Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menelisik Sebuah Puisi

27 November 2012   03:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:37 5810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu puisi?

Pernahkah Anda mencoba mendefinisikan puisi? Apa yang Anda coba sampaikan ketika mendefinisikan puisi? Mungkin kita seperti anak-anak sekolah ketika ditanya oleh gurunya. Mencari-cari dulu definisi yang ada pada buku-buku pelajaran tentang sastra. Atau, mungkin browsing di internet. Padahal, anehnya, mungkin kita pernah membuat puisi. Bisa jadi, puisi yang kita buat bukan hanya satu buah, tetapi belasan puluhan, ratusan, atau ribuan. Namun, alangkah sulitnya membuat definisi apa itu puisi. Entahlah, mungkin kita semua, anak-anak Indonesia, adalah hasil dari pendidikan yang lebih mengedepankan text-book. Guru kita akan menyalahkan jawaban kita jika tidak sesuai dengan buku teks atau apa yang diajarkannya. Produk dari model pendidikan yang tidak demokratis yang melarang murid berbeda pendapat dengan gurunya. Semoga saja kondisinya berbeda dengan sekarang.

Mendefinisikan sesuatu mulailah dengan hal-hal yang bisa diobservasi (observable). Hal-hal yang bisa dicerap oleh indra kita. Dalam kasus puisi, misalnya, apa yang observable? Pertama, topografinya atau cara penulisan larik-larik puisi. Hampir semua puisi ditulis dengan larik-larik yang tidak mencapai ujung margin kanan kertas. Kedua, larik-larik yang ditulis selalu diletakkan pada baris baru, bukan mengikuti larik sebelumnya sebagaimana kalimat-kalimat yang bersambungan di dalam sebuah paragraf. Ketiga, cara membaca puisi adalah khas. Ketika kita membaca bahwa teks yang pegang itu sebuah puisi, maka secara otomatis kita akan membacanya berbeda dengan membaca teks biasa atau membaca sebuah lagu. Ada kekhasan dalam pembacaan puisi jika dibaca dengan suara nyaring.

Syair sebuah lagu mirip dengan sebuah puisi dalam hal penulisannya atau dalam hal topografinya. Tapi, secara otomatis saja, kita bisa membedakan bagaimana membaca sebuah puisi dan membaca (menyanyikan) syair lagu. Harus diakui perbedaan puisi dengan syair sebuah lagu tidak ada bedanya. Hanya beda dalam memperlakukan pembacaannya itu. Dalam kasus lagu rap, misalnya, Adam Bradley berkata, “Every rap song is a poem waiting to be performed.”[1] Dari pernyataan itu, secara tersirat, kita bisa melihat syair atau lirik sebuah lagu adalah puisi, tapi ketika syair atau lirik itu dipentaskan atau ditampilkan maka sudah tidak tampak lagi ke-puisi-annya, yang ada adalah sebuah lagu seutuhnya.

Apakah puisi harus berisi kata-kata yang indah? Setahu saya, seharusnya puisi yang kita buat disusun dengan kata-kata indah, tapi itu tidak mutlak. Dengan kata-kata biasa pun, akan jadi sebuah puisi. Cuma memang, puisi identik dengan kata-kata indah. Menurut saya, pengertian kata indah itu sendiri relatif. Kata indah merupakan kata sifat (adjektiva) dan setiap kata berkelas adjektiva adalah kata yang ditakdirkan menanggung kerelatifan dan kesubjektifan.Tahun 1970-an, Remi Sildo mengusung puisi-puisi mbeling. Puisi-puisi yang memaka kata-kata biasa, bahkan sangat biasa. Puisi mbeling sebagai bentuk proses atas kemampanan yang ditawarkan dalam penulisan puisi. Di bawah ini puisi mbeling karya Remi Silado

Di Blok Apa?[2]

Kalau

Chairil Anwar

binatang jalan

Di blok apa

tempatnya

di Ragunan?

Memang harus diakui, kemampuan kita menyusun kata, lantas menciptakan idiom, ungkapan, kiasan yang baru yang orisinal dan individual sebagai tuntutan dalam penulisan puisi yang bermutu. Kita harus ingat bahwa bahan dasar sebuah puisi adalah kata. Sebuah kata memiliki dua unsur, yaitu bunyi dan makna. Kita harus mampu memanfaatkan kedua unsur itu dengan baik. Bunyi (kata) dapat kita manfaatkan untuk menciptakan rima atau persajakan yang akan membuat puisi kita indah terdengar. Sebaliknya, makna (kata) dapat kita manfaatkan untuk menyampaikan pesan, ekspresi, emosi, perasaan, pesan yang kita rasakan kepada pembaca dengan cara yang tidak biasa kita sampaikan atau berbeda dengan cara kita berbicara sehari-hari. Ya, kata-kata itu kita susun sehingga terciptakan ungkapan, kiasan, idiom, perkataan, atau apalah namanya yang sangat orisinal dan indvidual. Begitulah, tuntutannya.

Pun saya mendapatkan pengertian puisi dari buku-buku sekolahan. Apa katanya puisi itu? Kata buku-buku itu, puisi adalah karangan terikat. Pengertian itu sebagai kebalikan dari pengertian prosa, yaitu karangan bebas. Kalau begitu, berarti ada yang mengikat puisi? Apa pengikat puisi? Yang mengikat sebuah puisi adalah syarat-syarat atau ciri-ciri puisi tersebut. Puisi lama (seperti pantun, syair, gurindam, dan karmina) dan puisi baru (seperti distikon dan soneta) diikat oleh bentuk, sedangkan puisi modern diikatoleh isinya.

Ambillah pantun sebagai contoh. Pantun memiliki ciri-ciri, yaitu (1) ada empat larik atau baris pada setiap bait, (2) setiap larik atau baris terdiri atas 8-12 suku kata atau silabe, (3) dua baris pertama berupa sampiran, sedangkan dua baris terakhir merupakan isinya, dan (4) rimanya atau persajakan dikenal dengan rumus a-b-a-b atau rima selang. Berdasarkan ciri-ciri itu, jika akan menulis pantun, maka ciri-ciri itu menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Kita akan ditertawakan jika, misalnya, menulis pantundengan jumlah larik atau baris kurang dari empat buah.

Lantas, pada tahun 1940-an Chairil Anwar mengebrak dengan melakukan “revolusi” terhadap penulisan puisi. Baginya, pada puisi yang penting adalah isinya, apa yang hendak disampaikan oleh penyair. Chairil Anwar mulai meninggalkan aturan yang mengikat puisi. Dan, ternyata apa yang dilakukan Chairil Anwar mendapat tentangan atau perlawanan dari kaum tua, khususnya mereka yang dilabeli sebagai sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Namun, di kalangan muda, Chairil Anwar mendapat sokongan penuh. Sejak itulah, menurut saya, lahirlah bentuk puisi yang dikenal sebagai puisi modern Indonesia. Atas jasanya tersebut, Chairil Anwar dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45.

Jadi, puisi itu apa?

Apakah penjelasan saya di atas sudah membuka pencerahan pada Anda tentang apa itu puisi? Ataukah semakin membuat Anda bingung? Tak apalah, pemahaman kita tentang sesuatu hal tidak mungkin instant perlu waktu untuk bergelut dengan hal itu. Baru setelah itu, kita akan memahaminya secara paripurna.

