Beberapa tahun kita hidup di dunia pasti punya tujuan yang dicari. Seperti kita apabila melakukan perjalanan panjang, tujuan kita pasti adalah satu tempat. Akan tetapi di tengah perjalanan kita terkadang menemui beberapa duri yang terjal, jalan menikung tajam, tanjakan, dan turunan. Ini tidak bisa kita hindari, karena merupakan bagian dari perjalanan itu sendiri.
Sebagai manusia—khususnya anak muda, pencarian jati diri adalah tujuan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Bagaimana perkembangan dan kesuksesan hidupnya akan ditentukan oleh seberapa besar usaha mereka untuk menemukan berlian permata yang tersimpan rapat di dalam jiwa mereka. Potensi, bakat, dan kemauan yang kuat harus mereka sadari bahwa sebenarnya sudah ada di dalam dirinya. Tinggal bagaimana memanfaatkannya dengan efektif lagi efisien.
Kita harus sadar, sebenarnya esensi perjalanan adalah menemukan hakikat dan makrifat. Hakikatnya apa jati diri kita—dan untuk mengetahuinya kita harus melalui jalan makrifat terlebih dahulu. Sehingga perjalan panjang yang melelahkan akan menorehkan madu surgawi manis nan legit.
Seperti perjalanan seorang musafir—mereka melakukan perjalanan panjang. Meninggalkan negeri tempat tinggalnya sendiri. Dalam perjalanan panjangnya dia akan melintasi berbagai megara, mempelajari tata cara hidup mereka. Menderita, senang, susah, bahagia, kekurangan, berkecukupan adalah bagian hidup yang ada di negara yang dilintasi.
Perjalanan panjang ini membuat musafir menghargai tanah air, bangsa, identitas, masa lalu, dan masa deoannya sendiri. Hal ini terjadi pada musafir karena telah melihat kejadian yang nyata sewaktu perjalanan panjangnya.
Awalnya, musafir belajar menghilangkan diri. Akhirnya, belajar menemukan jati diri. Awalnya, melihat kemolekan dan eksotisme negeri. Akhirnya, menemukan gambaran kemanusiaan sendiri. Awalnya, kisah perjalanan berpusat kepada aku. Akhirnya, aku meredup berganti mereka.
Orang bilang hidup adalah pencarian jati diri. Dalam diri manusia sudah melekat begitu banyak jati diri. Mengapa harus dicari? Hidup sebenarnya tidak lebih dari sebuah pengukuhan identitas diri.
Sementara apabila kita mendengar kata narsis—yang langsung hinggap dipikiran kita tanpa tedeng aling-aling adalah gaya diri dalam sebuah kesempatan yang tidak biasa. Berfoto narsis misalnya, ini diambil ketika ada momentum yang pas dan tepat. Jikalau tidak pada momentum yang tepat, ya tidak berselfie ria.
Narsis itu melelahkan. Niat mereka bukan perbaikan diri, melainkan penampilan diri. Orang yang narsis menghargai dirinya sendiri saja. Tidak menghargai orang lain. Narsis lebih suka pada pencintraan diri, bukan perbaikan diri. Sering merasa dipermalukan, bukan merasa bersalah. Sensitif terhadap feedback dan gemar menyerang orang lain secara berlebihan.
Arvan Pradiansyah memaparkan kriteria narsis. Pertama, self focus—berfokus hanya kepada diri sendiri. Kedua, superior—merasa diri sendiri lebih hebat daripada orang lain. Ketiga, tidak bisa berempati kepada orang lain. Tidak bisa memahami kesulitan orang lain.
Keempat, asyik dengan fantasi sendiri, merasa paling hebat, paling keren, paling pintar. Kelima, merasa berhamendapat treatment yang berbeda. Aturan main untuk orang lain, bukan buat saya. Sangat eksploitatif. Menganggap orang lain adalah benda. Walaupun kelima kriteria tadi ridak sepenuhnya tepat, namun bisa memberikan rambu-rambu kepada kita tentang kriteria narsis. Apakah kita masuk dalam golongannya atau tidak?