Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dua Sastrawan Perempuan Telah Lahir di Kompasiana!

19 Juni 2012   08:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13401012131721610175

[caption id="attachment_195780" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Kampret (Tri Lokon)"][/caption] Masih ingat perdebatan kita tentang sastra instant di Kompasiana beberapa waktu lalu? Ya, perdebatan yang dipicu oleh kegundahan Hilda Rumambi, penggiat sastra di Palu, terhadap kualitas tulisan fiksi yang muncul di kanal fiksiana. Tulisan-tulisan yang berlabel fiksi, baik prosa maupun puisi, jauh dari kualitas sebagai sebuah karya sastra sebab dihasilkan tidak melalui proses perenungan mendalam, tetapi lahir secara instant disebutlah dengan istilah sastra instant (mengacu kepada istilah yang dikenalkan Joko Pinurbo), demikian Hilda berargumentasi. Saya pun merespons tulisan itu. Dengan sudut pandang yang optimis, saya percaya bahwa Kompasiana akan menghasilkan penulis-penulis hebat jika betul-betul memanfaatkan Kompasiana sebagai ruang untuk berlatih dan belajar. Saya percaya itu. Di Kompasiana ada banyak orang-orang pintar yang senang berbagi. Pandai-pandailah kita "memuntung" ilmu yang ada di Kompasiana. (Istilah memuntung, saya pinjam dari Romo Mangun dalam tulisan Puntung-Puntung Rara Mendut, memuntung asalnya bermakna 'memungut puntung rokok', tapi saya maknai lain 'mengambil atau memungut pendapat-pendapat yang dilempar di internet). Sejak awal saya sering menemukan teman-teman yang memiliki potensi untuk menjadi sastrawan. Ada banyak teman-teman yang kemampuan menulisnya sudah matang, tetapi tidak memiliki keberanian untuk mencoba menerbitkan tulisannya menjadi buku atau menawarkan kepada surat kabar cetak. Harus kita akui bahwa  tulisan kita yang berbentuk cetakan (baik berupa buku maupun dimuat di koran cetak) tampaknya lebih berharga dibandingkan yang diterbitkan di dunia maya. Kita lebih bangga dan puas jika berhasil menembus koran atau surat kabar atau majalah yang terbit, bukan begitu? Pun, jia karya kita itu bisa menjadi buku. Baru-baru ini saya  mengintensifkan pembacaan saya terhadap karya-karya yang muncul di Kompasiana. Fokus saya pada cerpen dan puisi. Pada satu kesempatan saya terkejut sebab saya membaca karya-karya, menurut penilaian saya, yang mutunya sudah sangat bagus. Betul memang ada banyak karya dan pengarang yang saya baca, dan ada banyak pula pengarang yang karyanya bagus dan luar biasa. Tapi, ada dua penulis yang sangat menonjol dan layak digelari sebagai sastrawan! Jujur, saya berdecak kagum pada karya mereka. Kedua penulis yang saya maksud adalah Leil Fataya dan Erna Suminar. Karya Leil fataya yang pertama kali saya baca adalah "Pelayan Bungkuk di Kedai Ali Baba". Itu sebuah cerpen. Admin Kompasiana menjadikannya HL (soal HL ini saya tidak ambil pusing, itu hak admin sebab ada banyak tulisan yang layak HL tetapi tidak dilirik oleh Admin sebab admin punya kriteria yang sifatnya tidak merujuk kepada kesastraan). Jelas, satu cerpen tidak cukup bagi saya untuk mengatakannya Leil layak disebut sastrawan. Saya meluncur ke akunnya. menikmati beberapa cerpennya. Luar biasa! cerpen-cerpen inspiratif! Sekali lagi, cerpen inspiratif! Sebuah genre baru bagi cerpen (mungkin). Ini, ini yang terpenting bagi saya. Menurut saya, Leil telah membuat cerpen sebagai sebuah cerita yang dapat menginspirasi banyak orang.  Gaya dan cerita yang disajikannya sangat khas. Tapi, Leil tidak luput dari kekurangan juga. Ada satu, cerpennya, menurut saya, belum dapat disebut sebagai cerpen, sebab tidak ada plot di sana, yaitu cerpen "Zat Dasar Hati: Philo dalam Perenungan". Sebagai sebuah tulisan, iya, sangat inspiratif. Sayangnya tak ada cerita. Kemudian, saya berkenalan dengan puisi-puisi Erna Suminar atau Erna Gunawan. Saya suka dengan kata-kata yang diuntainya. Kata-kata yang khas rasa seorang perempuan. Mungkin bukan sesuatu yang baru, gaya penulisan puisi Erna ditampilkan dalam bentuk kalimat-kalimat panjang, dengan topografi mirip sebuah tulisan prosa. Yang menyebabkan kita mengenali ini puisi, menurut saya, dua hal: (1) pengakuan penulisnya sendiri, terbukti dia meletakkan pada rubrik puisi; (2) kata, kata-kata yang dipakai Erna bukanlah kata-kata biasa yang terjadi dalam pengucapan sehari-hari. Tapi, kata-kata yang telah dimetamorfosis menjadi kata-kata dengan daya pikat yang tinggi. Itu khas puisi! Gaya topografi yang mirip prosa dan  kata-kata diuntau berbentuk kalimat mungkin mengingatkan kita kepada Khalil Gibran. Saya tidak tahu seberapa besar pengaruh Gibran kepada Erna. Satu lagi, pada puisinya yang terakhir ada sebuah kata yang aneh bagi saya, yaitu bidadara! Meskipun bukan sesuatu yang sangat asing, tetapi bentukan kata itu tidak berterima dalam bahsa Indonesia. Apakah akan saya salahkan? Tidak, itulah licencia poetica. Pada akhirnya, saya—tentu teman-teman Kompasianer lain—akan menunggu sejauh proses ke-sastrawan-an Leil fataya dan Erna Suminar berkembang. Untuk jadi sastrawan, butuh waktu yang panjang dan menghasilkan karya yang luar biasa, baik dari kualitas maupun dari kuantitas. Jelas, saya menunggu karya mereka, tidak sekadar di Kompasiana, tetapi juga di koran, majalah, dan terbit lewat buku!

Tambun Selatan, 19 Juni 2012

Salam,

Kang Insan

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun