Rintik hujan mulai bermain di selasar mawar, tetes pertama segera di susul tetes berikutnya, tanpa jedah, tanpa niatan untuk mengatur ritme seumpama puisi kaum pujangga. Mengucurlah perbendaharaan rasa, mengalirlah lautan rima, bertumpu pada diksi hujan dan bekejaran, menyatukan ilusi dan fakta agar tampak indah lagi menakjubkan.
Ketika hujan semakin menderas, tampak lusinan wajah menengadahkan pandangan menangkupkan luka, mengucapkan dengan intonasi lirih menyentuh pelan lagi lamban, mengutarakan perasaan terdalam bagaimana kemelut hati hendak di suarakan.
Kepada Tuhan
Kepada alam
Kepada semua yang peka dan mampu mendengar, kepada ketidakpastian yang selama ini menyertai tidur dengan mimpi mengerikan lagi menyertakan jeritan kekacauan. Adakah hujan kali ini adalah permaianan awan? Ataukah ini sebentuk prasangka buruk kepada kemurahan langit yang tak lagi memandang kehidupan bumi sebagai persemaian kebaikan.
Hujan sebentar lagi reda, mungkin ini kesempatan terakhir untuk memanjatkan doa, mengaku salah karena lalai memelihara cinta, ketika jiwa abai melabuhkan damai kepada senja dan segala yang menyertainya. Kesempatan terakhir sebelum datang bencana, kemurahan sang pencipta sebelum hari pembalasan itu tiba.
#####
Baganbatu, maret 2023