(1)
Ada hal yang menarik dan sangat surprised aku temukan saat aku studi kesusastraan di Universitas Leiden. Saat aku membongkar-bongkar karya sastra tahun 1900-an di perpustakaan universitas itu, aku menemukan sebuah roman lama karya pengarang China, Lie Bien Chie berjudul Sitti Noeroel Bajah Jujur, saat pertama membaca judul roman itu, aku langsung teringat roman terkenal di Indonesia pada tahun 1920-an yang dianggap sebagai roman paling populer sepanjang massa. Ya, roman Sitti Noerbaja karya Marah Roesli. Kalau Sitti Noerbaya memiliki subjudul “Kasih Tak Sampai”, maka roman Sitti Noeroel Bajah bersubjudul “Cinta Dibawa Mati”. Roman itu diterbitkan pada tahun 1901 di Batavia oleh CV Kamadjoean Bersama.
Koran-koran saat itu yang memiliki lembar kesusastraan tak satu pun yang mengulas roman tersebut. Menurutku, hal itu wajar saja sebab kebanyakan karya sastra dari pengarang peranakan Tionghoa tidak dianggap sebagai karya sastra bermutu. Bahasanya yang menggunakan bahasa Melayu pasaran mungkin salah satu penyebabnya. Padahal, dari sisi cerita, para pengarang Tionghoa itu sudah mampu menyajikan persoalan-persoalan yang nyata dalam masyarakat yang disajikan secara menarik lewat alur yang berbelit dan menakjubkan. Ya, kurang lebih begituah penilaianku.
Satu hari setelah penemuan roman itu, aku menelepon temanku yang dikenal sebagai kritikus sastra. Setelah lama berbincang, akhirnya aku meminta kesimpulannya.
“Jadi, apa pendapatmu?”tanyaku.
“Mungkin saja, Marah Roesli terpengaruh oleh roman itu Tapi, ingat terpengaruh sama sekali berbeda dengan plagiat,” jawab temanku dengan mantapnya.
“Pendapatmu mirip dengan pembelaan H.B. Jassin atas tuduhan plagiat Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck oleh Hamka. He-he-he,” kataku diiringi tawa.
Aku dengar temanku pun tertawa di sana.
“Baiklah, aku akan mulai menyelidiki roman ini, Teman. Sampai ketemu lagi nanti di Indonesia,” aku mengakhiri pembicaraan.
Aku mulai tergoda untuk membaca dan meneliti roman ini dengan serius. Setiap halaman roman ini aku perhatikan dengan serius. Mulai dari kata pengantar, daftar isi, hingga halaman terakhir aku peloti ibarat memakai mikroskop.
Dalam kata pengantarnya, Lie Bien Chie mengatakan bahwa cerita pada novel itu berdasarkan kisah nyata meskipun nama tokoh dan tempat, katanya, disamarkan. Aku curiga roman ini sebenarnya merupakan kisah Lie Bien Chie pribadi. Keyakinanku berdasarkan tokoh utama yang menjadi kekasih Sitti Noeroel Bajah, yaitu Tan Cie Bok seorang peranakan Tionghoa. Tan Cie Bok adalah Lie Bien Chie sendiri! Tapi, ini baru asumsi saja, perlu suatu penyelidikan yang lebih seksama. Dengan melihat tahun terbit 1901, aku punya pendapat bahwa roman ini lebih maju dibanding roman lain pada zamannya. Tema roman ini adalah tentang percintaan atau perkawinan campuran antarbangsa. Tema itu baru digarap oleh Abdoel Moeis dua puluh tahun kemudian dengan romannya Salah Asuhan, lewat tokoh Hanafi dan Cory.
Tokoh utama roman itu, Cie Bok, ternyata pernah bekerja di sebuah klenteng di Jakarta. Nama dan alamat klenteng itu dituliskan secara jelas di roman itu. Tertarik dengan itu, aku mencoba searching di internet. Dan, ternyata aku menemukannya! Ada banyak data berkaitan dengan klenteng itu. Termasuk sejarah dan pengurusnya yang sekarang. Menurut informasi internet itu, Tan Cie Bok adalah pengurus klenteng pada tahun 1905-1917.
