Mohon tunggu...
Ahmad Fahrudin
Ahmad Fahrudin Mohon Tunggu... Dosen - Ingin selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya

Ilmu Tinemu Kanthi Laku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hakikat Hari Raya Idul Fitri

22 Oktober 2019   19:29 Diperbarui: 22 Oktober 2019   19:29 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap tahun, bagi umat Muslim di dunia selalu merayakan Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Idul Fitri merupakan satu kesatuan dari siklus Tahun Hijriyah sebagai tradisi umat Islam. Hari Raya selalu menciptakan sesuatu yang unik, setiap daerah mempunyai kekhasan tersendiri cara bagaimana mengemas hadirnya Hari Raya. Idul Fitri ini dalam masyarakat kultur Jawa disebut dengan Syawal. Saya kira tidak hanya masyarakat Jawa saja, akan tetapi masyarakat di luar suku Jawa juga menyebutnya dengan Syawal.

Hadirnya Idul Fitri ini juga digunakan sebagai ajang silaturahmi dengan sanak keluarga. Baik yang dekat maupun yang jauh, dan juga banyak keluarga yang menjadikan momentum Hari Raya ini sebagai titik balik untuk mudik ke daerah asal bagi mereka yang merantau ke daerah-daerah tertentu.

Kekhasan Hari Raya ini juga digunakan untuk saling memperindah lingkunganya. Di suatu daerah misalnya, banyak yang lingkungannya menjadi lebih menarik dari sebelumnya. Lampu-lampu kerlap-kerlip banyak yang menangkring indah di sepanjang jalan pedesaan, hiasan-hiasan pagar juga begitu warna-warni yang elegan, tidak hanya itu, umbul-umbul pun ikut memeriahkan semaraknya Idul Fitri yang begitu mempesona.

Hari Raya ini pada hakikatnya adalah merupakan sebuah titik balik untuk mensucikan diri, memang tidak berarti harus suci sesuci sucinya. Akan tetapi, bisa dimaknai bagaimana diri yang selama ini banyak berbuat sesuatu yang tidak baik, mampu dilebur atau dijadikan media menjadi ke arah yang baik, bahkan lebih baik lagi dari sebelum-sebelumnya.

Bisa dibayangkan, bagaimana jika tidak ada momentun Hari Raya, maka tradisi mudik lebaran pasti juga tidak akan ditemukan pada detik ini. Tradisi bersalam-salaman juga tidak mungkin kita lakukan, kebiasaan makan bersama atau reuni juga sering ada ketika lebaran ini boleh jadi juga tidak ada. Maka, lebaran ini adalah salah satu hal untuk menjadikan tradisi-tradisi keakraban dan tradisi unik di kampung halaman untuk terus disemai dan dilestarikan.

Tradisi Hari Raya yang berlaku di daerah saya adalah dinamakan dengan hari keberapa Hari Raya tersebut jatuh. Misalnya Hari Raya ke satu, artinya adalah Hari Raya pada hari ke satu. Hari Raya ke dua berarti Hari Raya yang jatuh pada hari ke dua dan begitu seterusnya.

Tanggal satu Syawal sampai pada tanggal tujuh Syawal ini biasa ditandai dengan saling berkunjung ke sanak saudara, tetangga dekat, dan juga para guru-guru. Bagi tempat yang dikunjungi sudah disediakan berbagai macam makanan ringan dan minuman kecil-kecilan.

Tanggal satu Syawal, tradisi di kampung saya adalah "ambengan". Tradisi ini dilakukan setelah usai salat Idul Fitri, setiap keluarga membawa satu ambeng yang berisi nasi, ingkang (ayam yang sudah disembelih dan dibakar), sambal goreng, dan juga ada mie yang sudah masak. Dibgikan pada tempat yang sangat tradisional sekali, yaitu di daun pisang yang setiap orang mendapatkan satu persatu yang kemudian disebut dengan berkat.

Konon orang mengatakan, berkat ini harus dihabiskan pada saat itu juga, sebab jika tidak dihabiskan di tempat dan waktu saat itu juga, keberkahan akan terasa kurang dan rasanya sudah sangat berbeda jika dihabiskan di rumah. Maka, biasanya orang sering menyukai bagian yang sedikit daripada yang banyak, tujuannya adalah agar berkat ini bisa habis saat itu juga.

Idul Fitri juga membawa kebahagiaan tersendiri bagi anak kecil. Selain baju, sandal dan lain sebagainya serba baru, mereka juga biasa mendapatkan salam tempel atau sering disebut juga angpao. Uang saku di hari raya bagi anak-anak.

Muhammad Quraish Shihab dalam buku anggitannya Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999). Mufasir kenamaan asal Indonesia ini memberikan penjelasan substantif mengenai hakikat Idul Fitri dengan bahasa yang lugas dan membumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun