Malam ini, lima menit sebelum hari berganti. Dua perempuan ayu memulai tari, berayun dari satu tatapan ketatapan yang lain, mengumbar senyum dengan sesekali terdengar tawa cekikikan. Mengais nasip dari remah metropolitan, berharap beberapa lembar jumlah nominal.
Bermodal dingin angin malam, berselimut cahaya kelam muram rembulan, menyaru sebagai penghibur padahal hati sendiri tengah terkubur, menyembunyikan luka yang tak lagi berarah, menyandarkan kecewa pada tiang lampu jalan yang memandang terdiam.
Para pejalan melantunkan siulan, para hidung belang mengendus aroma kemaksiatan, para pemberi komentar menumpahkan caci-maki laksana memandang sampah menjijikkan.
Siapa peduli jika perut kosong sejak pagi tak terisi, siapa peduli dengan anak kecil di rumah kontrakan yang butuh makanan bergizi. Siapa sudi mengulurkan tangan menarik perempuan malang ini dari dunia malam.
Para tukang komentar, para lelaki yang ketika dirumah berlagak budiman, para orang sok suci yang merasa tak pernah melakukan dosa barang sekali, masing-masing mereka menikmati keadaan ini. Masing-masing merasa berderajat kemuliaan.
Perempuan-perempuan yang tak sudi terjerumus, tetapi terpaksa melakukan. Demi sesuap nasi untuk menegakkan baan, sekedar membesarkan si kecil agar mempunyai masa depan. Yang sok suci terus mencaci, yang malang nasipnya tetap gigih mempertaruhkan diri.
#####
Baganbatu, januari 2023