Andai aku bisa, memberi bibit padi super istimewa, tigapuluh hari panen dengan gabah kering melimpah. Tersenyumlah petani di ujung senja, tercukupi biaya anak kuliah. Ibu rumahtangga tidak marah kepada pencari nafkah, pemerintah baik citranya. Andai aku bisa.
Ketika musim panen tiba, kalkulasi harga dipotong biaya, keran impor masih di buka. Apakah ini sejenis wabah dusta diantara kita, atau ini bentuk keletihan pemangku kuasa menyediakan sepiring nasi bagi rakyatnya.
Hingga detik ini, tidak ada yang mengaku salah. Belum ada pihak yang merasa telah menjerumuskan bangsa agraria. Mengapa? Tanya ini bisa berbuntut panjang sebagai keteledoran menjaga amanah.
Andai aku bisa, setiap ketikkan huruf di puisi ini menumbuhkan sebutir nadi di tengah sawah, akan aku tulis sejuta puisi di Kompasiana. Tak peduli bukan artikel utama, tak peduli pembacanya hanya duapuluh lima, terpenting, swasembada yang pernah dijanjikan entah oleh siapa, bukan lagi wacana, bukan mimpi penunggu periuk nasi berisi batubata.
#####
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H