Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

3 Puisi Perempuan dalam Cinta (ctt ke-3)

3 November 2011   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:07 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lautan puisi! Seperti lautan, ada banyak ragam dan jenis kehidupan di dalamnya. Begitu juga pada festival puisi kolaborasi kemarin: ada banyak tema, ada banyak model, ada banyak gaya, ada banyak peserta, dan ada banyak eksperimen, ya tentu, eksperimen dalam  penulisan puisi.  Tapi, sekali lagi, saya tidak ingin berdebat apakah semua itu lantas layak disebut puisi? Bagi saya, ya! Ya, selama karya-karya itu disajikan dalam bentuk tipografik yang khas puisi dan tidak ada kesepakatan dalam menyamakan cara bacanya! Maksud saya, lagu punya tipografik yang sama dengan puisi, tetapi sebuah lagu memiliki not yang memaksa orang mematuhi cara membawakannya, dalam membawakan puisi, orang bisa berbeda bahkan bisa sangat berbeda.

Judul di atas bukan berarti saya mengabaikan penulis laki-laki yang menjadi pasangan lima penulis perempuan itu. Yang namanya  kolaborasi pastilah hasil kerja bareng meskipun seberapa porsi masing-masing mengerjakannya tentulah berbeda.

Puisi pertama yang ingin saya bahas adalah karya bareng Ni Ketut Tini Sri dah Fahmi Idris berjudul “Peluh Senyum Penjual Serabi”.  Mula-mula kita amati frasa dalam judul itu, kita pinjam sebuah teknik analisis dari linguistik, yaitu Analisis Unsur Bawahan Langsung.  Tidak mungkin kita menganggap “peluh/senyum penjual serabi” atau “peluh senyum/penjual serabi”. Bukankah senyum tidak berpeluh? Yang mungkin adalah “Senyum (dan) Peluh/ (dari) Penjual Serabi”. Jadi, puisi itu akan bercerita bagaimana tukang serabi itu tetap tersenyum meskipun ia berpeluh-peluh saat membuat serabi.

Bait pertama dan kedua berbicara soal waktu / doa malam dipanjatkan// dini hari sudah terjaga/. Dan, kisah penjual serabi itu dimulai pada bait kedua itu, pada saat dini hari. “Perjuangan” membuat serabi dilkukan buat anak-anaknya, Jaka dan Rina.  Isi puisi pada dasarnya adalah kekaguman penulis kepada perjuangan penjual  serabi, apa pun kondisi si penjual serabi tetap tersenyum. Tersirat bahwa perjuangan semata-mata demi “cinta” pada keluarganya. Pertanyaan saya—yang mungkin dianggap tidak perlu—apakah penjual serabi itu laki-laki ataukah perempuan? Tak ada satu  kata pun yang menunjuk ke arah tersebut.

Fera Nuraini dan Mas Lingga menulis “Percintaan itu”.  Puisi ini pun memiliki setting waktu, ya, pada pagi hari. Kehadiran sosok kekasih pada pagi itu menyadarkan aku lirik (sebutan aku pada puisi) bahwa mimpi tidak diperlukan sebab kehdupan mereka sendiri sudah begitu indah.  Aku begitu mencintaimu, berulang-ulang ditekankan aku pada bait ke lima / aku memiliki begitu banyak cinta yang harus kutabur senantiasa/ /padamu….//padamu,/ /ya, hanya padamu.  Penggunaan paralelisme seperti itu adalah sebuah upaya penekanan yang kuat, menegaskan maksud.

Bait keenam, bagi saya, itu terasa sangat  indah. Coba perhatikan

/pada dada yang aku tahu detak jantungnya/
/pada bibir yang aku tahu letak lekuknya/
/pada tubuh yang aku tahu likunya/

Ada dua majas yang dipakai: (1) paralelisme anafora, pengulangan kata awal pad tiap larik, dalam puisi itu kata pada diulang-ulang; (2) mesodiplosis, pengulangan kata ditengah-tengah larik, yaitu kata /yang aku tahu/. Demikian juga pada bait ini, rima akhir begitu terasa. Rasanya, tidak berlebihan jika saya katakan inilah bait paling indah pada puisi ini.

