Aku berusaha menemukanmu, bersama datangnya hujan yang terlambat menyapa bumi. Akar pepohonan merintih, daun berguguran menyepi, hampir mati.
Aku mengingatmu kembali, ketika bunyi deru lokomotif menyeberangi pagi, menghantarkan setumpuk surat cinta yang diketik rapi. Dalam bahasa rindu, ketika diksi memberitahukan suasana hati.
Aku berusaha menghadirkan senyumu, bersama secangkir kopi yang meletupkan nadi. Entah di mana ku simpan potongan lesung pipit yang dahulu begitu memabukkan. Keranjang sampah telah penuh oleh celoteh kemunafikan, laci meja terbuka begitu saja, dan isinya, hanya tertinggal dua gigi palsu, tersenyum kepadaku.
Maaf, jangan marah. Jika kelopak matamu tak lagi menghias dada, gaya bicaramu telah lama musnah dari perbendaharaan kata.
Senyatanya, ada dan tiada tidaklah berbeda.
#####
Baganbatu, awal november 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H