Masih ingat tentang P4 atau Pedoman Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila? Judul artikel ini terkesan memaksa tetapi ada hubungannya. Membahas bencana (istilahkan saja dengan Perbencanaan) dan nilai Pancasila (terutama butir-butirnya). Semoga bermanfaat
AWAL tahun 2014 Indonesia diguncang bencana banjir yang melanda Manado, Jakarta, dan beberapa kota di Jawa Tengah, serta Jawa Timur. Sedangkan bencana gunung berapi telah melanda kabupaten Karo (Sumatera Utara) sejak bulan-bulan terakhir 2013 sampai terakhir dua pekan yang lalu Gunung Kelud (Kediri, Jawa Timur) yang mbledhug dan abunya sampai ke Bandung (Jawa Barat).Mantan Presiden RI, Prof. Baharuddin Jusuf Habibie pernah membedakan bencana ini menjadi 2 (dua), yaitu bencana alam dan bencana sosial. Bencana alam yakni misalnya gempa, banjir, meletusnya gunung berapi, dan tanah longsor. Sedangkan bencana sosial ialah contohnya kemiskinan, pengangguran, dan konflik dalam masyarakat. Di tulisan ini akan dibahas khusus mengenai bencana alam.
Problematika bencana yang saat ini dialami merupakan ujian berbangsa dan bernegara. Dikarenakan pertama, bencana (khususnya gunung berapi dan gempa) merupakan konsekuensi dari keberadaan kita di ring of fire sehingga menjadi keniscayaan untuk selalu terjadi bencana –dalam bentangan wilayah dari Sabang sampai Merauke- pada setiap tahun atau bahkan bulan. Kedua, mencoba menguji kepedulian kita sebagai warga negara atas empatinya kepada sesama, dan ketiga ujian untuk pelaksanaan reformasi birokrasi kita terutama dalam koordinasi dan pelayanan kepada masyarakat.
Apabila disimpulkan dalam skup yang lebih umum, maka bencana merupakan ujian untuk kembali menghadirkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan peri kehidupan berbangsa serta bernegara. Terutama dalam aspek ketuhanan, kemanusiaan, kebersatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial, sesuai dengan sila-sila dalam dasar negara kita tersebut.
Pertama, dalam aspek ketuhanan, disadari bahwa segala musibah ataupun nikmat merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini aku kutip tulisan Nasarudin Umar (Wamen Kemenag), di harian Jurnal Nasional (24/01/2014) bahwa bencana atau bala’ dapat dibedakan antara balaun khasanah dan balaun sayyiah. Balaun khasanah berarti ujian/ kebencanaan yang baik seperti bertambahnya rejeki, kenaikan jabatan (promosi), dan prestasi.
Untuk level negara contoh balaun khasanah ini seperti bertambahnya investasi, meningkatnya pendapatan nasional, atau banyaknya prestasi manusia Indonesia diakui di dunia internasional. Dalam perspektif keagamaan, “insentif” kenikmatan dari Tuhan adalah bagian dari bencana atau ujian yang perlu disikapi. Sehingga kenikmatan yang dikaruniai oleh-Nya juga merupakan ujian. Maksudnya apakah dalam suasana kenikmatan tersebut kita masih sempat bersyukur dan memikirkan mereka yang sedang mengalami ketidakberuntungan.
Balaun sayyiah berarti ujian/ kebencanaan yang buruk, seperti jatuh miskin, raibnya benda yang berharga, kehilangan pekerjaan, dan mendapat fitnah. Untuk level negara contoh balaun sayyiah ini seperti datangnya bencana secara bertubi-tubi, adanya ketidakpercayaan publik dan dunia luar, jatuhnya nilai mata uang, bertambahnya pengangguran, dan sebagainya.
Kita perlu menyiasati kedua bentuk ujian ini. Jika balaun sayyiah mendera, maka hadapi dengan kesabaran. Sedang bila kita dalam kondisi balaun khasanah maka terima dengan kesyukuran. Keduanya harus tetap dengan ikhtiar. Sabar dan syukur bagaikan dua kepal sayap kehidupan yang perlu diseimbangkan, bagi siapa saja, tidak terkecuali bagi para pemimpin saat ini.
Kedua adalah aspek kemanusiaan. Bencana yang melanda nusantara ini merupakan ujian kepedulian kita sebagai sesama manusia. Tanpa memperdulikan suku, atau agamanya, mereka yang sedang terkena bencana akan ditolong. Indonesia dalam beberapa kesempatan juga memberikan bantuan kepada negara lain, misalnya Filipina (bencana topan haiyan bulan November 2013), bahkan bapak Presiden pernah meninjau bekas tsunami di Jepang di sela-sela kunjungan kenegaraannya. Indonesia juga sangat dibantu dan bekerjasama dengan bangsa lain seperti waktu membersihkan sisa bencana tsunami di Aceh sepuluh tahun yang lalu. Keberadaan LSM dan organisasi sosial diuji di sini, apakah mereka hanya mengutamakan bergerak di dunia politik ataukah mampu juga melakukan kegiatan kemanusiaan.
Ketiga dalam aspek kebersatuan. Selayaknya masyarakat di kota, di desa, bahkan di seluruh pelosok, muncul empati nasional yang menganggap bencana –yang menerpa Medan, Menado, Jakarta, pun Pekalongan- ini sebagai musibah juga buat dirinya. Meski dirinya ada di Aceh pun Papua yang jauh dari sumber bencana tersebut. Perasaan empati itulah yang menggerakkan semangat bersatu untuk mengatasi permasalahan bangsa.
