#membuka kompasiana sudah ada yang memakai judul itu, sehingga saya tambahi "part kesekian". Ketika penendang pinalti pertama Vietnam dengan jumawa menendang kembali bola yang muntah dari golnya yang mantul ke gawang, saya jadi yakin. Yakin bahwa mereka yang –katakanlah- sombong akan kalah, dan mereka yang rendah hati akan menang. Ini seperti kejadian saat Markis Kido/ Hendra Setiawan meraih emas Olimpiade Beijing tahun 2008. Di set pertama Cai Yun/ Fu Haifeng yang menang, dan satu yang sangat terekam di pikiranku adalah ketika Cai/ Fu melepaskan emosi kepercayaan terlalu tinggi dengan meninju ke udara ke arah penonton –atau apalah namanya yang mengindikasikan kesombongan itu.
Tapi lihatlah PSSI U-19 itu. Mereka mengekspresikan gol dengan bersujud –kecuali si Putu Gede itu yang cukup mengepalkan tangan. Tidak ada ekspresi berlebihan, tidak seperti kiper Vietnam yang berusaha mengecilkan mental pemain kita dengan berlagak kesana kemari mengganggu konsentrasi lawan. Kiper Indonesia pun terlihat lebih pendiam. Malah menyodorkan tangan untuk bersalaman setiap berpapasan dengan kiper Vietnam ketika bergantian “bertugas”.
Saat pengalungan medali pun para pemain Indonesia menyalami dengan mencium tangan orang-orang tua itu. Sepertinya nilai yang ditanamkan pelatih Indra Sjafri mengena. Bahwa nilai sopan santun berlaku juga dalam suatu kemenangan di ajang kompetisi. Demikian pula komentar coach ini pertama saat ditanya wartawan, dan dia menjawab, “Ini kemenangan milik bangsa”. Indra Sjafri mencontohkan bahwa dia bukan apa-apa, bahwa ini adalah kemenangan bersama.
Kalau komentator di teve mengatakan bahwa kali ini kita menunggu 22 tahun untuk meraih juara sepakbola –sejak Sea Games Manila 1991. Bagi saya lebih dari itu. Kita menunggu kerendahatian seorang tim juara itu sejak 1984, alias 29 tahun lamanya, setelah kemenangan tim Thomas kita melawan Cina di Kuala Lumpur. Saat itu partai pamungkas menampilkan Liem Swie King/ Kartono, mereka menang. Lalu Kartono “roboh”, King tersenyum, dan beberapa detik setelah lapangan kosong ada seorang wartawan Indonesia sujud syukur di tengah karpet.
Sudah tidak terhitung mungkin sujud syukur dari pelatih Indra Sjafri, terutama saat pemainnya memasukkan gol. Kemudian bagaimana ekspresi “kesalahan” official kita itu ketika mengira permainan telah berakhir. Kalau yang ini mirip tim voli putra Indonesia saat meraih emas di Jakarta 1997. Saat itu tim mengira pemain Thailand sudah tidak mungkin mengembalikan bola, official kita merangsek ke tengah lapangan kita sendiri, ya untungnya kita tetap menang.
Pertandingan bertempat di Sidoarjo juga memberikan pelajaran berarti. Seingat saya PSSI selalu kalah dalam adu penalti melawan negara lain di Senayan, Jakarta. Yang pasti saat tahun 1997 melawan Thailand (Sea Games), kemudian tahun 2003 lagi-lagi melawan Thailand di final Tiger Cup. Ibukota kita ini mungkin menyeramkan bagi pemain kita sendiri. Sehingga metafora yang menyatakan “Sejahatjahatnya ibu tiri, masih lebih jahat ibukota” barangkali benar bagi penendang pinalti. Kita selalu apes main di Senayan.
Bagi para pemerhati regional itu mengindikasikan satu hal. Kita perlu ibukota “baru” yang menandai awal kebangkitan kita sebagai bangsa. Bukan di Senayan, bukan Jakarta, sekali lagi ternyata bukan. Tetapi di Sidoarjo, kota yang terkenal karena didzolimi oleh lumpur Lapindo. Kalau Malaysia punya Kuala Lumpur, kita punya “lumpur kuala(t)”. Doa-doa orang yang terdzolimi cenderung untuk lebih makbul. Dalam hal ini barangkali doa penduduk sekitar Sidoarjo agar mereka terlepas dari beban hidup karena lumpur, dan doa agar PSSI juara.
Kemudian mengenai si pembaca acara pertandingan di MNC tv itu. Kalau (Alm.) Sambas pernah mengkritik bahwa presenter sepakbola Indonesia itu seperti penyiar radio (maksudnya terlalu memandu penonton kayak pendengar radio, padahal ini pemirsa tivi yang bisa melihat juga), entah bagaimana komentar pak Sambas kepada penyiar kali ini yang hapal puisi Bung Karno, puisi Jenderal Soedirman, atau malahan tulisan Kartini ini. Ataukah mungkin presenter kita ini teringat dengan tangisan pelatih PSSI asal Jerman dulu, saat Indonesia tersingkir di penyisihan grup Sea Games Bangkok 1995? Barangkali iya. Pelatih asal Jerman itu pada tahun 1995 mengatakan kurang lebih demikian, “Saya membaca sejarah perjuangan orang Indonesia jaman dahulu. Tapi semangat itu tidak tertular pada tim ini”. Rasanya tidak terlalu berlebihan menghubungkannya. Kalau Bung Karno mengatakan bahwa Jas Merah alias “jangan sekali-kali melupakan sejarah” sepertinya pembawa acara MNC tv yang orang Sumut itu mewarisi semangat itu.
Berbeda dengan penyiar lainnya yang memprediksi dengan data yang “ndakik-ndakik”, tapi penyiar satu ini miskin akan data namun kaya kosa kata bahasa. Bahasa Indonesia ini diangkat dari bahasa Melayu para pedagang di Batavia, yang relatif minimalis kosa katanya. Untuk kata “jebret” bukankah kita telah lama merindukan sinonim untuk GOAL (yang kita terjemahkan sebagai “gol”).
Sementara itu Vietnam sendiri memberikan pelajaran juga –terutama bagi para politisi kita. Komentar pelatihnya yang asal Perancis saat konferensi pers adalah bahwa Indonesia memiliki pemain yang berfisik luar biasa, dan pantas juara. Artinya mereka telah siap lahir dan batin untuk berkompetisi, alias siap menang atau kalah. Kalau belum siap, mereka pasti menuntut ke MK (Mahkamah Konstitusi) untuk diadaken pinalti ulang. Buat bu Khofifah (Jatim), pak Rukyat (Kota Bogor), dan mas Paryono (Karanganyar) belajarlah dari tim Vietnam.
Dari Garuda Muda ini kita belajar banyak hal, termasuk kerendahhatian itu. Apabila kita tarik dalam aras politik nasional, bukankah yang muda juga layak untuk kita beri kesempatan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H