Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Namanya Nun, Lalu....

7 Agustus 2014   01:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:14 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Herman Suparman)"][/caption]

Aku mengenalnya. Tapi, ya mengenalnya sekadar kenal begitu saja. Mungkin dia pun mengenalku, dan aku rasa dia pun mengenalku, ya mengenal begitu saja.

Namanya Nun. Aku tahu namanya Nun, ya tahu begitu saja. Seingatku dia tidak pernah memperkenalkan dirinya kepadaku. Memang, aku memanggilnya dengan nama “Nun”, dan aku pikir itu namanya sebab dia tidak pernah protes aku panggil dengan nama itu.

Aku pernah bilang kepadanya bahwa aku menyesal memanggilnya Nun.

“Memang kenapa kamu menyesal memanggilku Nun?” tanyanya.

“Sebab itu bukan namamu,” jawabku.

“Sekarang, itu namaku,” katanya sambil tersenyum, “Tapi, kenapa kamu memanggilku Nun?”

“Aku tak punya alasan. Sebab itulah aku menyesal.”

“Ya, sudah tidak apa-apa.” Aku tersenyum kepadanya. Lalu, kami bersalaman. Kemudian ia melangkah meninggalkanku, tapi tak begitu jauh, dia menengok ke belakang kepadaku.

“Mestinya kamu menamaiku Tun!” teriaknya. Ia terlihat tersenyum. Aku pun tersenyum.

Berhari-hari kemudian aku tak bertemu-temu dengan Nun. Semua orang yang aku tanyai justru berbalik bertanya padaku.

“Nun? Siapa Nun?” hampir semua orang bertanya seperti itu padaku.

Aku tak yakin jika tak ada yang tahu sama sekali pada Nun. Bukankah ia sering terlihat di mana-mana. Ia pernah terlihat di warteg sedang makan seperti kebanyakan orang dengan status “wong cilik”. Pun, ia sering terlihat kerja semrawutan, menjadi tukang bangunan, tukang becak, sopir bajaj, bahkan beberapa kali menjadi pemulung.

“Aku tidak kenal Nun. Tapi, kalau Kun, aku kenal,” jawab satu orang.

“Ah, kalau aku kenalnya Tun,” jawab satu orang lagi.

“Ehm, apa dia saudaranya Jun?” salah seorang malahan balik bertanya.

Begitulah, Nun menjadi asing bagi orang-orang yang pernah mengenalnya. Ke manakah Nun? Aku terus bertanya-tanya.

“Nun itu artinya ‘jauh’. Makanya, biarkan saja ia menjauh,” kata temanku yang suka berpuisi.

“Nun itu huruf hijaiyyah ke-24, setelah huruf mim,” begitu penjelasan seorang ustadz.

“Menurutku, Nun itu sejenis ikan,” kata seorang nelayan.

Ya, sudahlah apa pun yang artinya Nun, aku tak ambil pusing. Aku hanya tak mengerti mengapa Nun tiba-tiba menghilang, itu saja.  Ketidakhadiran Nun sebenarnya tak berdampak apa-apa bagiku. Semuanya seperti biasanya. Aku tetap sebagai aku dalam strata kelas masyarakat bawah. Ada atau tiada Nun, aku tetap memerlukan makan, dan harus kerja keras membanting tulang agar dapat makan. Tapi, kenapa pikiranku kepada Nun hampir menyita tiga perempat waktu yang aku miliki.

Seminggu berlalu, Nun pun belum tampak.

Sebulan berlalu, Nun pun belum muncul juga.

Setahun berlalu, Nun sama sekali tak pernah terlihat lagi.

Sekarang aku telah belajar melupakan Nun. Lagi pula, kenapa harus aku ingat-ingat atau aku kenang, bukankah Nun itu bukan apa-apa dan siapa-siapa buat diriku?

