernya. Aku berdebar memperhatikannya. Kunci itu dimasukkan ke lubangnya, lantas dengan jarinya memutarkan kunci itu. Dan, terdengar bunyi klik. Tangannya membuka tutup itu. Kotak besi itu pun terbuka. Dan, dalam kotak itu, yang tersorot sinar senter, terlihat kilauan sinar berlian! Kotak itu penuh dengan berlian!
“Aha!” begitu teriakan Prof. Otto. Yang menggema ke seluruh isi gedung.
(4)
Di sebuah restoran ternama di kota Berlin, aku dijamu Prof. Otto makan malam, sekaligus janji Prof. Otto untuk menceritakan rahasia tentang Tuan Franz dan gedungnya itu. Sebenarnya ada lagi janji yang lebih penting, yaitu Prof. Otto akan memberiku 10 persen dari hasil penemuan berlian tuan Franz. Kami baru seminggu kembali dari Indonesia. Aku memutuskan menunda risetku terlebih dahulu sebab Prof. Otto memintaku mengawalnya kembali ke Jerman.
Kami memesan tempat VIP, sehingga di ruangan itu hanya ada kami berdua saja.
“Nama lengkapnya Franz Scwab Sneidergerr,” kata Prof. Otto memulai pembicaraan ketika dia sudah duduk dan selesai memesan makanan.
“Apa hubungannya dengan Prof?” tanyaku.
“Franz itu kakekku. Dia membawa kabur berlian-berlian milik Pemerintah Jerman. Sebab itu, Pemerintah Jerman merahasiakan hilangnya pesawat itu. Tapi, Pemerintah Jerman pun tak pernah tahu ke mana pesawat itu pergi atau dibawa pergi oleh Franz,” jelas Prof. Otto.
Pantesan waktu itu, Prof Otto tampak berdoa di depan foto Franz.
“Bagaimana Prof tahu bahwa Franz membawa pesawatnya ke kampung kakekku?” tanyaku.
“Aku dapat warisan dari ayahku seminggu sebelum aku bertemu denganmu. Sebuah kotak yang harus diberikan ayahku dari kakekku. Kotak itu diberikan kepada ayahku oleh Tuan Bosch, seorang Belanda. Pesan kakek yang disampaikan lewat Tuan Bosch agar kotak itu diberikan kepadaku kalau ayahku sudah tua. Waktu aku buka kotak itu di dalamnya terdapat sebuah surat, peta sebuah gedung, dan sebuah kunci. Ya, lewat surat itu aku tahu petualangan hebat yang dilakukan kakekku. Dan, kakekku rupanya menyiapkan warisan yang luar biasa buatku seperti yang kamu saksikan sendiri. Sebenarnya aku ingin mencari jasad kakekku, tapi rupanya jasad itu sudah tidak ada di sana. Mungkin tulang belulangnya dibawa hewan-hewan keluar dari rumah itu,” Prof. Otto menjelaskan dengan panjang lebar kepadaku.
Aku serius menyimak penjelasannya.
“Baiklah, kita nikmati makan malam yang sudah terhidang ini dan besok aku akan menjual berlian-berlian itu. Ada beberapa kolektor berlian yang sudah aku coba hubungi. Oh, ya aku akan memberimu sepuluh persen dari nilai totalnya, bukan?” Prof. Otto tersenyum sambil menatapku.
Aku pun tersenyum sambil menatapnya kembali. Terbayang di mataku aku akan memperoleh banyak uang.
Selesai makan malam, aku pamit kepada Prof. Otto. Aku berjalan sendiri menyusuri gang-gang menuju apartemenku. Di sebuah sudut jalan yang agak sepi, di sana banyak lorong-lorong dan agak kumuh, aku melihat sebuah kelebatan bayangan. Betul sadar atas sepenuhnya yang aku lihat, ketika aku berpaling tiba-tiba terdengar sebuah letusan pistol.
“Dooooor!”
Terasa sesuatu menembus dadaku. Kakiku gemetar, lalu aku jatuh tersungkur di pinggir jalan. Sambil terbaring, aku rasakan dadaku mengucur darah. Aku ditembak! Lalu, mataku tiba-tiba gelap. Gelap, segelasp-gelapnya!
(5)
Esok paginya Prof. Otto membaca surat kabar. Sebuah headline di koran lokal kotanya, “Mahasiswa Indonesia tewas dirampok!”. Ia tersenyum. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Segera saja ia menerima panggilan dari handphone-nya itu.
“Hello. Iya, betul, saya Otto Sneidergerr. Oh, ya? Saya sedang membaca beritanya. Betul, mahasiswa yang dirampok itu mahasiswa saya. Tapi, saya sudah lama tidak bertemu dengannya. Beberapa minggu lalu, dia izin kepada saya untuk balik ke Indonesia buat riset di sana. Saya tidak tahu jika dia sudah kembali ke sini. OK, saya bersedia memberikan keterangan jika diperlukan. Kasihan mahasiswa itu,” kata Prof. Otto.
Sebuah pesan lewat SMS masuk, dibacanya pesan itu, “Sudah ditransfer via bank sebanyak 15 juta euro, harap siapkan barangnya.“ Prof. Otto tersenyum sangat puas.
Ia pun mematikan handphone-nya dengan sekali pencet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H