Wajahnya, ada bekas genangan airmata di sana. Meski telah mengering, hanya tertinggal endapan garam dan cuka. Pedih, teramat pedih, ketika hujan rindu tak sengaja melarutkan sebahagian kecil kristal itu menembus dada. Sebuah penyesalan sia-sia.
Berkelana ia di antara dua jurang dan tiga pegunungan Sumatera. Kadang berteduh di Sibolga, berenang di belantara luas sepaan hutan Bahorok, atau sekedar meminta api kepada penduduk asli kota Solok. Sekedar penghangat diri, katanya. Hanya untuk menenangkan hati, rintihnya.
Hidupnya piatu, kini. Jiwanya meranggas, terbukti. Semenjak kekasihnya mati, ditikam sembilu buatanya sendiri, setelah pemakaman yang mengundang tangis di senja hari, barulah ia benar-benar terlahir kedunia ini. Tanpa cinta, polos tanpa selembar dusta.
"Salmah, maafkan aku." Menyia-nyiakan perasaan seorang biadari, setengah abad mengabdi mendandani keluarga ini, tapi yang terjadi adalah perselingkuhan berulang kali, penghianatan seorang lelaki yang tak mampu berpikir jernih, betapa menjaga hati dan perasaan perempuan setia adalah tugas ksatria sejati.
Maka hari ini, dengan menyusuri jalan Trans Sumatera, ingin ia menghitung seberapa besar gunungan dosa telah ia cipta, seberapa nelangsa rasa seorang istri ketika dulu ia biarkan terlunta, menderita, sengsara, bak hidup menghuni neraka.
Sebenarnya ia ingin segera mati, tapi maut tak sudi menghampiri. Pernah terlintas hendak bunuh diri, tapi menemui perempuan sejati, di alam nirwana tinggi, sungguh tak pantas jika seorang lelaki mengakhiri hidupnya dengan memutuskan takdirnya sendiri.
#####
Baganbatu, januari 2023
Catatan: untuk seseorang yang ku temui tengah berjalan kaki menyusuri jalan trans Sumatera, siang tadi. Semoga menemukan arti penyesalan sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H