Siapa sebenarnya yang nyata Lie Bien Chie ataukah Tan Cie Bok?
(2)
Pukul 10.15 aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Aku minta sopir taksi untuk mengantarku ke sebuah klenteng di bilangan Jakarta. Klenteng yang disebut di dalam roman Sitti Noeroel Bajah. Beberapa kali sopir taksi mengajakku mengobrol, tapi aku kurang selera untuk berbicara hingga akhirnya sopir itu terdiam. Justru itu bagus bukan? Dia jadi konsentrasi menyopir daripada mengajakku mengobrol. Pikiranku terus-menerus mencoba mencari kata-kata yang tepat ketika aku bertemu dengan pengurus klenteng itu yang sekarang.
Jakarta yang macet membuatku kesal. Perjalanan jadi terasa kian lama. Beberapa kali aku menarik napas panjang, membuang kekesalanku. Siapa yang bisa membebaskan Jakarta dari kemacetan? Dia-lah yang layak menjadi Presiden negeri ini. Tiba-tiba sebuah pikiran berkelebat seperti itu.
Sesampainya di depan klenteng itu, aku segera turun dari taksi. Tidak lupa aku ucapkan terima kasih kepada sopir taksi yang tersenyum sebab aku menolak uang kembalian ongkos taksiku.
Di depan gerbang klenteng itu, tiba-tiba hatiku berdebar-debar. Aku ingat dulu aku pernah jatuh cinta pada gadis Cina yang sering aku temui di depan sebuah Klenteng. Dan, pada satu hari dengan malu-malu aku berikan kepadanya surat cintaku yang juga berisi puisi-puisi cintaku padanya. Dia terkejut aku memberinya surat, tapi dia tersenyum menerimanya. Tak ada suara di antara kami saat itu. Setiap hari aku menunggu respons gadis itu dengan debaran jantung yang tak karuan. Ketika aku bertemu kembali dengannya di depan klenteng tersebut, ia berkata, “Terima kasih, ya. Puisimu sangat indah.” Ditinggalnya aku dengan perasaan gembira, sekaligus bingung. Apakah dia menerima cintaku? Itu kebingunganku. Aku menungunya di depan klenteng itu kalau nanti dia keluar aku mau bertanya apakah cintaku diterimanya atau tidak. Tapi, aku terkejut ketika tak lama kemudian ada ambulance masuk ke halaman klenteng itu dan ada ramai-ramai di dalam klenteng. Saat mobil ambulance keluar, aku masih tak mengerti mengapa ada ambulance dan ada kejadian apa di dalam sana. Aku tetap menunggu gadis itu. Aku ingat setelah lama sekali menunggu, ada beberapa bapak yang keluar dari klenteng dan aku dengar perbincangan, “Sayang sekali, ya, masih muda sekali Lena harus meninggal. Jantungnya lemah. Padahal gadis itu rajin beribadah dan gadis yang baik.” Jadi, ambulance tadi membaca gadis yang aku cintaiku yang aku tunggu jawabannya? Ah, tidak! Bukan dia yang meninggal! Aku tak percayai percakapan bapak-bapak itu. Namun, setelah kejadian itu, aku tak pernah bertemu gadis itu lagi!
“Ada perlu apa, ya Mas?” seseorang menyapaku. Sapaan itu mengangetkanku. Seorang pemuda rupanya dari tadi memperhatikanku.
“Oh ya, Maaf. Saya ingin bertemu pengurus klenteng ini,” kataku.
“Mas, siapa ya?” tanyanya lagi.
“Saya seorang mahasiswa yang sedang meneliti tentang klenteng. Boleh saya bertemu dengan pengurus klenteng ini?”
“Oh, begitu. Silakan masuk saja, Mas. Di dalam ada ketua yayasan. Mas, boleh bertanya kepadanya tentang klenteng ini,” jawab pemuda itu ramah. Pemuda itu seumuran denganku tampaknya.
“Baik, terima kasih,” aku mengangguk dan tersenyum padanya. Aku langkahkan kakiku masuk ke dalam klenteng.