Larik dan Bait

Pada bagian ini kita bersama-sama akan mempreteli puisi, membagi-bagi puisi sehingga kita tahu satuan-satuan yang terdapat pada puisi dari yang terkecil hingga yang terbesar. Saya memakai kata satuan, sengaja meminjamistilah dalam sains. Dalam ilmu sains, kita mengenal ada satuan panjang (milimeter, centimeter, desimeter, meter, dan seterusnya) dan satuan berat (miligram,centigram, desigram, gram, dan seterusnya). Untuk teks atau bacaan (nonpuisi) pun terdapat satuan-satuannya. Bersandar pada lingusitik (ilmu bahasa), satuan pada teks (karangan) yang nonpuisi itu jika diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil adalah wacana, paragraf, kalimat, klausa, frasa, kata, morfem, dan fonem. Maksudnya? Sebuah wacana tersusun atas paragraf-paragraf, sebuah paragraf tersusun atas kalimat-kalimat, sebuah kalimat tersusun atas klausa-klausa, sebuah frasa tersusun atas kata-kata, dan selanjutnya. Namun, secara awam kita bisa pula menyebut satuan pada teks nonpuisi itu adalah bacaan, paragraf, kalimat, kata, suku kata, dan huruf. Kalau direduksi lagi, hasilnya akan menjadi bacaan, paragraf, kalimat, dan kata. Atau, Anda punya pendapat lain?

Lalu, bagaimana dengan (teks) puisi?

Menurut saya, satuan-satuan pada puisi itu meliputi puisi, bait, larik, dan kata. Jadi, puisi sebagai satuan terbesar dan kata sebagai satuan terkecilnya. Saya berhenti pada kata sebagai satuan paling kecil. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan suku kata? Ketika berbicara puisi modern, maka menurut saya, kita berhenti pada kata sebab pada puisi modern, suku kata bukan lagi sebagai persyaratan dalam membuat atau menulis puisi. Berbeda dengan puisi lama, seperti pantun, suku kata sangat diperhitungkan.

Pada bab terdahulu, saya menegaskan bahwa kata adalah bahan dasar puisi. Sebenarnya, penegasan saya itu adalah penegasan kembali atas pernyataan A. Teeuw dalam bukunya Tergantung pada Katayang mengulas sajak-sajak hasil karya para penyair terkemuka Indonesia[3]. Kata-kata yang kita susun dalam satu baris penulisan dalam sebuah puisi disebut dengan larik. Larik berbeda dengan kalimat. Istilah kalimat dipakai dalam teks yang non-puisi.

Apa perbedaan larik dan kalimat?

Mari kita mulai dengan membahas dulu apa yang dimaksud dengan kalimat. Kalimat adalah sebuah satuan bahasa yang penulisannya diawali dengan huruf kapital, terdiri atas kata-kata yang secara informatif telah lengkap (memiliki subjek-predikat), dan berintonasi final. Intonasi final dalam tulisan dilambangkan dengan tanda baca titik (.), tanda seru (!), dan tanda tanya (?). Ciri-ciri kalimat seperti itulah yang kita lihat ketika kita membaca teks-teks di surat kabar, majalah, jurnal, novel, dan lain-lain. Dalam penulisan kalimat, kita tunduk pada kaidah-kaidah kebahasaan, terutama sekali pada kaidah di dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan alias Ejaan yang Disempurnakan (EYD), setelah itu kaidah struktur dan kaidah semantis.

Contoh kalimat: Mereka datang ke tempat itu saat pesta sudah usai.

Larik, saya ingin menekankan, berbeda dengan kalimat meskipun sama-sama terdiri atas kata-kata. Larik tak mesti diawali huruf kapital. Larik tak mesti berinformasi lengkap (memiliki subjek-predikat). Larik tak mesti diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, dan tanda tanya. Semua aturan atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam penulisan kalimat dapat dilanggar saat kita menulis sebuah larik dalam puisi. Pelanggaran terhadap aturan atau kaidah kebahasaan yang berlaku merupakan hak penyair, yang dikenal dengan sebutan licencia poetica.

Sebuah kalimat tidak bisa dipenggal-penggal dan penggalannya diletakkan pada baris baru. Itu tidak mungkin. Sebaliknya, larik bisa dipenggal di bagian mana saja semau kita dan penggalannya diletakkan di baris baru. Ketika kita meletakkan penggalan itu di baris baru, maka secara otomatis ia akan menjadi sebuah larik baru.

