Di persimpangan lampu merah, empat menit sebelum adzan dzuhur tiba. Seorang lelaki dengan kaki gemetar menurunkan sekarung muatan, sejenak merapikan aneka jenis bawaan, matanya berharap mentari sejenak istirahat di balik awan.
Tanganya hanya terdiri dari kulit dan tulang, kukunya penuh kotoran bertindih dengan seribu kuman. Kaus komprang bertulis sebuah merek mobil terkenal, tak mapu menyembunyikan tubuh kurus di balut penderitaan.
Kakeknya seorang pahlawan, ayahnya seorang pejuang. Jika di runut silsilah kebangsaan, mungkin ia adalah generasi kesekian yang harus berjuang penuh penderitaan. Apa mau di kata, hidup itu memang penuh airmata.
Hingga adzan berkumandang, ia menyaksikan sekian orang bergegas menunaikan kewajiban. Berjalan, berlari, setengah melompat mempersingkat jarak menuju suci. Namun tak seorangpun menyapanya, mengajaknya menikmati indahnya menuju yang maha suci.
Di persimpangan lampu merah itu ia hendak berkaca, memandang diri seakan bukan manusia. Karena karung hanya berisi rongsokan, karena tubuh dekil seperti jarang mandi dan kurang makan. Apa sesungguhnya standar baku seorang makhluk di anggap sebagai manusia?
#####
Baganbatu, janusri 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H