Bau hio tercium olehku. Kakiku terus melangkah makin mendekati pintu klenteng itu. Seorang bapak tersenyum padaku. Aku melangkah menemuinya.
“Pak, saya ingin bertemu dengan pengurus klenteng ini. Siapa yang harus saya temui dan di mana ruangannya,” aku bertanya pada bapak itu.
“Adik siapa?” bapak itu balik bertanya padaku.
“Saya mahasiswa, Pak. Saya sedang meneliti tentang klenteng,” jawabku, jujur sekaligus sedikit berbohong.
“O ya? Silakan duduk. Kebetulan saya sendiri ketua yayasan yang mengurusi klenteng ini,” kata bapak itu ramah sekali. Ditariknya kursi yang satunya lagi, sebagai kerelaan untuk tamunya. Aku pun duduk di kursi tersebut berdepan-depan dengan sang bapak. Awalnya kami saling berkenalan. Nama bapak itu Hari Tanusentosa. Aku pikir nama itu adalah nama yang dipilihnya, bukan nama yang diberikan orang tuanya ketika dia lahir. Aku ingat dulu pada zaman orde baru banyak orang China berganti nama dengan nama-nama yang dianggap mengindonesia. Dan, saat itu juga aku tahu bahwa bapak itu memiliki marga Tan, sebab nama panjangnya Tanusentosa, ya sebuah nama hibrid, hasil paduan antara nama China dengan nama Indonesia.
Pak Hari sangat terkejut ketika aku menanyakan tentang buku Sitti Noeroel Bajah.
“Bukankah buku itu sudah dibakar semua?” tanyanya.
“Lho, dibakar Pak?” sekarang giliran aku yang terkejut.
“Betul, dibakar,” jawab Pak Hari.
“Siapa yang bakar,Pak?”
“Kaum peranakan Tionghoa saat itu yang menilai buku itu berbahaya. Menurut sebagian besar tetua kami, buku itu terlalu mengagung-agungkan cinta. Pilihan kematian demi cinta dianggap gagasan yang bisa memudarkan idealis para pemuda dalam belajar dan bekerja,” terang Pak Hari.
“Apakah Lie Bien Chie ataukah Tan Cie Bok yang benar-benar nyata, Pak?” aku langsung ajukan pertanyaan paling penting menurutku. Pak Hari menarik napas dalam-dalam seperti berat untuk mengatakannya.
“Yang betul adalah Lie Cie Bok dan Tan Bien Chie,” jawab Pak Hari perlahan, mungkin sangat perlahan.
Jawaban itu sangat mengejutkanku, tapi secepatnya aku bertanya, “Siapa yang nyata, Pak?”
“Keduanya nyata,” jawab Pak Hari, sekarang menatapku dalam-dalam.
Jawaban yang semakin membuatku terkejut. “Kalau Sitti Noeroel Bajah sendiri?”
“Sitti Noerol Bajah adalah Tan Bien Chie,” kata Pak Hari.
Dug! Jantungku hampir copot! Seperti lingkaran labirin.
“Maaf, Pak. Kok, saya merasa saya makin bingung,” kataku jujur pada Pak Hari.
Pak Hari tersenyum. Lalu, ia berkata, “Tan Bien Chie itu seorang laki-laki dan Lie Cie Bok pun seorang laki-laki…”
“Apaaa!?” aku terperanjat, memotong ucapan Pak Hari.
“Iya, mereka penganut paham percintaan sejenis, atau istilah sekarang homoseksual. Itu alasan paling penting kenapa buku itu dibakar habis saat itu, bukan pada ceritanya atau isi buku itu,” Pak Hari menandaskan.
“Dalam cerita itu Tan Bien Chie berpura-pura menjadi perempuan dengan nama Sitti Noeroel Bajah agar kenyataan sebenarnya tidak diketahui orang lain. Begitu ya, Pak Hari?” aku mencoba menarik kesimpulan.
“Betul. Tapi, kebenaran pada akhirnya terungkap. Ketua klenteng ini yang pertama menemukan buku catatan dan surat-surat milik Tan Bien Chie di kamarnya. Tan Bien Chie bekerja di klenteng ini dan Lie Cie Bok seoraang jamaat yang sangat rajin datang ke klenteng ini. Rupanya, kedatangan Lie Cie Bok sebenarnya untuk bertemu dengan kekasihnya Tan Bien Chie. Konon Tan Bien Chie memiliki bakat menulis yang sangat kuat. Cerpen dan puisinya sering dimuat di surat kabar kaum peranakan. Sampai akhirnya dia menerbitkan buku itu. Awalnya mereka gembira sebab buku itu mendapat sambutan luar biasa di kalangan kaum peranakan. Namun akhirnya kaum peranakan kecewa ketika tahu bahwa Tan Bien Chie memiliki penyimpangan seksual. Dan, mereka lebih marah lagi ketika tahu bahwa buku itu sebagai buku yang ingin mengabadikan cerita cintanya. Maka, satu malam sekolompok orang peranakan dipimpin ketua klenteng ini menggeledah kamar Tan Bien Chie. Ternyata saat pintu kamar didobrak, mereka menemukan Tan Bien Chie dan Lie Cie Bok sedang berdua tanpa busana dengan wajah pucat ketakutan. Malam itu menjadi malam rahasia bagi klenteng ini. Semuanya menutup mulut rapat-rapat. Dan, melakukan operasi rahasia membakar buku roman Sitti Noeroel Bajah yang ada pada siapapun baik dipinta atau dibeli, dengan harapan rahasia malam itu tak terungkap. Jadi, bagaimana Saudara bisa menemukan buku itu?”
“Pertanyaannya mungkin bukan begitu, Pak Hari. Tapi, mengapa roman itu masih ada sisanya dan sampai ke negeri Belanda?” kataku sambil tersenyum.
Pak Hari pun tersenyum.
Setelah merasa cukup mendapat informasi, aku pun berpamitan pada Pak Hari. Berkali-kali Pak Hari mengucapkan terima kasih atas kedatanganku dan menyarankan agar aku lebih mengupas isi ceritanya daripada meneliti latar belakang penulisnya. Tentu saja, untuk sementara aku mengiyakan saran Pak Hari itu.
Saat aku berjalan di halaman klenteng, aku berpapasan dengan seorang gadis yang tersenyum manis padaku. Sebuah senyum yang sepertinya sudah lama mengendap dalam pikiranku. Sejenak aku berhenti melangkah, aku menoleh ke belakang untuk melihatnya lagi. Dan, ternyata dia pun menoleh kembali melihatku. Tiba-tiba, aku tersadarkan. Satu otot sarafku menarik urat senyumku agar tersenyum lebar, lantas aku pun berkata, “Kamu….!” Ucapan yang sama pun diucapkan olehnya persis dalam satu waktu.
“Jadi, selama ini....” kataku.
“Ya, maaf aku meninggalkanmu sebab saat kakakku meninggal di klenteng terkena serangan jantung, aku ikut dengan ambulance dan besoknya aku pindah rumah keluar kota. Kakakku tinggal di klenteng. Oh ya, puisimu masih aku simpan. Puisi-puisi yang sangat bagus,” katanya.
“Ha-ha-ha, aku tidak menunggu jawabanmu tentang puisiku, tapi jawabanmu tentang isi suratku,” kataku sambil tersenyum.
Ia tidak menjawabku. Tapi, sambil menunjuk seorang laki-laki muda yang sedang menuntun dua anak, ia berkata, “Lihat di sana, itu suami dan anak-anakku.”
Dug.
Aku paksakan tersenyum.
Di negeri Belanda dibedakan antara novel dan roman. H.B. Jassin pun terpengaruh oleh perbedaan gaya Belanda ini. Novel hanya menceritakan kejadian luar biasa yang akan mengubah nasib tokoh utamanya. Sebaliknya, roman menceritakan seluruh episode khidupan tokoh utama sejak lahir hingga meninggal dunia. Di Amerika tidak dibedakan antara novel dan roman. Pada akhirnya, Indonesia pun menganut pemahaman orang Amerika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H