Telah tua adanya. Tubuh renta berbaju anomali cuaca, rambut putih dipenuhi pencemaran udara.
Langkah kaki mulai gemetar, berjalan mengelilingi punggung bukit hendak menjumpai para kenalan. Trembesi di ujung jalan, mahoni di seberang gundukan tanah pusara pasangan. Bahkan beringin putih yang tumbang karena hantaman badai-topan, Ia doakan.
Sebelum revolusi republik ini, sebelum gergaji mesin beroperasi, ia telah bersetia meneguhkan janji, hendak menjaga pohon sebagai warisan amanah para leluhur negeri.
Kini, tangan kurusnya penuh tatal penggergajian,matanya tak lagi nyalang karena tertutup kabut kesedihan. Sejengkal demi sejengkal, hutan disulap menjadi perkebunan. Seribu bahkan sejuta pohon ditebang, demi keuntungan para pemilik modal.
Telah bersunyi-sunyi ia di tengah erosi kepentingan, memunguti anak pohon yang menjadi piatu dilindas modal besar. Menagislah ia sepanjang sisa usia kehidupan, mendengar keluh-kesah tentang semakin gundulnya pepohonan. Air bah menerjang, tanah longsor mengancam, kekeringan tanpa air resapan. Penderitaan manalagi yang mesti ia saksikan.
Jika ia mati, siapa lagi yang mau menjaga pohon. Jika ia pergi, adakah makhluk baru yang peduli butir lestari.
#####
Baganbatu, 24 september 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H