Bungashaina Salim dan  Arif “godate” Rahman Nasution menulis puisi  “Lelakiku, Kaulah Napas Bagiku”. Ada dua judul untuk puisi ini, pada potingan Bungashaina Salim judul seperti tadi, sedangkan pada postingan Arif “godate” Rahman Nasution judulnya “Wanitaku, Kaulah Nafas Bagiku”. Sebab itu pula, puisi yang seolah-olah berisi dialog ini sebenarnya bisa dipisah menjadi dua puisi dan seharusnya seperti itu menurut saya, yaitu pertama puisi dengan judul “Lelaki,..” dengan isi puisi berupa  kata hati sang wanita (tampaknya ditulis Bunga), dan puisi berjudul “Wanitaku, …” dengan isi puisi berupa kata hati sang lelaki (tampaknya ditulis Arif godate). Dengan alasan itu pula, sebab judul saya mengupas puisi perempuan, saya memilih mengulas isi puisi yang berupa kata hati sang wanita.

Kalau puisi ini dianggap memiliki alur (alur bukan unsur  intrinsik pada puisi), maka alur puisi ini adalah flashback (sorot balik). Pada bait pertama, kita disuguhi pernyataan sang wanita yang sangat membenci lelakinya, bahkan jiwanya tak kuasa menahan (sakit/penderitaan) pada hatinya. Kita tidak tahu kenapa sang wanita membenci lelakinya?  Lantas, bait dua, tiga, dan empat adalah kata hati sang wanita yang didera rindu-mesra yang amat sangat pada lelakinya. Artinya, bagi saya, bait 2, 3, dan 4 adalah penting dipahami sebagai gambaran kerinduan sang wanita, yang kelak ini menjadi pemakluman kita  kenapa rasa benci sang wanita itu amat sangat “mengganggu” jiwanya.

Bait 5-lah semuanya terjawab! Oh, sang wanita tidak ingin mengkhianati sang bundanya. Dengan demikian, sang bunda tidak menyetujui hubungan sang wanita dengan lelaki yang sangat dirindukannya itu.  Meskipun, ada kegamangan (pada bait 6), lari dengan sang lelaki atau khianat pada kedua orang tua. Tapi, ini menjadi menarik, di bait 5 khianat pada bunda (tekanannya hanya pada bunda0, tetapi di bait ke-6 khianat pada kedua orang tua (jadi ayahnya juga?).  Jawaban kenapa ketidaksetujuan bunda (orang tua) dijawab pada bait 8, yaitu soal adat / Adat membelenggu kita//. Tapi, adatnya siapa? Ada jawaban implisit / Haruskah kita lari dari adatmu?//. Oh, adat yang berlaku pada sang lelaki tokh, mungkin kita bergumam begitu. Jadi, mungkinkah adat sang lelaki itulah yang menyebabkan kedua orang tua si wanita—lebih-lebih ibunya—tidak menyetujui hubungan itu. Kasihan sang wanita // Apalah artinya hidup menyimpan rindu//.

Bicara majas, ada banyak majas yang disajikan Bunga. Hiperbolism, contohnya pada / Ingin meniduri setiap inchi hatimu//,  // Jantungmu menyentuh jantungku// terlalu dilebih-lebihkan, bukan? Bahkan, metafora seperti pada / Budak cintaku/, ini metafora sebab membandingkan sebuah objek dengan sesuatu yang lain, jadi lelakinya itu “dianggap” buda cintaku. // Adat membelenggu kita

Mencengkram kita, kuat tak terlepas…// sebuah personifikasi.

Yang menarik pada bagian

/Ooh lelakiku …

/Malam ini (engkau) gerayangi aku secepat hantu//

/(engkau) Mencumbui (aku), (wahai) binatang jalangku

/Dekaplah aku, (wahai)  iblis pesonaku!//

Wah-wah, ungkapan-ungkapan yang dahsyat bagi saya!

Ragunan, 3/11/11

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun