Matamu, Mengahantarku menyelami bawah sadar, menelusuri relung terdalam pencerahan. Ku temukan percik peristiwa di sana, ada hal yang mustahil aku ceritakan kepadamu, kepada mata indahmu, kepada semua kekaguman yang membuat kisah ini bercerita lancar.
Matamu sungguh pelita penerang, lembut penuh daya imajinasi tak berpangkal.
Senyumu, Â telah meruntuhkan keangkuhan yang sejak dulu aku pelihara, mencampakan begitu saja gerbong amarah hingga yang tersisa adalah bara biru dalam bantal. Brutal perubahan yang terjadi, revolusi hati terjadi ketika senyumu tak pernah hilang dari mimpi.
Dan harus aku akui, senyum itu memiliki sudut magis.
Tutur sapamu, derita mana belum pernah di rasa, tapi mengabaikan setiap jengkal kata yang meluncur dari bibir indah adalah malapetaka, menampung segera butiran mutia setiap kali engkau menegurku dengan bahasa indah, sungguh luar biasa untuk ukuran lelaki sepertiku, yang mendambakan bidadari hanya bagian dari imajinasi.
Engkau sungguh simpul imajinasi itu.
Melayanglah aku di alam awan, bercengkrama dengan segala keindahan yang dulu di kira hanya bualan, bersenandung manja tentang fanorama keagungan entah dari mana segala mimpi ini berasal.
Simpul imajinasi yang tak akan ku lepas
Meski binasa
Harus mati