Tak jemu rasaku, meski kaki terasa keras membatu, persendian ngilu karena angin lalu terus menderu. Hingga padang gersang berhutan salju, hingga sebentuk harap remuk karena tak temu. Â Tak takut lukaku, memohon pengertian dari empunya waktu, menyelipkan pesan kepada kumbang dan harumnya mawar. Aku bersiteguh menunggu.
Layaknya seorang tamu, ku ketuk pintu hatimu di suatu waktu. Dengan kasih sayang , dengan segenap pengertian. Ku ketuk perlahan, sangat perlahan, agar sebentuk hati yang bertahtah di atas mahligai pualam, tak terguncang, tak terancam. Meski diriku berharap satu hal, kapan waktu itu datang.
Mungkin ini yang namanya evolusi, mencipta canda dari marah yang membara, bermula prasangka akhirnya lebih percaya. Kepada siapa? Untuk apa. Yakinku Engkau pasti sedang berperang dengan batinmu, bermusyawarah dengan airmata, mendengarkan seksama  nasihat hening kepada sepi, menaruh hormat atas temaram tempatmu bersembunyi.
Luka itu teramat dalam, menghujam hebat menyabit kesadaran. Trauma, kengerian begitu terasa manakalah senja hendak datang mengintai dari celah jendela. Jeritmu pada tengah malam, tangismu memenuhi udara kelam, hingga mimpi burukmu mempengaruhi keadaan sekitar. Terasa beban batin lebih berat dari luncuran lahar pijar.
Sebagai tamu, ijinkan aku menjenguk luka hatimu. Sekedar menawarkan segelas embun penawar, merawat luka yang telah membuatmu lupa memoleskan gincu dan pupur pada keayuan. Beri aku satu kesempatan, setelah seribu hari menunggu di depan pintu tanpa kepastian.
Layaknya seorang tamu, aku tak hendak beranjak pulang, sebelum empunya derita mempersembahkan senyuman.
#####
Baganbatu, januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H