Semangat untuk bersatu itu harus secara ikhlas dilaksanakan. Tidak ada yang riya (menunjukkan diri), dia harus melepaskan dirinya dari atribut personal atau bahkan kelompok. Sikap untuk rela berkorban demi kepentingan negara dan bangsa, musti ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Banyak partai masih belum meninggalkan atributnya dalam rangka berkampanye dan membantu yang terkena musibah. Untuk itu diperlukan sikap kedewasaan dalam tindakan menolong mereka-mereka yang membutuhkan itu.
Keempat dalam aspek permusyawaratan. Sering kami amati selama ini pernyataan pemimpin daerah dalam menyikapi bencana ini kurang bijak. Misalnya pada kasus bencana banjir di Jakarta saat ini, rasanya tidak elok untuk menyalahkan kepala daerah lain yang ada di sekitarnya. Yang dibutuhkan adalah bermusyawarah untuk memecahkan masalah bersama. Namun alih-alih bermusyawarah, yang terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Selain berupaya bermusyawarah, para pemimpin dapat mengacu pada hasil permusyawarahan sebelumnya. Mengingat bencana ini –terutama banjir di daerah Ibukota dan sekitarnya- menjadi kegiatan yang rutin, sehingga sangat dimungkinkan pemimpin-pemimpin sebelumnya telah menyepakati beberapa hal demi kelancaran roda organisasi pemerintahan. Misalnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Perpres ini muncul mengingat kawasan Jabodetabekpunjur merupakan kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu.
Di dalam Perpres tersebut diatur juga mengenai strategi pengendalian banjir –pada Pasal 21. Ditulis bahwa strategi pengembangan prasarana drainase dan pengendalian banjir dilaksanakan dengan pengelolaan sungai terpadu dengan sistem drainase wilayah, pengendalian debit air sungai dan peningkatan kapasitas sungai, peningkatan fungsi situ-situ dan waduk sebagai daerah penampungan air dengan sistem polder, pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung dan kawasan budi daya yang dilaksanakan dengan ketat di kawasan hulu hingga sepanjang daerah aliran sungai, pembuatan sudetan sungai, dan pengendalian pembangunan di sempadan sungai. Hal lain yang perlu diperhatikan misalnya pada Pasal (64) bahwa “Koordinasi kelembagaan dan kebijakan kerja sama antardaerah di Kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan dan/atau difasilitasi oleh badan kerja sama antardaerah”. Di pasal berikutnya dinyatakan kurang lebih bahwa badan kerja sama antardaerah terbut juga melaksanakan/memfasilitasi pembinaan yang terkait dengan kepentingan lintas provinsi/kabupaten/kota di Kawasan Jabodetabekpunjur.
Dengan keberadaan Perpres tersebut dapat diuji apakah sekrup-sekrup birokrat sebagai bagian dari mesin reformasi birokrasi telah berjalan dengan sempurna. Beberapa sengkarut pernyataan masing-masing Kepala Daerah dalam menyikapi banjir di media massa beberapa pekan ini memperlihatkan ketidaktahuan akan Perpres tersebut. Kepala Daerah cukup mendelegasikan kepada badan kerjasama antar daerah untuk berembug dalam menyelesaikan permasalahan koordinasi antar wilayah.
Terakhir adalah mengenai keadilan sosial. Disadari bahwa bencana ini melanda semua lapisan sosial masyarakat. Dari mereka yang berada di pinggiran sungai, sampai ke kompleks perumahan mewah di Kelapa Gading semuanya secara merata mendapat bencana banjir. Walaupun tidak bisa dikatakan “memanfaatkan”, tetapi terdapat segelintir masyarakat yang mendapatkan keuntungan dengan membuka lapangan kerja di tengah bencana –misalnya banjir dalam hal ini. Tukang gerobak yang menjajakan jasa pengangkutan sepeda motor, kemudian melonjaknya penghasilan bengkel kendaraan, dan tukang ojek yang pelanggannya bertambah. Terjadi perputaran roda ekonomi dari grup ekonomi menengah –bahkan atas- kepada kelompok yang semula dikatakan marjinal.
Walaupun tidak bisa diharapkan kegiatan bencana ini untuk langgeng, tetapi setidaknya ujian itu tertuju kepada para penjaja jasa di atas. Mereka dapat saja menangguk untung dengan melipatkangandakan tarif pada saat terjadi musibah banjir, namun ujian yang berlaku adalah bisakah mereka mengembangkan sikap adil kepada sesama, menghormati hak orang lain terutama mereka yang sedang tertimpa musibah, dan mengembangkan sikap suasana kekeluargaan dan gotong royong di tengah mereka yang sedang menderita? Alhamdulillah bahwa ketika melihat tayangan berita di SCTV pada hari Ahad (02/02/2014) beberapa pemilik bengkel memilih untuk tidak menaikkan tarifnya di tengah kondisi bencana, karena alasan untuk mempertahankan pelanggan. Barangkali ini buah bersikap adil kepada semua orang –tanpa bermaksud mengeruk keuntungan di tengah banjir. Sehingga diperlukan peran masyarakat, yakni berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk bergerak dalam menyelenggarakan kegiatan kemasyarakatan yang menunjang terciptanya keadilan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H