Contoh di bawah ini diambil dari puisi berjudul “Cocktail Party” karya Toeti Herati.

taufan? ah, siapa

yang masih peduli

tertawa kecil, menggigit jari adalah

Tentu saja, kita boleh menggunakan huruf kapital (atau huruf miring) dan menggunakan tanda baca (ada lima belas tanda baca di dalam EYD) atau simbol-simbollainnya saat menulis puisi. Namun, saya sarankan pemakaian huruf kapital, huruf miring, tanda baca, atau simbol dalam kesadaran bahwa pemakaian itu disengaja dalam kerangka membentuk makna keselurahan puisi. Ada makna yang hendak kita sampaikan ketika kita mengkapitalkan sebuah kata. Ada makna yang hendak kita sampaikan ketika kita meletakkan tanda titik, koma, dan seterusnya. Jadi, pembentukan makna adalah kesadaran yang mendasari penulisan huruf, penggunaan tanda baca, bahkan model topografi yang disajikan.

Kalimat-kalimat yang kita susun akan menghasilkan paragraf. Kalimat-kalimat itu ditulis bersambungan. Tidak ada kalimat yang ditulis dalam baris baru pada sebuah paragraf. Kalau ada kalimat yang ditulis pada sebuah baris baru, maka itu penanda paragraf baru. Kalimat-kalimat itu beruntaian dibantu dengan penggunaan kata hubung, kata ganti, atau bentuk lainnya supaya menjadi paragraf yang padu atau paraggraf yang berkoherensi. Dalam sebbuah paragraf hanya boleh ada satu gagasan pokok. Kalau lebih dari satu, seharusnya dijadikan dua paragraf.

Dalam puisi, sekumpulan larik akan membentuk bait. Penanda bait satu dengan bait lainnya adalah jarak spasi. Ini berbeda dengan paragraf. Sebuah paragraf yang satu dengan paragraf yang lain bisa ditandai dengan jarak spasi yang lebih jauh atau kalimat pertamanya ditulis dengan agak menjorok ke dalam baris. Larik-larik itu tidak mesti bersambungan langsung. Larik baru selalu terletak pada satu baris baru. Larik-larik itu tidak diuntai dengan alat penyambung, seperti kata hubung. Larik-larik itu punya kaitan dalam satu proses pembentukan makna puisi. Menuliskan bait terserah kita.Tidak mesti tertata rapi dari margin kiri sampai margin kanan. Ya, bebas. Bahkan, bentuk penulisan bait itu (topografi) bisa jadi menimbulkan tafsiran makna.

Coba perhatikan sebuah paragraf di bawah ini.

Membaca novelet dan cerpen Umar Kayam yang berjudul Sri Sumarah dan Bawuk(1975), kita dapat merasakan adanya refleksi kehidupan di dalamnya. Kedua cerita rekaan yang disuguhkanKayam itu bukan sekadar ragkaian kata demi kata yang tak bermakna, tetapi berbicara tentang kehidupan, yakni masalah manusia dan kemanusiaan dalam tata ekosistem budaya di tengah-tengah masyarakat tertentu.[4]

Coba perhatikan bait sebuah puisi di bawah ini.

mengapa kita masih juga bercakap

hari hampir gelap

menyekap beribu kata di antara karangan bunga

di ruang semakin maya, dunia purnama

(Puisi berjudul “Saat Sebelum Berangkat” karya Sapardi Djoko Damono)

Sudahkah Anda melihat perbedaan antara paragraf dan bait sebagaimana kedua contoh di atas?

[1] Adam Bradley, Book of Rhymes: The Poetics of Hiphop (New York: Basic Civitas, 2009), p. ix

[2] books.google.co.id/books?id=dmf6VIkZ978C&pg=PA3&hl=id&source=gbs_toc_r&cad=4#v=onepage&q&f=false, dilihat tanggal 24 November 2012

[3] A. Teeuw, Tergatung pada Kata (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983)

[4] Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), p. 40

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun