Seekor tupai usia bapak-bapak, maju mundur dipinggir aspal jalan berdebu. Tanganya melambai, matanya awas campur cemas. "Wahai pengendara, berilah aku kesempatan menyeberang jalan".
Di seberang jalan, di antara semak dan warung reot pinggir jalan, tiga anggota keluarga menanti hasil kerjanya. Istri tercinta, anak tersayang, dan seekor tupai buta akibat semprotan pestisida.
Hanya sebutir kacang rebus. Itu hasil petualangan seharian, berjalan dari selatan ke utara, memanjat dan melompat dari banyak tempat. Tapi tunggu dulu! Dari mana tupai cokelat mendapat kacang mukzizat. Kanan-kiri pohon kelapa sawit, depan belakang ilalang dan rumput kania. Bukankah itu rahmat bagi tupai cokelat.
Jika anda berkesempatan melintasi jalan ini, perhatikan di dahan kayu semak yang tak mau tinggi. Tupai cokelat membaca surat kabar, bukan membaca tentang artis-artis yang viral, bukan resah dengan kandidat di pilpres dua ribu dua puluh empat.
Tupai cokelat hanya ingin berdaulat, merdeka menentukan nasip sendiri.
Tupai tak pernah sekolah, tupai bukan binatang yang pandai berkata-kata. Tapi kata nenek moyang dahulu ketika tupai masih raksasa, "tak perlu sekolah untuk melestarikan alam rimba. Tak perlu banyak kata untuk mengembalikan tupai kepada habitatnya".
*****
Baganbatu, juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H