sepakbola sejati. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, hanya sepakbola yang ada di pikiran, bahkan disinyalir dalam tidurpun ia sering bermimpi bertemu pemain besar semacam Messi, Ronaldo, dan banyak lagi. Mereka nendang bola bersama, latihan bersama, bahkan makan cilok bersama di penggir lapangan seusai latihan.
Suliki memang pencintaSuliki kepingin nonton piala dunia di Qatar. Segala persiapan telah di rencanakan dengan matang, surat pengantar dari sekolahan, surat jalan dari kelurahan, bahkan fotocopy KTP telah di cetak beratus ratus lembar, manatahu di sana nanti di mintai surat pertinggal setiapkali memasuki arena pertandingan. Indonesia bukan Qatar, Dan Qatar bukanlah Indonesia, tapi sedia payung sebelum hujan pasti juga berlaku di negeri orang.
Tapi Suliki hanya memiliki uang sebesar lima puluh dua ribu, hasil nabung uang jajan sebulan, plus hasil ngutang dari sahabat dekatnya, Pairan.
Suliki memang nekat, jalan tercepat menuju Qatar telah didapat. lewar google maps sebagai andalan, Qatar dari indonesia terasa dekat. Suliki menghindar naik pesawat, bukan saja karena urusan visa dan akomodasi yang ribet, juga karena uang saku Suliki hanya bisa tahan dua hari untuk ukuran kota kecil tempatnya kini.
"Sing penting niat, lalu usaha. Lah wong Maroko saja bisa sampai perempat final, mosok negara sebesat Indonesia tidak mampu mengirim wakilnya kesana. Aku ini wakil Indonesia, wakil pencinta bolanya." Sulilki menyuarakan dalil, Suliki butuh pembenr untuk segera mendapat ijin.
Suliki hilang! Suliki minggat.
Kentongan dipukul bertalutalu, corong pelantang di balai desa menyuarakan pengumuman.
"Telah pergi entah kemana seorang saudara kita, tetangga kita, keluarga kita, yang bernama Suliki. Mohon kepada siapa saja yang mengetahui keberadaanya untuk menghubungi keluarga terdekat, atau perangkat kelurahan."
Foto Suliki disebar, ditempelkan di tiang listrik dan pohon besar sepanjang jalan. Suasana desa tetiba semarak oleh gambar wajah Suliki yang tampak polos dengan senyum apa adanya. Persis seperti masa kampanye pemilu, pohon dan tiang listrik ternyata banyak membantu.
Rapat digelar di pendopo kelurahan, polsek setempat juga ikut sibuk mencari informasi berdasarkan laporan kehilangan orang. Keputusan segera di ambil, Suliki harus ditemukan.
Maka berangkatlah rombongan kecil menuju ke Qatar, pak lurah, ketua sepakbola kelurahan, dua orang wartawan, dan beberapa orang politisi lokal yang konon menyumbangkan sebahagian besar dana perjalanan. Bahkan dana desa terpaksa dikuras untuk ikut menalangi kepergian rombongan kecil dengan semangat mulia.
Hingga Argentina mengalahkan Francis di final, sampai pemberitaan tentang gemuruh gelaran piala dunia lenyap dari media arus nasional, Suliki tak jua pulang, tak juga mampu ditemukan. Hanya rombongan kecil tim pencari yang pulang dengan membawa cerita betapa Qatar adalah negara sukses penyelenggara perhelatan piala dunia.
Spekulasi akhirnya merebak, Suliki tersesat di negeri Qatar. Atau dia tersesat hingga terjebak di kecamuk perang Rusia vs Ukraina. Entah mana yang benar dan entah mana yang salah, tapi seiring waktu, hilangnya Suliki menguap seperti embun pagi tertimpa cahaya surya.
Untuk menegenang keberhasilan dan tekat kuat Suliki menonton sepakbola di Qatar, dibangunlah sebuah monumen berbentuk anak lelaki kurus menenteng bola dan sepatu butut. Setiap orang yang lewat wajib menghormati dengan menyerukan sebaris slogan: Suliki mewakili sepakbola kita yang mati.