Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan, Lantas Apa? (ctt ke-4)

3 November 2011   06:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:06 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas sebenarnya gabungan dua puisi, yaitu “Puisi Cinta Bertepuk Sebelah Tangan” karya  Randu Kawindra dan Uli Elysabeth Pardede, dan puisi “Lantas Apa?” karya Neny Silvana dan Bung Opik.  Pada kesempatan ini, kedua puisi tersebut saya coba untuk mengulasnya.

“Puisi Cinta Bertepuk Sebelah Tangan”, ya, temanya dan isinya sudah terjawab oleh judul itu. Tapi, pada puisi ini jutru ada paradoks? Kalau biasaanya, orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan, merasa kecewa atau sedih, justru aku lirik pada puisi ini / aku senang//aku bahagia/. Serunya, justru itu diparadokkan lagi pada bait 2 dan bait 3, yang katanya / aku luka//aku berduka//sebab aku binasa//; /aku mencinta//aku lara.  Jadi? Bait 2 dan 3 mesti dipahami sebagai sikap awal si aku lirik saat tahu cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi, setelah itu, aku lirik gembira saja menikmati kesemuan cintanya, mengkhayalkan / dekapmu ku rasa//ciummu kunikmati//, meskipun  aku lirik/ terhanyut dalam rasa//terhanyut dalam sandiwara//.

Luar biasanya lagi, aku lirik menertawakan kebertepuksebelahtanganannya / haha//cintaku kusam//tak berseri. Nada ringan, enteng, tanpa beban sangat terasa. No, problem bertepuk sebelah tangan! Sekali-kali aku lirik masih saja mengharapkan Yang dicintainya itu mengatakan cinta padanya/ Katakanlah cinta//Sebelum hatiku makin retak//Uh, namun kau tak tahu!//. Larik /uh, namun kau tak tahu// enteng-enteng saja diucapkan meskipun sedikit gemas diucapkannya.

Saya agak tercengan dengan larik-larik ini /namun ia rancu//seperti tergilas gincu//rindu kelu//dibias debu. Apa maknanya? Siapakah “ia”? Sang Kekasih yang dicintai tapi tidak mencintainya itu? Ataukah, angan-angan atau khayal bermesraandengan sang kekasih itu? Coba juga simak idiom /seperti tergilas gincu/, gincu itu ‘kan pewarna bibir, lipstick? Apa rasanya tergilas gincu? Bibirkah yang tergilas gincu? Bukankah emang gincu menggilas bibir, tidak sakit, bukan?  Nah, pemaknaan saya pada larik-larik itu adalah bahwa aku lirik merasakan khayalan bermesraandengan sang kekasih itu campur aduk dengan perasaan lain, sehingga itu bukan sesuatu yangmenyakitkan ya seperti mengoleskan gincu ke bibir saja, tpi tetap saja itu membuat rindu yang luar biasa, kalau dibiaskan (dibelokkan) ke arah lain, dirinya akan menjadi debu.

“Lantas Apa?” pun berbicarakan tentang perasaan terhadap seseorang. Kalau dalam “Puisi Cinta Bertepuk Sebelah Tangan”, aku lirik tidak mempertanyakan kenapa ia merasakan rasa cinta itu dan aku pun tahu cintanya bertepuk sebelah tangan; tetapi pada puisi kedua ini, aku lirik justru kebingungan mengapa ada rasa itu, bahkan si aku pun kebingungan apakah rasa itu sebuah cinta? Jika ia sendiri ragu-ragu dengan perasaan itu, artinya perasaan itu hanya ada pada aku, sedangkan pada orang yang menggetarkan rasa itu, kita tidak tahu informasi apa-apa.

Menurut saya, larik 1-7 dapatlah dianggap sebagai satu bait, bait ke-1; 8-14 juga satu bait, bait ke-2; 15-23 satu bait, bait ke-3; 24-25 satu bait, bait ke-4.  Larik 1-14 adalah alasan-alasan yang diungkapkan oleh aku lirik, tentang kebingungannya terhadap suatu keadaan yang dirasakannya. Alasan-alasan yang mengukuhkan kita untuk menganggap bahwa aku lirik sendiri tidak memahami perasaannya sendiri. Perhatikan saja bentuk negasi /bukan/, lalu ditegaskan sendiri oleh aku dengan bentuk negasi /tidak/.; /Bukan terjerat …//Karena dia tidak pasang perangkap…//. Jadi, menyangkal sekaligus melakukan pembelaan.

Isi puisi sebenarnya ada pada  larik 15-25, gambaran perasaan aku lirik pada seseorang, ada rindu, ada debaran jantung, ada risau,  ada gelisah. Ramai sekali perasaan si aku itu, bukan? Ketika ia bertanya / Sungguhkah ini cinta?// Entah si aku bertanya pada siapa, tetapi ketika ia bertanya pada dirinya sendiri ia merasakan /Hati ini bahkan tidak bicara…//. Nada puisi ini pun ringan, tidak berat, tidak perlu mengerinyitkan dahi, tapi punya cita rasa romantis yang sangat manis.

Hal lain yang unik, kalau tidak dikatakan menarik, adalah kedua puisi ini menggunakan tanda baca atau character lain pada baitnya. Di puisi “Puisi Cinta…” ada tanda (,) yang berada di awal dan sendirian di sebuah larik,  character (***) mungkin sebagai penanda akhir bait, (…) di beberapa larik, sedangkan di puisi “Lantas Apa?” ada dua tanda baca yang dominan, yaitu elipsis (…) dan tanda tanya (?); dalam EYD, tanda elipsis (…) salah satunya dipakai untuk menyatakan pernyataan yang terputus-putus—secara implisit orang yang berbicara terputus-putus biasanya menandakan adanya keraguan-- . Tanda tanya (?) yang dominan dalam puisi itu berefek pada tafsiran adanya pertanyaan pada diri si aku lirik.

Wallahu’alam.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun