Setelah berjalan mengitari kenyataan, menemukan bukti bahwa hidup ini adalah siklus pembelajaran, Â ada sedih di sekeliling tawa riang, ada tangis ketika haru menyergap kemudian menyerang. Sungguh terlalu naif bila mengartikan hidup adalah pamer kekayaan, menimbun permusuhan, memperbanyak lawan daripada kawan.
Coba tanya hati! apa sih maunya hingga memprofokasi jernih menjadi benci, menyuruh diam menjadi lantam, menjadikan tenang seumpama gelombang.
Pernah engkau tanya hal ini kepada hatimu?
Atau engkau telah melupakan segumpal daging yang  menjadikanmu  memiliki nurani, menimbang rasa tatkalah sedih, menjaga kaki agar melangkah datang dan pergi. Sungguh sebuah ironi jika engkau ternyata membuang hati bersama asap kenalpot kendaraan di jalan besar, melayang bersama udara cemar, menempel di dedaunan, kemudian ketika malam, hati yang seharusnya engkau jaga sebagai amanah penciptaan, di robek, dicakar, di lahap serigala malam bertubuh tinggi besar.
Pantas saja perilakumu semakin jauh dari adab dan sopan kebenran, ternyata engkau tak lebih Zombi bertubuh bersih namun kehilangan hati.
Semakin di pelajari
Semakin di amati
Semakin aku menanamkan ngeri untuk membuang hati, padahal investor luarnegeri telah menawar hatiku seharga tas mahal.
Jual-tidak, jual-tidak. Akhirnya hati ku simpan di dalam kulkas, tidak rusak, hanya beku seperti padamnya kepedulian sosial masa kini.
Aku zombi? Tapi aku masih punya hati.