Istilah kalimat baku muncul seiring dengan mulai diperkenalkannya jargon "berbahasa Indonesia yang baik dan benar". Jargon itu sudah cukup membuat banyak orang gemetar sehingga memaksanya menanggalkan niatnya untuk bergelut dengan dunia tulis-menulis. Namun, ada juga yang justru melakukan penentangannya, seperti Gerakan Menulis Unkonvesionil yang  digagas mantan tokoh LSM, Martin Siregar, sebab dianggapnya sebagai penghambat potensi seseorang untuk menulis. Kata mereka, "Jika punya niat hendak menulis, ya, tinggal menulis saja jangan pikirkan soal ejaan dan kebakuan." Saya sering bersetuju dengan pendapat itu, tapi saya juga sering berseberangan sebab saya sering temukan justru ketidaksukaan terhadap jargon itu biasanya didasarkan atas pemahaman yang kurang tepat terhadap arti bahasa yang baik dan bahasa yang benar (kata Indonesianya sengaja saya hilangkan).
Baiklah, kita lupakan itu dahulu. Selanjutnya, saya akan mencoba mengupas kalimat baku.
Pertama, kalimat baku berbeda dengan kata baku. Namun, pada kalimat baku harus diisi oleh kata-kata baku. Untuk mengetahui kebakuan sebuah kata, kita memerlukan bantuan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Pusat Bahasa. Sesekali cobalah berseluncur dalam kamus, kita akan tercengang bahwa kata yang selama ini kita anggap benar sering di KBBI dianggap tidak baku, atau juga sebaliknya. Kata contek ternyata tidak baku, yang bakunya adalah sontek sehingga jika diberi awalan me-, bukan mencontek, melainkan menyontek. Â Demikian juga dengan kata stop ternyata bentuk bakunya adalah setop.
Kedua, kemampuan menulis kalimat baku adalah sebuah keterampilan tertinggi dalam menulis (kalimat) yang di dalamnya memadukan pengetahuan tentang struktur kalimat, bentukan kata, makna kata, dan ejaan. Sebetulnya, di kalangan akademik, berdasarkan pada buku yang diterbitkan, dikenal juga istilah kalimat efektif. Saya pribadi menganggap istilah kalimat efektif lebih tepat dibandingkan dengan kalimat baku mengingat belum ada kajian secara khusus tentang kalimat baku.
Kalimat baku tidak berarti kalimat itu harus panjang. Sebuah kalimat pendek pun bisa disebut kalimat baku jika memenuhi kriteria. Kalimat di bawah ini
(1) Kakak pergi.
Kalimat (1) di atas sangat pendek, tetapi sangat baku.
(2) Dari data yang ada menunjukkan bahwa kenaikan BBM itu cukup memberatkan rakyat kecil.
Kalimat (2) di atas cukup panjang, tetapi tidak baku disebabkan kalimat tersebut tidak memiliki subjek. Bagian Dari data yang ada bukan subjek, tetapi keterangan.
Jadi, panjang atau pendek sebuah kalimat bukan ukuran menentukan kebakuannya.
Ketiga, dalam menulis fiksi, terutama pada bagian dialog, sangatlah sulit mempertahankan kebakuan kalimat. Dialog sering tampil dalam bentuk kalimat minor atau kalimat elips, yaitu kalimat-kalimat pendek yang bisa saja terdiri atas sebuah kata sehingga tidak hadir subjek-predikatnya.