Wajahnya manis, imut kenangku. Matanya terkadang sayu, terkadang malu. Ada bara di sana, ada ramah adanya, ada dan tiada duka atau bahagia. Wajah dan mata begitu keadaanya.
Ia pernah mengitari setengah dunia, mencari jejak para pendahulu yang gagah perkasa, menebar bibit di antara badai dan mega, menuai langit menancapkan tonggak nama sebagai pertanda. "Kami pernah ada".
Aku sering memanggilnya sebagai Sri, Ly, Yei, bahkan sesekali Ney. Ia memang tak peduli. Bahkan ketika namanya hilang dari papan pengumuman. Senyumnya masih berkumandang.
Tidak ada yang lebih penting dari terus bertahan untuk hidup, meski kadang harus berdiri di atas ombak, terombang-ambing di antara tangan-tangan jahil, tatapan menuduh dari mereka yang mengaku orang-orang penting.
Dengan kemampuan seadanya, dengan pengetahuan apa adanya. Dengan ikhtiar menyambung hidup sebagai anugerah yang mahakuasa, tetap berjuang adalah fitrah.
#####
Baganbatu, januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H