Pagi tadi seperti biasa aku sarapan di warteg di pinggir jalan dekat tempatku bekerja. Ketika sedang asyik menikmati sarapan pagiku, meskipun hanya goreng tempe dan sayur daun singkon, tiba-tiba datang tiga orang, lalu berbincang tentang Nun.

“Maaf, Mas-mas ini sedang memperbincangkan Nun?” tanyaku.

“Iya, Mas,” jawab satu orang di antara mereka.

“Nun yang mana, ya Mas?” tanyaku lagi.

“Nun itu…. wah, susah saya menjelaskannya Mas. Pokoknya, Nun itu…” satu orang berusaha menjelaskan siapa Nun itu tapi rasanya dia tidak menemukan kata-kata yang tepat.

“Oh,” akhirnya saya berkomentar demikian. Sebenarnya saya sangat berharap bahwa Nun yang mereka perbincangkan itu adalah Nun yang pernah saya kenal dahulu.

Ketika aku sampai di tempatku bekerja, mereka pun asyik memperbincangkan Nun.

Pada teman-temanku di tempat bekerja, aku pun bertanya, “Nun? Nun yang mana?”

Tapi, teman-temanku tidak bisa menjelaskan siapa Nun yang mereka perbincangkan. Dan, parahnya mereka tidak bisa menjelaskan Nun yang seperti apa yang mereka perbincangkan itu. Pokok, kata mereka, Nun itu…. (titik-titik-titik).

Seharian itu semua orang yang bertemu denganku memperbincangkan Nun, tapi tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan Nun. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi terhadap Nun hingga semalam-malaman aku tidak bisa tidur memikirkan Nun.

Paginya, di warteg kemarin, saat aku akan sarapan, aku bertanya pada seseorang yang sedang asyik sarapan.

“Mas, siapa sih Nun yang diperbincangkan orang-orang kemarin itu?” begitu tanyaku.

Orang itu menatapku dengan tatapan ramah, tapi dengan raut wajah yang heran.

“Benar Mas tidak tahu siapa Nun?” tanyanya kepadaku. Ah, aneh aku bertanya malahan dia balik bertanya.

“Iya, saya tidak tahu siapa yang dimaksud Nun itu. Dulu saya kenal seseorang yang bernama Nun, apakah Nun yang sama?” kataku.

Orang itu tersenyum. Lalu, sambil mengunyah nasi, dia berkata, “Nun itu….”  Tidak diselesaikan kalimatnya, tapi telunjuknya menunjuk pada dadanya beberapa kali.

Lalu, aku mengikuti caranya itu. “Nun itu…” kataku tanpa menyelesaikan ucapanku itu, lalu aku menepuk-nepuk dadaku.

Orang itu tersenyum setuju, lalu memberi jempol yang mengarah kepadaku sambil kepalanya mengangguk-angguk.

Dan, seharian itu semua orang yang bertemu denganku melakukan cara yang sama ketika menyebutkan, “Nun itu…”

Esok paginya, pintu kontrakanku diketuk orang.

Aku terkejut ketika pintu terbuka ternyata yang datang adalah Nun! Nun yang aku kenal itu!

“Nuuuun!” aku setengah berteriak, kaget bercampur senang.

“Maaf, Mas, sebenarnya aku bukan Nun,” katanya, masih di depan pintu.

“Lalu, kamu harus aku panggil apa?” tanyaku, masih di depan pintu, aku belum mempersilakannya masuk.

“Kita,” jawabnya perlahan.

“Mengapa kita?” tanyaku.

“Sebab, kita bukan siapa-siapa tanpa ada siapa-siapa, Mas,” jawabnya sambil tersenyum. “Maaf, Mas, aku mau langsung pamitan, aku datang sebab dulu aku tak sempat pamitan.”

Ucapannya menyadarkanku. Kami bersalaman, berpelukan, lalu dia pergi meninggalkanku.

Hari itu setiap orang yang aku temui tidak lagi membicarakan Nun, tapi mereka berbicara tentang kita: siapa pun yang sadar makna kehadiran orang lain!

---------------------------Tamsela, 6 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun