Suatu pagi Harri dan Kang Shihab terlihat berdua sedang sap-siap berangkat ke pengajian di kampong tetangga. Pendek cerita, berboncenganlah mereka.
Ditengah perjalanan, terlibat diskusi “ringan” diantara keduanya. Awalnya Harri yang membuka diskusi, “Sekarang banyak orang yang stres ya, Kang.”
“Kamu lihat berita tadi pagi ya?” Timpal Kang Shihab dengan pertanyaan .
“Iya. Sekarang ini banyak yang bunuh diri, Kang.”. Harri melanjutkan ceritanya. “Tapi menurut saya, media-media juga ikut berperan dalam hal ini. Karena seringnya berita bunuh diri, sehingga yang lain, yang memang keadaaan jiwanya sedang tidak stabil, seperti mendapat “ilham” untuk melakukan tindakan itu.” Harri mengeluarkan pendapatnya.
“Jadi , media salah menurutmu?” Kang Shihab kembali melemparkan pertanyaan.
“Bisa dikatakan seperti itulah, Kang.” Harri menjawab dengan sedikit arogan.
“Ah, menurut saya tidak,” Kang Shihab berpendapat. Dan tak lama melanjutkan ucapannya, “Menurut saya media sudah sangat “seimbang” atau bisa dikatakan sudah proporsional memberitakan dan menyikapi peristiwa banyaknya bunuh diri sekarang ini.”
“Maksud Akang?” Harri memotong pembicaraan.
“Media, disamping memberitakan peristiwa “tidak baik” itu, juga memberikan pendidikan-pendidikan lewat dialog dengan para psikolog dan alim ulama. Dialog itu membicarakan tentang “sebab” hingga “solusi”. Itu yang media lakukan. Oleh karena itu saya pikir, Media sudah sangat “seimbang” antara memberitakan dan memberikan pendidikan ke masyarakat.” Ucap Kang Shihab.
“Tapi kan tidak semua orang membaca “keseimbangan” itu, seperti yang Akang sampaikan tadi. Dan terhadap orang-orang yang seperti itu, pemberitaan di media akan menjadi “negative” bahkan bisa menjadi “ilham” seperti yang tadi saya bilang.” Harri pun tak mau mengalah pada diskusi kali ini.
“Betul sekali, Har. Dari uraianmu yang terakhir , Sekarang saya tanya, kenapa ada orang yang tidak bisa membaca “keseimbangan” yang disuguhkan media, seperti apa yang saya pikirkan?” Tanya Kang Shihab.