Apa sampeyan kenal saya? Kalau sampeyan seorang yang terhormat, saya saran seandainya sampeyan kenal pura-puara ngak kenal saja ya, sebab “pengenalan” sampeyan pada saya, sedikit banyak akan mempengaruhi keterhormatan sampeyan, bahkan bisa-bisa keterhormatan sampeyan akan hilang. Katanya, saya adalah sampah masyarakat, penyakit masyarakat yang harus dibuang atau dibasmi habis. Jangan khawatir sekotor apa pun label yang dilekatkan pada diri saya, saya ngak akan marah. Saya sudah terbiasa kok dengan label-label yang menjijikan seperti itu. Coba perhatikan saja deretan sebutan buat orang seperti saya ini: cabo, lonte, pelacur, kupu-kupu malam, jablay, WTS, dan PSK. Semua kata itu semakna meskipun ada yang terasa kasar, ada juga yang terdengar halus mendayu-dayu. Sampeyan boleh memanggil saya dengan sebutan lonte. Aih, itu lebih mak nyuus terasanya sebab kata lonte dipakai Bang Iwan Fals dalam lagu “Lonteku”. Tentu saja saya senang, wong saya pengagum berat Iwan Fals kok. Selain lagu “Lonteku”, saya suka lagu “Bento”. Kadang saya memimpikan jadi istri simpanan si Bento itu. Ngak apa-apa saya tidak diperkenalkan kepada siapa pun asal saya dapat uang belanja yang besar. Sayangnya, mana mau Bento sama saya, lagian tempat mainya si Bento pastinya di hotel bintang lima, sedangkan saya maennya paling-paling di penginapan kelas melati.
Tapi, boleh juga Sampeyan sebut saya dengan kata pelacur. Bagi saya, kata pelacur terdengar sangat puitis makanya Rendra bikin puisi dengan judul “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”. Saya suka banget dengan puisi itu. Rasanya, ada yang bela sama sama dan teman-teman yang profesinya terhina ini. Saya suka larik yang bunyi, “Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya”.Wah, baca larik itu saya jadi ngerti betapa pentingnya arti kutang sebagai pemersatu orang-orang seperti saya ini. Kenapa sampenyan nguyu-nguyu sendiri? Hihihi, jangan heran kalau saya bisa tahu Rendra, lha wong saya ini lulusan SMA, jurusan IPA kok. Cita-cita saya dulunya jadi dokter. Yang katanya profesi paling mulia lho. Dan, hebat tokh jadi dokter. Sayangnya Bapakku ngak punya duit setelah di-PHK sebab ikut demontrasi buruh. Saya jadi ingat, dulu waktu sekolah, Bu Guru saya nyuruh bikin kipling tentang penyair favorit, lantas saya pilih Rendra sebab saya suka julukannya, si Burung Merak.
Tapi, saya ngak kurang suka kalau dipanggil kupu-kupu malam. Istilah itu terlalu metaforis kalau kata sarjana sastra. Aih, sampeyan jangan tanya saya metaforis itu apa. Saya ngak ngerti, saya cuma ikut-ikutan bilang begitu setelah dengar kata itu di sebuah seminar tentang PSK kok. Nah, saya juga kurang suka disebut Pe-Es-Ka yang konon kependekan dari pekerja seks komersial. Kata Profesor anu, saya lupa namanya jadi saya bilang anu saja ya, sebutan PSK itu termasuk eufemisme bahasa. Nah, nah, ini pun saya kurang ngerti. Katanya, ya kata Profesor anu itu, eufemisme itu kedengarannya saja indah, tapi nyatanya jauh banget dari indah.
Lho, begini-begini saya sering ikut, eh, diiukutkan seminar. Bahkan, saya pernah jadi narasumber di televisi swasta di sebuah acara talkshow kok. Saya diundang ke acara itu. Sayangnya, selama saya diajak wawancara, saya dipakaikan kedok. “Waaah, kenapa harus pakai kedok segala?” protes saya waktu itu. Ini ‘kan kesempatan saya untuk terkenal, seumur hidup mungkin sekali itu saya bisa masuk televisi. Tapi, orang-orang TV bilang pakai kedok itu buat kebaikan saya. Kebaikan apanya? Tokh, setelah acara selesai, saya tetap saja seorang pelacur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H