Wahai senja nan rupawan, aku mengagumimu sejak belia, memujamu laksana cuplikan surga terbentang di dunia. Pertama menikmati aura keagungan, hingga kini rindu itu belum terbayar. Tujuh hari dalam sepekan, sekejap sebelum cahaya keemasan menghilang, ijinkan aku mengutarakan gejolak hati dengan sukarela.
Aku tak pernah membenci hujan, bahkan kerapkali hadirnya adalah pertanda kedewasaan. Rintiknya mengetuk menyentuh hati, dinginnya suasana justru mencipta hangat mendekap jiwa. Ini bukan bualan, bukan kata-kata usang tanpa pembuktian.
Jika senja dan hujan berjumpa dalam perjamuan alam, sedang laut bergejolak berusaha tenang, dosakah aku bila berharap cerah sebagai obat nostalgia. Laksana cuaca hati di ambang kebimbangan, seperti ragu yang terus menyerang dengan kegamangan, ijinkan pemilik hati ini menyentuh rindu sebagai tangga kepastian.
*****
Baganbatu, MaretÂ
2022Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H