Tanpamu, aku hanya penyamun waktu. Berdiri terpaku menghitung butiran debu, berharap disetiap debu yang melayang adalah masa depan. Pengharapan sia-sia, terjerembab kemudian menyadari ini bukan dunia nyata.
Tanpamu, seperti banyak pengakuan di relief tugu peringaran, aku hanya lelaki pecundang tanpa keberanian. Sekian kali terjatuh kemudian mengeluh, manusia beranjak tua yang tak jua dewasa. Sungguh kerdil dan memalukan.
Empat puluh tahun yang lalu aku mengenalmu, rambut kepang dua, sandal jepit penghias manis penampilan sederhana. Itu luar biasa dalam ingatan, seperti anugerah Tuhan sebagai bentuk kemuliaan.
Lekas sembuh kekasihku. Tanpamu, aku hanya lelaki renta tak berdaya, bagaimana hendak menatap dunia, bila nyawa yang telah bersatu direnggut sebelah.
Tanpamu, aku tak berkehendak menulis puisi lagi. Biar, biar sepi. Karena telaga inspirasiku telah pergi.
Tanpamu, kan ku kubur aksara sebagai penjelmaan rasa.
*****
Baganbatu, agustus 2021