Dalam temaram yang sesungguhnya, ketika cahaya hanya menyentuh permukaan makna, tak berbekas tak menembus urat kesadaran, tak membakar tak menghanguskan sisa kedunguan. Ini adalah zaman kegelapan peradaban pemikiran.
Bangunan tinggi menjulang, transportasi mewah memenuhi badan jalan, ijazah resmi menjadi standar pencapaian, simpanan di bank seakan karpet merah memiliki segala tujuan. Kita terjebak kedalam arus kuat kebendaan, tenggelam bersama titik nadir kemanusiaan.
Di sana, di sini, di segala arah di penuhi sisa pesta kepongahan.
Saat malam, hampir menjelang fajar, mata tak mampu terpejam di sandera keinginan.
Hanya segelintir orang mengaku mampu berpikir jernih, tapi mereka sibuk dengan kebaikan diri sendiri.
Ada yang menyeru kepada kebaikan, tapi terjebak kepada simbol dan atribut keagamaan.
Ada yang nyaring mencegah kemaksiatan, tapi diri luput menerjang dengan kemarahan.
Jika cahaya ini benar hilang, jika penerang jalan lurus kemudian padam, jika semua yang di anggap baik telah di salah artikan, yang terjadi adalah pembodohan.
Hati jadi mati, membusuk penuh ulat dengki.
Pikiran tak lagi jernih, residu benci lebih mendominasi.